Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Inilah Satu Sifat Egois, Mau Didengar Tak Mau Mendengar

18 Mei 2018   07:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   07:11 2718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita merasa orang yang merasa tidak diperdulikan orang? Merasa orang yang ada di lingkungan kita begitu egois karena tidak mendengar keluh kesah kita. Atau ada pula yang merasa apa yang menjadi gagasan tidak pernah diapresiasi dengan positif. Entah oleh pimpinan, teman, kerabat atau suami dan istri? Sepertinya pernah, kan? Dan kondisi  tersebut boleh jadi semua orang pernah merasakannya.

Boleh dibilang perasaan tersebut adalah naluri yang normal, yaitu setiap orang ingin dimengerti, ingin didengar dan ingin dihargai atau dihormati. Namun jika perasaan itu amat berlebihan dan hanyalah sepihak, maka itu adalah kekeliruan. Sifat egois sudah menguasai pribadi kita. Pada prinsipnya, tidak ada orang yang hanya mau dimengerti tapi tidak bergantian mengerti orang lain. Dengan kata lain, gak lumrah kalau semua orang disalahkan karena tuntutan kita, tapi kita sendiri cuek dengan keadaan orang lain. Ya, kan?

Banyak pernyataan yang muncul entah di media sosial atau di dalam kehidupan sehari-hari:

Istri dengan suaminya:

"Abang gak (pernah) mau memperhatikanku, Abang pasti sudah tidak cinta lagi!"

Egois pertama yang langsung memvonis bahwa orang lain tidak mencintai dirinya. Padahal pernyataan itu keluar seketika saat itu ia tengah dirundug masalah. Karena yang bersangkutan dalam keadaan lelah dan lawan bicaranya tengah dipenuhi konflik batin yang serius. 

Sang suami boleh jadi karena kelelahan bekerja atau karena masalah dengan pimpinan di kantor. Boleh jadi karena kecewa lantaran dia dipecat dari perusahaan yang dia tidak tahu apa masalahnya. Dan lain sebagainya.

Dan kondisi sebenarnya adalah biasanya sang suami pulang dengan senyum yang lebar karena mendapatkan bonus dari kantor. Ia langsung menyapa sang istri karena saat itu hatinya tengah berbahagia. Dan ketika ia diam seribu bahasa, boleh jadi memang hatinya tengah terluka dan kecewa karena situasi yang melingkupinya.

Ada juga pernyataan berikut ini:

"Tahukah Abang, sebentar lagi lebaran, kenapa kita gak merencanakan ke luar kota dan pulang kampung? Abang punya rencana lain ya? Kalau Abang tidak lagi mau pulang kampun ke kapungku, lebih baik kita pisahahan saja!

Egois ini terlihat seakan-akan pendapatnya benar seluruhnya. Dan meyakini bahwa lawan bicaranya selalu menurut dengan apa yang menjadi keinginan dan kehendaknya. Padahal boleh jadi kondisi keuangan tengah sulit atau mood yang belum menghampiri.

Boleh jadi kemarin-kemarinnya, jadwal untuk mengunjungi keluarga sudah dibuatnya jauh-jauh hari. Namun karena saat ini ekonomi tengah sulit, keinginan untuk saling mengunjungi pun harus di rem dahulu sampai situasi kembali normal dan logistik untuk melakukan perjalanan tersedia kembali.

Semestinya persoalan pulang kampuung jangan menjadi masalah yang terlalu serius. Toh semua itu tidak diwajibkan jika kondisinya memang sedang sulit. Apalagi kebiasaan yang dilakukan ketika lebaran selalu saja menjadwalkan untuk pulang kampung,meskipun harus merogoh kocek yang dalam. Misalnya keluarga ada di luar kota yang apabila hendak dikunjungi membutuhkan biaya transport yang tidak sedikit.

Sesama teman atau sahabat:

"Bud, berapa kali aku katakan, kalau mau terus menjadi sahabatku, kamu mesti nurut apa kataku."

Betapa egois tipe ini termasuk egois tingkat tinggi. Mana mungkin seorang sahabat ingin selalu dituruti apa katanya dan perintahnya tanpa menghargai sedikitpun sahabatnya sendiri. Ini bisa terjadi sih, misalnya yang satu adalah orang yang ekonominya mapan karena berasal dari keluarga kaya raya, jadi uang adalah segala-galanya. Dia merasa sebagai orang yang memiliki kelebihan tertentu dan menganggap orang lain tidak punya keingian yang sama.Padahal kalau mau, mudah saja si Budi melenggang pergi tanpa harus menjadi sahabatnya lagi. Bukankah sahabat itu tidak sepatutnya ingin selalu dituruti, atau;

"Kalau kamu miskin pergi sana, jangan jadi temanku lagi"

Egois tipe ini boleh jadi karena menurutnya persahabatan hanya diukur dengan materi. Sebelum mengalami kebangkrutan ia selalu dipuji dan didekati dan dimintai tolong ketika menalami persoalan keuangan. Tapi giliran sahabatnya jatuh pada titik terendah dalam urusan ekonomi, diapun enggan lagi menyapa dan menjadikannya sebagai sahabatnya.

Semestinya seorang sahabat selalu ada dalam situasi apapun. Tidak menilai hanya faktor ekonomi saja, tapi seberapa dekat mereka sudah menjalin persahabatan itu. Dan menilai bagaimana etika serta karakter yang membuatnya betah menjadi sahabat kita.

Cobalah untuk mendengarkan sebelum minta didengarkan

Menuntut orang lain memang amat mudah dilakukan, amat mudah seperti menyingkirkan lalat yang ada di tangan kita. Tapi menerima konsekuensi atas sikap orang lain pun tidak boleh dianggap sebelah mata. Bisa saja selalu mengatakan "dengarkan aku, pahami kata-kata saya!" Tapi faktanya dia sendiri tidak mendengarkan apa kata orang yang ada di hadapannya. 

Dan anehnya ketika orang yang memahami sikapnya selalu mendengar apapun bentuk keluh kesahnya tak dianggap ketika ia berbalik bicara. Ia berharap orang lain mengerti tapi tidak mau mengerti apa kondisi orang.

Tidak sedikit yang mengedepankan egoisme pribadi karena merasa dalam kondisi berlebih. Seakan-akan apa yang ada di hadapannya tidak bisa melakukan apapun ketika vonis sudah diberikan. Ia merasa di atas angin dan orang lain hanyalah debu-debu di jalanan yang begitu mudah tersapu angin. Padahal apapun kedudukan dan kondisinya tidak ada yang bisa merasa memiliki kuasa atas orang lain. Dan pastinya tidak ada yang mau menjadi pendengar yang baik jika lawan bicaranya tidak mau mendengar pula.

Setiap orang pastilah memiliki persoalan yang terkadang hanya yang bersangkutan yang mengetahuinya. Ia memendam setiap persoalan yang hakekatnya ingin pula didengarkan keluh kesahnya. Bukan justru selalu saja divonis dan dianggap tidak memahami dirinya.

Seorang pimpinan bisa saja memaksa bawahannya untuk menurut apa katanya. Tapi para bawahan pun berhak untuk menolak paksaan dari dirinya, jika situasi sudah tidak memungkinkan. 

Bisa saja sang pimpinan merasa dunia adalah segala-galanya, tapi dalam situasi tertentu diapun tidak memiliki kuasa jika terbentur masalah serupa. Intinya harus ada feed back dalam setiap situasi atau keadaan. 

Menjadikan setiap momentum dan keadaan orang lain dengan pandangan yang bermartabat. Karena dengan menganggap situasi dan orang-orang di sekitarnya memiliki martabat yang sama  maka hubungan relasi yang setara menjadi terjalin dengan amat baiknya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun