Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Inilah Satu Sifat Egois, Mau Didengar Tak Mau Mendengar

18 Mei 2018   07:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   07:11 2718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh jadi kemarin-kemarinnya, jadwal untuk mengunjungi keluarga sudah dibuatnya jauh-jauh hari. Namun karena saat ini ekonomi tengah sulit, keinginan untuk saling mengunjungi pun harus di rem dahulu sampai situasi kembali normal dan logistik untuk melakukan perjalanan tersedia kembali.

Semestinya persoalan pulang kampuung jangan menjadi masalah yang terlalu serius. Toh semua itu tidak diwajibkan jika kondisinya memang sedang sulit. Apalagi kebiasaan yang dilakukan ketika lebaran selalu saja menjadwalkan untuk pulang kampung,meskipun harus merogoh kocek yang dalam. Misalnya keluarga ada di luar kota yang apabila hendak dikunjungi membutuhkan biaya transport yang tidak sedikit.

Sesama teman atau sahabat:

"Bud, berapa kali aku katakan, kalau mau terus menjadi sahabatku, kamu mesti nurut apa kataku."

Betapa egois tipe ini termasuk egois tingkat tinggi. Mana mungkin seorang sahabat ingin selalu dituruti apa katanya dan perintahnya tanpa menghargai sedikitpun sahabatnya sendiri. Ini bisa terjadi sih, misalnya yang satu adalah orang yang ekonominya mapan karena berasal dari keluarga kaya raya, jadi uang adalah segala-galanya. Dia merasa sebagai orang yang memiliki kelebihan tertentu dan menganggap orang lain tidak punya keingian yang sama.Padahal kalau mau, mudah saja si Budi melenggang pergi tanpa harus menjadi sahabatnya lagi. Bukankah sahabat itu tidak sepatutnya ingin selalu dituruti, atau;

"Kalau kamu miskin pergi sana, jangan jadi temanku lagi"

Egois tipe ini boleh jadi karena menurutnya persahabatan hanya diukur dengan materi. Sebelum mengalami kebangkrutan ia selalu dipuji dan didekati dan dimintai tolong ketika menalami persoalan keuangan. Tapi giliran sahabatnya jatuh pada titik terendah dalam urusan ekonomi, diapun enggan lagi menyapa dan menjadikannya sebagai sahabatnya.

Semestinya seorang sahabat selalu ada dalam situasi apapun. Tidak menilai hanya faktor ekonomi saja, tapi seberapa dekat mereka sudah menjalin persahabatan itu. Dan menilai bagaimana etika serta karakter yang membuatnya betah menjadi sahabat kita.

Cobalah untuk mendengarkan sebelum minta didengarkan

Menuntut orang lain memang amat mudah dilakukan, amat mudah seperti menyingkirkan lalat yang ada di tangan kita. Tapi menerima konsekuensi atas sikap orang lain pun tidak boleh dianggap sebelah mata. Bisa saja selalu mengatakan "dengarkan aku, pahami kata-kata saya!" Tapi faktanya dia sendiri tidak mendengarkan apa kata orang yang ada di hadapannya. 

Dan anehnya ketika orang yang memahami sikapnya selalu mendengar apapun bentuk keluh kesahnya tak dianggap ketika ia berbalik bicara. Ia berharap orang lain mengerti tapi tidak mau mengerti apa kondisi orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun