Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencegah Terorisme dari Dalam Rumah

14 Mei 2018   17:12 Diperbarui: 15 Mei 2018   11:16 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Nasional Kompas

Sungguh miris ketika melihat kejadian teror bom di gereja yang merenggut belasan nyawa di Surabaya.  

Surabaya, menurut pemahaman saya adalah kota yang sangat menjunjung toleransi. Tidak hanya Surabaya, di daerah lain pun di seluruh Indonesia hakekatnya merupakan masyarakat yang sungguh toleran. 

Hal tersebut saya pahami ketika saya berkunjung ke kota tersebut, nampaklah masyarakat berbagai etnis bisa bersatu, tumpah ruah membangun kehidupannya masing-masing tanpa melihat latar belakang mereka.

Tentu dengan kondisi yang semula damai, tiba-tiba menjadi mencekam karena teror, sungguh merupakan kondisi yang benar-benar di luar nalar. Apalagi Surabaya adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Timur yang kebanyakan etnisnya adalah etnis Jawa yang sungguh memegang prinsip menjaga kebersamaan dalam gotong royong. 

Tidak ada rumus yang dipercaya mengapa kejadian teror begitu saja terjadi di Kota yang begitu rukunnya.

Tidak hanya di Surabaya, di daerah manapun di mana suku Jawa menyebar dan bermukim, selalu mengedepankan semangat toleransi dan gotong royong dalam membangun masyarakatnya. 

Bagaimana masyarakat Jawa selalu menggunakan istilah gugur gunung ketika ingin mengadakan bakti sosial seperti  menjaga kebersihan lingkungan, membangun rumah penduduk, sarana umum dan tempat ibadah. 

Begitu pula bagi suku lain, tentu memiliki prinsip yang sama seperti Sakai Sambayan yang begitu dijunjung oleh masyarakat Lampung dalam membangun masarakatnya. Membangun sinergitas masyarakat dalam menjaga lingkungannya.

Jika masyarakat Indonesia yang begitu akrab dengan istilah gotong royong, toleransi, teposeliro ternyata akhir-akhir ini seperti mengalami perubahan pola berpikir. 

Masyarakat yang semakin berpihak pada prinsip individualisme dan primordialisme, mau tidak mau semakin meregangkan skat-skat perbedaan yang ada. Semakin lama terjadi benturan dan gesekan yang seperti terjadi begitu saja, dampaknya masyarakat yang begitu agamis yang begitu menjujung perintah agamanya secara benar dan moderat, pada akhirnya muncul sikap -sikap yang justru mencoreng khasanah budaya keindonesaan dan keagamaan itu sendiri. 

Semangat menegakkan nilai-nilai Pancasila pun secara perlahan mengalami degradasi. Begitu banyak keluarga yang cuek dengan keluarga yang lain meskipun tetangga sendiri, dan etnis tertenu begitu bangganya dengan etnis yang diilikinya. Semua itu menjadi polarisasi yang lambat laun justru merusak tatanan masyarakat yang damai tadi.

Belum lagi keluarga sebagai fundamen pokok pendidikan bagi anak-anaknya, ternyata juga mengalami perubahan paradigma. Hingga yang muncul adalah  pendapat untuk apa mikirin orang, hidup kita sendiri saja susah dan  masa bodoh orang lain sengsara, yang penting kita kaya raya. 

Belum lagi muncul ungkapan-ungkapan kebencian yang di sebar di media sosial yang ternyata di antara pelakunya adalah anak-anak remaja.

Ketika kesadaran untuk menjadi keluarga bagi orang lain meskipun bukan saudara kandung tentu menjadi embrio dikikisnya sikap semaunya sendiri dan sedikit demi sedikit memiliki keterbukaan berfikir bahwa meskipun mereka berbeda agama dan suku atau latar belakang, mereka adalah keluarga kita. Keluarga sebagai satu bangsa dan setanah air Indonesia.

Ketika Terorisme Menjadi Tujuan yang Keliru

Kejadian bom bunuh diri di Surabaya tersebut tentu menyentuh perasaan terdalam bangsa Indonesia. 

Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan agama seperti mengalami situasi yang kontradiktif jika dikembalikan pada era beberapa tahun ke belakang. Sebelum adanya fitnah ISIS yang disebarkan di kawasan Timur Tengah, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang adem ayem dan tentram. 

Namun setelah bergulirnya fitnah ISIS yang semula dianggap bagian dari perjuangan umat Islam ternyata justru merusak citra Islam yang begitu mencintai kedamaian.

Dengan gerakan perekrutan , ISIS berusaha mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya. Tujuan mereka adalah agar banyak orang tertarik ide gerakannya tersebut dan berhasil dengan turut sertanya beberapa orang untuk menjadi salah satu anggotanya, hingga mereka rela menjadi pejuang gerakan ISIS ini di mana mereka tengah berkonflik.

 Tujuan klise dan kamuflase mereka adalah membentuk negara Islam, meskipun tujuan tersebut hanyalah tujuan palsu yang justru ingin menghantam Islam dari dalam. 

Banyak sumber yang mengatakan  bahwa ISIS adalah geakan bentukan AS. yang tujuannya demi menghancurkan negara-negara yang mayoritas muslim  dengan melakukan propaganda licik agar umat Islam saling bermusuhan. 

Mereka menginginkan sesama umat saling bertikai dan melebar kepada umat lain. Tujuannya ingin menciptakan keresahan dan huru hara di tengah masyarakat. Jika mayarakat sudah tidak saling percaya dan curiga, maka pada saat itulah negara itu menjadi tidak aman dan nyaman lagi. 

Negara mengalami konflik horizontal secara massif. Finalnya tentu bangsa tersebut  berada pada situasi lemah. 

Belum lagi generasi muda seperti mencari-cari pengetahuan yang  salah dan justru menyesatkannya. Orang tua yang begitu sibuk, menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda banyak yang salah arah dan mendukung aksi terorisme.  Mereka bergaul dan mendapatkan ajaran yang justru mencuci otaknya (brain washing), hingga menjadi generasi yang keluar dari norma-norma yang benar.

Seperti membentuk geng motor, kelompok-kelompok peminum miras oplosan, pergauan bebas dan juga mengikuti ajaran yang radikal yang justru mau mengorbankan nyawanya hanya demi tujuan yang tidak jelas dasarnya. 

Aksi terorisme muncul karena para generasi muda telah salah dalam memilih jalan hidup. Mereka menyebarkan rasa takut dan tega membunuh orang lain yang mereka sendiri tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah mereka  lakukan. 

Melakukan Pencegahan Terorisme dari dalam Rumah

Dengan melihat fenomena yang mengerikan tersebut apakah hanya bisa mengutuk tanpa merefleksi dan mengevaluasi apakah pendidikannya di rumah benar apa tidak? Toh, pondasi utama pendidikan yang paling kuat sebenarnya adalah di dalam keluarga. Keluarga adalah rumah yang melahirkan generasi-generasi yang baik atau sebaliknya.

Mendidik dengan karakter yang baik atau justru merusak kepribadian anak dengan ideologi dan pengetahuan yang keliru. Karena disadari ataupun tidak, tetap pada keluargalah yang menjadi ujung tombak pendidikan generasi muda yang akan melahirkan masyarakat berbudi luhur.

Ketika pondasi pendidikan budi pekerti di dalam rumah sudah baik, kemudian mencari lembaga pendidikan yang benar-benar mendidik mereka dengan kesadaran akan kemanusiaan. Mengajarkan mereka akan nilai-nilai agama yang hakiki dan nilai Pancasila sebagai dasar dalam bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sungguh benar apa yang dikatakan Anies Baswedan bahwa "Lamanya jam sekolah tidak menjamin keberhasilan pendidikan karakter pada anak. Karakter anak terbentuk dari proses pembiasaan yang ditanamkan sejak dini dan konsisten di sekolah, keluarga maupun lingkungan masyarakat."(Kompas.com, 25/8/2016)

Oleh karena, hanyalah keterlibatan sekolah, keluarga dan masyarakatlah yang mampu melindungi anak-anak kita dari pengaruh ideologi keliru ala terorisme  yang justru merusak generasi muda. 

Kenalkan mereka pada kehidupan bersama meskipun dalam perbedaan. Tidak mengasingkan mereka dari masyarakat pada umumnya, meskipun taraf ekonomi, etnis, agama dan asal usul yang berbeda, agar rasa memiliki dan mencintai sesama terbentuk dan bertumbuh secara alamiah.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun