Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Mencari Pasangan dan Risikonya

17 April 2018   13:10 Diperbarui: 17 April 2018   13:49 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.kaskus.co.id

Jaman sekarang, dunia serba luar biasa. Luar biasa karena begitu banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Seperti dalam hal mencari atau memilih pasangan. 

Awalnya memilih pasangan seperti dibatasi oleh perjodohan yang dilakukan orang tua, seperti seorang anak tiba-tiba dijodohkan oleh orang tua lantaran keduanya sudah saling kenal, teman sekolah, kesukuan, latar belakang sejarah kehidupan dan ada pula karena menjaga warisan agar tidak berpindah tangan. 

Pada saat itu model memilih pasangan seperti terpasung dan tidak ada celah selain menurut (manut ing pandum) atas keinginan orang tuanya. Kejadian sejarah ini pun pernah dituangkan dalam sebuah film nasional berjudul Siti Nurbaya. Seorang yang sudah sepuh ternyata begitu mudahnya mendapatkan wanita cantik yang menjadi incarannya lantaran paksaan dari orang tuanya. Film nasional yang ditayangkan di era 90-an ini ternyata begitu menyita perhatian karena kisah pilu yang dialami seorang gadis desa yang bernama Siti Nurbaya.

Siti Nurbaya yang hakekatnya telah menjalin cinta dengan Gusti Randa harus merelakan jalinan asmara tersebut dan terpaksa menikah dengan orang yang memiliki usia jauh di atas usianya. Pantaslah disebut seorang kakek yang menikahi cucunya.

Datuk Maringgih yang diperankan oleh Him Damsyik, dengan memiliki banyak uang begitu mudahnya mendapatkan wanita. Sedangkan Gusti Randa seorang pria tampan justru harus mengaku kalah oleh karena ketiadaan harta.

Kisah dalam film yang merupakan cerita dari sebuh Novel tersebut hakekatnya menjadi salah satu "tradisi" bahwa kala itu seorang anak begitu sulit mendapatkan orang yang dicintainya. Karena faktor ekonomi dan tekanan keluarga seringkali menjadi faktor penentu sebuah ikatan suci ini.

Selepas era tempo doeloe tersebut, kini proses mencari pasangan justru didominasi oleh anaknya. Para orang tua justru pasrah ketika sang anak sudah mendapatkan atau memilih orang yang dicintainya. Apalagi saat ini media komunikasi begitu berkembang pesat. Dari sekedar melihat foto yang tersebar di layanan biro jodoh di sebuah surat kabar atau majalah, kini sudah merambah kepada teknologi komunikasi yang lebih maju. Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dls. ternyata turut menjadi faktor mulusnya pasangan muda-mudi menemukan orang yang dikagumi.

Begitu mudahnya setiap orang memilih pasangan dengan bermodalkan komunikasi di media sosial. Meski banyak yang berhasil dan tepat memilih pasangan, ternyata tidak sedikit pula yang tertipu oleh penampilan.

Media Komunikasi yang Melimpah, dan Fenomena Mencari Pasangan

Saat ini, semestinya siapapun harus bersyukur karena mudahnya menjalin komunikasi. Baik  yang satu arah, dua arah maupun yang banyak arah. Setiap orang bisa menyampaikan ekspresinya tanpa dibatasi, asal tidak merugikan pihak lain semua boleh dilakukan. Menjalin pertemanan yang kadang harus mengalami kegagalan karena sosok yang dikenalnya ternyata jauh dari harapannya.

Wajah yang rupawan, kendaraan yang mulus dan uang yang dipamerkan ternyata tidak menjamin bahwa sosok tersebut sesuai dengan kenyataan. Bahkan menurut penelitian, kebanyakan pasangan yang hanya menunjukkan foto dan pesan di media sosial acapkali hanyalah mencari mangsa. Ada banyak artikel yang membahas tentang para wanita/pria yang tertipu karena perkenalannya di media sosial. Tidak hanya keliru dalam memilih pasangan dalam hal fisik, dalam psikologis saja sering salah sasaran.

Banyak yang bisa membuat rayuan gombal dan mengatakan yang manis-manis, tiba-tiba berujung petaka. Ada yang terjadi kekerasan fisik hingga berujung kematian. Kisah ini banyak diberitakan di media nasional. Baru-baru ini seorang gadis asal Lebak Banten telah ditipu seorang pria ganteng yang dikenalnya lewat facebook.  Pria yang mengku sebagai Rian alias Sugeng  yang berasal dari Tulung Agung tersebut telah menipunya meskipun sudah berpacaran selama setahun. (tribunlampung.co.id)

Sosok yang difoto terlihat ganteng, eh ternyata jauh dari kenyataannya. Dan tentu saja jauh dari kesan sebagai pria yang mapan. Jauh dari penampilannya ketika merayu sang gadis desa tersebut. Masih beruntung jika si wanita tidak dilucuti harga dirinya, nah kalau sampai hal negatif itu terjadi tentu menjadi petaka.

Beruntungnya  belum sampai ke jenjang pernikahan, coba kalau sudah menikah ternyata tidak sesuai apa yang diharapkan tentu berujung kecewa.

Efek negatif pencarian pasangan melalui media sosial tentu tidak sepenuhnya terjadi. banyak pula yang benar-benar menikah dan menjadi keluarga yang bahagia melalui media sosial. 

Seberapa jauh dan lama dalam mencari pasangan, tidak ada manusia yang sempurna

Mencari pasangan itu gampang-gampang susah tergantung amal ibadahnya. Itu menurut banyak orang. Dan pasangan yang diidam-idamkan sepertinya tidak akan seperti yang diimpikan meskipun seluruh penjuru negeri ingin dicari. Di satu sisi mungkin punya kelebihan, di sisi lain ternyata ada kekurangan.

Apapun medianya dan di manapun tempatnya tentu berharap apa yang dicari sesuai dengan bibit, bobot dan bebet. Makanya banyak pula yang mempunyai standar tinggi hingga kadang terlambat menikah karena sosok yang diinginkan ternyata tidak diketemukan. Jika sudah menemukan di facebook dan sudah janji sehidup semati, eh tiba-tiba menghilang entah kemana rimbanya. Janji-janji yang muluk hanya madu dari seekor lebah  yang siap-siap menyengat jika sudah mendapatkan keinginannya.

Bahkan ada yang berprinsip kalau bukan seorang keturunan ningrat maka tidak akan menikah. Maka akibatnya tentu usia yang semakin menua justru masih terjebak pada angan-angan yang kadang terlalu sulit untuk dicapai. Boleh sih berangan-angan yang tinggi, tapi harus sesuai dengan realita. Tidak ada sosok yang sempurna karena kesempurnaan itu milik Tuhan.

Saya setuju dengan pendapat Om Mario Teguh, jika ingin mendapatkan yang terbaik mestilah berusaha memantaskan diri. Jika diri sendiri saja belum memantaskan diri untuk mendapatkan yang terbaik maka jangan berharap akan mendapatkan yang terbaik pula. Dan yang pasti, Tuhan adalah pemberi jodoh, berharap padaNya jodoh yang pantas dan terbaik adalah yang lebih utama.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun