Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Tahun 2030 Benar-benar Bubar, Jika...

2 April 2018   10:13 Diperbarui: 3 April 2018   21:35 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya mengurus rumah tangga,  mengurus negara pun akan mengalami aneka problema.  Baik itu masalah politik (cara mengatur), ekonomi, sosial dan sederet masalah lain pun turut mewarnai dinamika negara ala sebuah keluarga. 

Tidak memandang itu negara kecil maupun besar yang disebut adikuasa, karena setiap persoalan jika tidak dihadapi dengan kejeniusan berpikir maka alamat terjadi dismanajemen dan muaranya adalah broken state atau bubarnya negara. 

Bubarnya keluarga (broken home)  bisa terjadi meskipun boleh jadi awalnya baik-baik saja. Awalnya mengalami perjalanan yang harmonis dan dinamis, eh tanpa disadari ternyata mengalami kehancuran.  Apalagi sebuah negara yang kompleksifitasnya tinggi, tentu semua bisa terjadi.  

***

Berpijak dari pernyataan Mr.  Prabowo yang mengatakan bahwa Indonesia bisa bubar pun jangan dianggap sebelah mata.  

Ada yang berujar "tidak mungkin Indonesia bubar,  kita adalah negara besar". Dan di lain pihak mengatakan "kurang besar apa Unisoviet yang kini terpecah menjadi negara-negara kecil". 

Kedua pernyataan ini anggaplah angin lalu dan boleh jadi tidak begitu penting.  Tapi jika flasback pada lepasnya Timor Timur (sekarang Timor Leste) adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa nasionalisme bisa terkikis dan terjadinya sikap untuk memisahkan diri.  

Apakah itu mustahil?  Tidak.  Faktanya sudah terjadi dan wilayah kecil di timur Indonesia itu sudah melepaskan diri dari pangkuan bumi pertiwi. Sungguh kondisi yang memilukan dan menyedihkan bukan?  Yap.  Anggaplah semua kejadian sejarah yang semoga saja tidak terjadi lagi. 

Kembali pada pernyataan Mr.  Prabowo yang menurut media merujuk pada cerita sebuah novel.  Pun bisa diterka-terka,  apa sih yang bisa membuat Indonesia bubar, lebih halusnya ancaman disintegrasi bangsa? Yang boleh jadi sudah pernah dibahas penulis lain. Yaitu:

1. Toleransi yang mulai pupus

Apakah kita sadar bahwa akhir-akhir ini nilai-nilai toleransi sudah semakin pupus?  Jika kita membaca selebaran yang di share di salah satu media sosial tentang larangan membangun kubah melebihi gereja.  Tentu ini adalah wujud terkikisnya nilai toleransi. Terkhusus di tanah Papua di mana antara etnis dan agama begitu kontras.  

Di satu sisi pembangunan kubah atau menara hakekatnya bukan untuk dipermasalahkan lantaran hampir semua tempat ibadah memiliki menara yang tinggi untuk menyiarkan panggilan sucinya atau hanya sekedar ornamen.  

Mengapa dipersoalkan jika ini bukan masalah.  Belum lagi suara azan yang notabene panggilan untuk umat Islam pun menjadi sesuatu yang sepertinya pantas untuk diusik.  Sama seperti kasus di Medan beberapa waktu lalu yang sayapun pernah menuliskan artikelnya. 

Apa manfaatnya mengusik tradisi keagamaan kelompok lain jika itu justru berdampak negatif dan menimbulkan sentimen agama. 

https://www.kompasiana.com/maliamiruddin/kepada-anda-yang-membenci-suara-azan_57a35d3a109373c91296e077

2. Narkoba yang semakin merajalela

Musuh bersama saat ini adalah kejahatan narkoba.  Obat adiktif yang merusak semua generasi ini kini peredarannya semakin parah.  

Belum lagi ditangkapnya penyelundupan narkoba yang jumlahnya tidak sedikit lagi,  dan berton-ton mungkin sudah dinikmati generasi muda yang sulit untuk disembuhkan.  Serta jumlah lain yang mungkin saja tidak terendus aparat. 

Bagaimana prediksi Indonesia bubar tidak mengemuka jika narkoba sudah merajalela? Dan bagaimana mungkin generasi muda bisa memimpin negara jika mereka mengalami teler dan terbius narkoba?

3. Hutang negara yang sangat besar

Terlepas saya bukan ahli ekonomi,  namun seperti ulasan di atas bahwa mengurus atau memenej negara sama dengan mengurus rumah tangga. Bedanya yang diurus kecil apa besar. 

Rumah tangga saja jika sudah terlilit hutang maka lambat laun semua dikorbankan.  Rumah yang tergadai,  kendaraan yang dijual dan dampaknya rumah tangga berantakan.  Jangan anggap sepele masalah hutang.  Apalagi hutang dgn sistem riba sungguh memakan banyak korban. 

4. Budaya malu yang sudah hilang

Betapa setiap hari mata kita selalu disuguhi tontonan pelecehan seksual,  tontonan yang mengumbar aurat,  pejabat yang berlomba-lomba pemperkaya diri dengan korupsi dan lebih miris lagi pelakunya masih sempat tertawa meskipun disorot media dan ditonton jutaan rakyat Indonesia. Dan anehnya lagi antara pejabat dengan pejabat lain seperti saling melindungi.

Entah,  fakta apalagi yang mesti menjadi bukti bahwa kehancuran negara seperti di depan mata. 

Khawatir akan kehancuran negara bukan pesimisme dalam bersikap

Bolehlah ada yang mengatakan bahwa pernyataan Mr.  Prabowo adalah omong kosong,  fake,  bultsit atau apapun yang menolak pernyataan itu, lantaran boleh jadi karena pandangan politik.  Tapi, merenungkan apa yang dikatakan untuk dijadikan ibrah bukanlah sesuatu yang keliru. 

Paling tidak, jangan melihat siapa yang berbicara jika bukan satu pandangan,  tapi dengarkan apa yang dikatakan jika itu mengandung unsur kebaikan. 

Dalam bahasa arab dikenal dengan "undzur ma qola wala tandzur man qola. " Simaklah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan. Bahkan dalam agama disinggung "meskipun yang mengatakan anak kecil sekalipun".

Diantara kekhawatiran harus ada optimisme bersama

Indonesia memang berpotensi untuk bubar,  tapi semua bisa dicegah dengan optimisme yang tinggi dan bersikap,  bertindak tanduk dan laku serta tutur harus mencerminkan sikap optimisme. 

Menjalin kembali toleransi yang sempat terkoyak dengan merajut kembali semangat kebangsaan serta memupuk motivasi kemajuan bersama. 

Menjaga kepedulian untuk tidak membiarkan rusaknya generasi muda dari serangan narkoba.  Dan tentu saja urat malu yang boleh jadi sudah putus mari disambung kembali agar korupsi tidak menjadi tradisi. 

Apa gunanya hutang bertrilyun rupiah jika pengelola negara-putra terbaik bangsa yang mewakili rakyatnya-begitu rakus untuk memperkaya diri membabi buta.  

Uang yang semestinya bisa dikelola dengan baik dan bisa untuk membayar hutang,  ternyata hanya menguap dan tak bersisa. Sebaliknya masuk ke kantung-kantung pribadi tanpa rasa penyesalan. 

Salam

Metro,  2 April 2018  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun