Dunia pendidikan di Indonesia saat ini tengah diuji, menegakkan sebenar-benarnya mendidik yang bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan belaka. Namun lebih dari itu, membentuk kepribadian yang luhur adalah tujuan yang utama.Â
Telah lengkap dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan hakekatnya mempersiapkan peserta didik menjadi pribadi mandiri dan siap menghadapi setiap problematika kehidupan, dan tentu saja dilandasi oleh semangat ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dilandasi dengan sebaik-baiknya budi pekerti.
Begitu pula dengan situasi di abad ini, dunia pendidikan pun semakin dituntut siap-siap menghadapi kemajuan jaman, mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi, media komunikasi dan informasi yang semakin maju, maka sepantasnyalah semua yang terlibat dalam dunia pendidikan bersama-sama bergotong royong, bahu membahu dan saling memikul beratnya persoalan yang kini tengah menerpa dunia pendidikan kita.Â
Mendukung bukan berarti memberikan sejumlah aturan yang memberatkan, atau memaksa orang tua untuk  memberikan sejumlah uang kepada lembaga pendidikan. Tapi lebih dari itu mendukung setiap jengkal langkah yang ditempuh oleh para pelaku pendidikan. Baik oleh pemerintah yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga pendidikan, guru, dosen, siswa, orang tua maupun lingkungan. Semua berperan aktif dan turut andil suksesnya pendidikan yang saat ini kita benahi bersama-sama.
Meski beragam cara dan metode dilakukan pemerintah, ternyata di tingkat bawah, para pengelola pendidikan lebih khusus guru hampir saja mendapatkan segudang masalah dalam bidang tugasnya. Tapi bagaimanapun juga masalah yang dihadapi tentu harus dihadapi dengan lapang dada dan kepala dingin. Dihadapi dengan selalu belajar dari kesalahan dan kekurangan agar kedepannya proses pendidikan di tingkat lembaga menjadi lebih baik dan menuju kesempurnaan. Suatu keadaan dimana semua elemen yang disebutkan di atas turut serta menjadi bagian suksesnya pendidikan. Semua menjalani proses pendidikan bagi generasi muda ini dengan semangat bahu membahu dan selalu berbenah hingga semakin sedikit cacat yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Namun demikian, ternyata proses pendidikan itu tidak seperti yang kita bayangkan. Pendidikan bukanlah semata-mata seperti membuat arca yang dibentuk sedemikian rupa hingga bentuknya sempurna, atau bentuk lain yang dianggap hal yang mudah. Karena yang kita bangun adalah manusia yang memiliki unsur akal budi dan perasaan atau hati.Â
Sosok yang dilahirkan yang seperti kertas putih, yang semestinya diisi dengan coretan yang indah. Bukan sebaliknya diisi dengan coretan-coretan yang tidak bermakna apa-apa. Apalagi sampai diisi dengan coretan yang salah, maka yang terlahir adalah generasi yang salah.Â
Sungguh sebuah kerugian, jika dalam pola pendidikan kita justru melahirkan generasi yang salah, bukannya soleh. Generasi yang semestinya menggantikan para sesepuhnya atau generasi tuanya, ternyata justru seperti menjadi bom waktu, gunung es atau bola api yang siap-sia meluncur dan merusak segala-galanya tanpa bisa dihentikan.
Bagaimana dengan kondisi pendidikan saat ini? Ketika di beberapa media ditayangkan seorang siswa tiba-tiba melakukan penganiayaan pada gurunya lantaran ditegur karena tidak mengerjakan tugas sekolah. Atau sosok guru yang tiba-tiba memukul atau mencubit siswanya lantaran tidak melakukan aktivitas yang sudah diatur oleh sekolah atau seorang kepala sekolah tiba-tiba memberhentikan guru honorer dengan alasan yang tidak masuk akal. Dan yang lebih memprihatinkan lagi ketika didapati beberapa anak sekolah yang merokok, menggunakan narkoba atau berbuat asusila dengan masih memakai seragam sekolahnya.
Sungguh dengan kenyataan ini siapa yang tidak miris melihatnya. Jangankan ini dilakukan oleh siswa sendiri, atau orang-orang disekitar kita, lantaran meskipun dilakukan oleh orang-orang yang tidak kita kenali pun membuat hati miris. Tapi, apakah dengan kondisi yang ada ini kita semua pantas melakukan kekerasan? Seperti misalnya karena seorang siswa mengadukan kepada orang tuanya tiba-tiba orang tua naik pitam dan memukul tanpa mengklarifikasi apa yang terjadi, atau seorang guru yang tiba-tiba memukul siswanya lantaran tidak menaati aturan sekolah. Apakah ini cermin pendidikan kita saat ini? Sepertinya tidak. Karena dalam relung hati kita yang paling dalam, semua menginginkan pendidikan anak-anak kita dilakukan dengan benar dan terarah.Â
Tidak melemahkan, tidak menyakiti, tidak mem-bully dan tidak merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena disinilah letak pendidikan yang sebenarnya. Mendidik dengan semangat cinta dan kasih sayang. Karena mereka adalah bagian dari kehidupan kita.Â
Boleh saja kita mengatakan siswa atau guru dari anak kita bukanlah keluarga kita, tapi di sisi lain, tentu keluarga kita pun akan menghadapi hal-hal yang demikian. Suatu saat nanti, kita akan berhadapan dengan aneka manusia yang kita tidak tahu bagaimana karakternya. Kita berharap keluarga kita pun akan dipertemukan dengan orang-orang yang peduli dengan mereka. Memarahi tak perlu menyakiti, dan menghukum tanpa mem-bully.
Terlepas dari itu semua, benarkah siswa yang kita hadapi adalah siswa yang paling kurang baik karakternya, hingga seorang guru harus melakukan kekerasan? Bolehlah saya berikan gambaran salah satu siswa yang pernah saya hadapi. Saya adalah guru yang kurang berpengalaman dalam pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus, jadi segalanya dimulai dari ketidak tahuan apa yang mesti saya lakukan. Saya selalu merasa tidak mengerti dan ingin selalu belajar memahami anak-anak disabilitas.Â
Dengan semakin belajar, ternyata semakin sadar bahwa ternyata terlalu sedikit ilmu yang sudah dimiliki. Bahkan jika lautan ilmu itu terhampar laksana samudra, maka setetes air itulah pengetahuan yang saya dapatkan. Bahkan seper sejuta kemungkinan ketidak mampuan saya menangkap esensi ilmu pengetahuan. Tapi saya tetap harus menghadapi setiap siswa yang berasal dari aneka latar belakang keluarga. Ada yang bersasal dari golongan atas atau orang-orang kaya, menengah, dan ada pula dari kalangan yang kurang mampu. Semua mesti dihadapi dengan hati riang gembira.Â
Dengan perbedaan latar belakang ternyata masih memiliki keunikan tersendiri. Ada yang lemah penghilatan dan fisik yang tidak sempurna, ada yang lemah intelegensi hingga harus diajarkan berkali-kali, dan adapula yang mengalami persoalan mental atau kepribadian. Mereka mempunyai perbedaan karakter yang semuanya harus kita pahami dengan seksama.
Pernah suatu ketika, saya dihadapkan dengan siswa dengan latar belakang keluarga yang broken home, dia tinggal dengan kakek dan neneknya, ibu bekerja tak kenal waktu lantaran suami pergi entah kemana. Jadi sang ibu harus mencukupi kebutuhan keluarganya yang juga sangat sederhana, hingga tidak sempat lagi mengurus anak-anaknya yang hakekatnya sama dengan anak lainnya membutuhkan perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang layak. Maka jadilah siswa ini menjadi tidak terkendali. Kebiasaan minum-minuman keras meskipun usianya masih belasan tahun, dan mencuri adalah kebiasaan sehari-hari. Di sekolah, ia pernah pula kedapatan mencuri ponsel milik temannya. Jelaslah, bahwa siswa ini benar-benar membutuhkan perhatian.
Mendapati siswa yang saya sebutkan tadi apakah kita mesti emosi, marah dan meluapkan amarah kita dengan memukulnya? Atau mengeluarkan siswa ini lantaran guru sudah tidak mampu mendidiknya dengan baik? Tidak, ternyata melakukan kekerasan atau mengeluarkan anak ini dari sekolah bukanlah keputusan yang bijak.Â
Karena boleh jadi di luar sana, tanpa pendidikan yang memadai, siswa ini justru menjadi anak yang semakin brutal. Mohon maaf boleh jadi suatu saat nanti ia berkenginan menjadi seorang pelaku kejahatan misalnya. Semua bisa saja terjadi lantaran mereka tidak menemukan kebahagiaan dan kedamaian di usia yang belia itu.
Namun bersyukur dengan kelembutan hati, kesabaran dan keikhlasan disertai dengan mengikutsertakan orang tua siswa sebagai pelaku pendidikan bagi anaknya, saat ini siswa ini menjadi semakin baik perangainya. Yang biasanya mencuri karena ingin membeli sesuatu tapi tidak memiliki uang, alhamdulillah saat ini sudah mau mandiri dengan bekerja yang halal. Dan kebiasaan minum-minuman keras serta merokok, saat inipun sudah tidak pernah dilakukannya.
Coba saja jika siswa ini kita pukul karena mencuri, kita usir dari sekolah karena guru tidak mampu lagi mendidiknya, dan kita serahkan kepada orang tua sedangkan orang tua biasanya hanya memukuli anak karena ketidak mengertian dalam mendidik anak-anaknya. Atau dimasukkan ke dalam penjara karena telah berbuat kriminal. Tentu lambat laun anak seperti ini menjadi sosok yang mengerikan. Dia lepas kontrol dan tidak lagi memiliki prinsip hidup dan kehidupan yang semestinya diperoleh dari dalam rumah dan sekolah selaku lembaga yang mendidiknya.
Boleh jadi tidak hanya satu anak, karena di tempat lain ada ribuan bahkan jutaan anak yang saat ini berprilaku menyimpang dengan pelanggaran hukum dan mengonsumsi miras dan narkoba. Apa yang akan terjadi sepuluh atau lima puluh tahun kemudian? Bagaimanakah negeri kita akan berdiri kokoh jika generasi mudanya kebanyakan teler. Dan apa jadinya jika mereka semua menjadi pelaku kejahatan. Wallahua'lam. Semoga pemerintah, lembaga pendidikan, guru-guru dan orang tua memahami fenomena pendidikan yang mengerikan ini. Dan semoga Tuhan YME melindungi kita semua. aamiin
Salam
Metro, Lampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H