Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Fenomena Vakumnya Penulis Terbaik Kompasiana, Kemanakah Mereka?

23 Juli 2016   05:02 Diperbarui: 1 Agustus 2016   14:05 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhamdulillah, sampai detik ini Allah masih memberikan kelapangan rezeki kepada penulis khususnya dan pembaca kompasiana pada umumnya. Rezeki berupa materi juga rezeki kesehatan, sehingga masih menyempatkan diri menitipkan coretan sederhana di sini. Dan bersyukur hingga saat ini penulis masih menyempatkan diri meninggalkan jejak tulisan sederhana di blog bersama kompasiana.

Penulis begitu bangga menulis di sini, karena bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang agama, jenis kelamin, karakter dan pengalaman yang berbeda. Selain karena begitu baiknya hubungan kekeluargaan yang dibangun meskipun tidak pernah mengenal sebelumnya, ternyata para penulisnya juga begitu antusias untuk membangun Indonesia dengan karya. Membangun silaturrahmi meski berbeda-beda pandangan. Meskipun acapkali perbedaan itu mengundang syak wasangka dan perdebatan. Tapi inilah manusia yang setiap saat mengalami pertentangan. Sangat manusiawi dan halal.

Kebanggaan lain dari penulis adalah ketika berjumpa dengan sosok-sosok inspiratif, dewasa, kebapak-bapak-an dan tentu saja ngayomi pada yang muda. Mereka adalah para peraih predikat penulis terbaik yang menjadi kebanggaan bersama. Tidak hanya menurut hati para pembaca tulisannya, karena secara nyata kompasiana selalu menganugerahi dengan predikat "terbaik" dan layak diberikan apresiasi.

Mereka yang sudah menjadi penulis terbaik, mau tidak mau akan menjadi teladan bagi newbie atau penulis pendatang baru yang juga mendapatkan ruh semangat menuis dari para penulis kawakan atau senior itu. Selayaknya para siswa berguru pada gurunya dan para santri berguru pada kyainya. Meskipun mereka berguru dengan otodidak, alias belajar mandiri, yang pasti apa yang ditulisnya selalu memberikan pelajaran yang sangat berharga.

Terlepas dari siapa senior dan seberapa besar kiprah menulis dan kehormatan apa yang diperolehnya, ternyata sampai sejauh ini ada pertanyaan yang memang sulit mendapatkan jawaban pasti, yaitu: kemana para penulis teladan yang mendapatkan predikat terbaik itu? Mengapa kebanyakan penulis yang dikategorikan terbaik melepaskan begitu saja predikat ini dan begitu saja meninggalkan aktivitas menulis yang biasanya setiap hari bisa satu atau dua tulisan bertengger di laman kompasiana.

Mereka hampir saja setiap hari menorehkan tulisan yang bermutu dan bernas, sampai-sampai tak terhitung lagi kehormatan yang diberikan oleh admin kepada mereka. Bahkan saking seringnya mendapat kehormatan, para penulis lain menjadi cemburu. Semoga bukan cemburu buta, tapi cemburu mengapa belum juga memuaskan hati admin kompasiana sehingga layak diletakkan di tranding artikel atau headline misalnya. Karena kehormatan ini adalah mahal yang akan memuaskan hati penulis artikel itu sendiri. Mau tidak mau, harapan untuk dihargai tidak hanya isapan jempol semata.

Namun demikian, ketika para senior yang sudah mendapatkan kehormatan sebagai penulis terbaik itu sudah didapatkan, mengapa setelah itu raib entah kemana? Saya membatasi hanya pada penulis yang sampai saat ini masih konsisten menulis di blog ini, karena masih ada saja penulis senior yang sampai hari ini tetap saja menulis dan menginspirasi. Tidak perlu penulis sebutkan siapa mereka karena mereka adalah sosok-sosok teladan yang sepantasnya tetap menjadi teladan.

Boleh jadi, ada kebosanan, kesibukan atau ada persoalan lain yang membuat seseorang itu enggan menulis lagi di kompasiana. Alasan klisenya cemburu, atau ingin menulis di tempat lain yang menghasilkan. Dan ada pula yang karena merasa tidak dihargai makanya mereka mending meninggalkan blog ini meski akunnya masih tetap ada meskipun sudah berganti nama atau inisial.

Jika mereka mengalami kebosanan, betapa menulis di kompasiana memang membuat bosan. Apalagi jika tulisannya tidak berkembang dan tidak menjadi lebih baik "seperti saya" tentu akan mengalami bosan. Tapi menurut penulis tidak ada kata bosan untuk menulis jika itu tulisan untuk kebaikan karena kita meyakini setiap perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran yang baik pula. Namun tidak menampik, alasan kecemburuan memang begitu mudah timbul dari manusia yang lemah ini.

Terang saja, ketika admin bersikap tidak adil, maka banyak member yang segera angkat kaki. Dan itu dialami oleh teman-teman penulis sendiri. Mereka yang biasanya aktif menulis, tanpa permisi dan pamit tiba-tiba meninggalkan begitu saja rumah bersama ini tanpa kesan dan pesan yang bisa dipetik hikmahnya. Semua tulisan lenyap dan karya-karya yang telah ditorehkan tiba-tiba hilang tanpa bekas.

Begitu juga yang merasa tidak dihargai dan dibully karena perbedaan persepsi. Mereka sudah tidak tahan lagi dengan pertentangan argumen karena disertai motif politik dan agama. Mau tidak mau penulisnya memilih undur diri daripada sakit hati. Toh mereka menulis hanya karena iseng dan ikhlas-ikhlasan karena tak mengharapkan upah. Tapi kalau akhirnya harus mendapat cela maka mendingan meninggalkan rimba yang penuh luka.

Itulah fenomena raibnya penulis di kompasiana. Para penulis yang energic tiba-tiba raib entah kemana tanpa bisa menghapus akun mereka sendiri. Mereka meninggalkan karena kecewa tapi tak bisa membuang jauh-jauh lapak yang sudah kadung terbakar oleh amarah.

Yang pasti, bukan untuk mengharap mereka kembali atau sebagai cara mendapatkan simpati, hanya sebagai ucapan terima kasih betapa penulis-penulis hebat itu adalah teladan dan selayaknya tetap menjadi teladan. Kalau toh sudah membuat atau menempati rumah baru, mbok ya jangan meninggalkan rumah lama dengan amarah dan kekecewaan.

Karena meninggalkan rumah dengan rasa kecewa dan sakit hati pastilah tidak enak hati. Mendingan saling bermaaf-maafan dulu dan mengucapkan salam perpisahan say good bye tanpa meninggalkan luka yang menganga. Karena jika pergi terlihat punggung tentu akan nyaman jika ingin kembali di sini dengan tulisan yang bernas lagi. Jika meninggalkan rumah ini adalah kebahagiaan dan kebanggaan, saya doakan rumah yg baru nanti akan lebih nyaman dan menyejukkan.

Semoga di rumah baru nanti kalian menemukan jati diri dan cinta sejati, juga pastinya mendapatkan rezeki yang halal sudah pasti. Dan menghiasi hari-hari dengan kebahagiaan dengan orang-orang yang saling mengasihi satu sama lainnya.

Salam menjelang subuh

Wassalam

Metro, Lampung, 23-7-2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun