Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisruh Harga Daging Sapi, Bagaimana Dengan Masyarakat Miskin?

18 Juni 2016   09:58 Diperbarui: 28 Juni 2016   00:32 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harga daging di Lampung relatif masih mahal kisaran 110 s.d. 120 / 130 perkilogram (Gambar Republika.co.id)

Daging, ternyata sampai sejauh ini sangat istimewa di mata sebagian besar masyarakat Indonesia. Semua jenis daging, baik daging ayam maupun daging sapi merupakan menu yang teramat mewah bagi kalangan bawah atau kaum miskin papa. Mereka sama sekali tidak berfikir berapa sih harga daging? Atau esok ingin makan rendang, misalnya. Yang ada dalam fikiran mereka bagaimana bisa mencukupi kebutuhan makanan ala kadarnya. 

Tak peduli lagi berapapun harga daging yang beredar saat ini. Semua serasa cuex bebek, tak menganggap sebagai masalah krusial. Karena faktanya jika kita selusuri lebih jauh kemampuan masyarakat kelas bawah dari segi ekonomi tentu amat jauh berbeda dibandingkan dengan masyarakat menengah ke atas. Jangankan memikirkan harga daging yang mahal, bisa menikmati ikan asin atau telur saja sudah cukup.

Bukan berarti mereka tidak suka makan daging, tapi karena ketiadaan ekonomi yang memaksa mereka gigit jari dan cukup menahan diri untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak mungkin mereka nikmati. Paling tidak untuk saat ini hanyalah menu sederhana plus ikan laut yang harganya lumayan miring dibandingkan dengan harga daging sapi. 

Harga ikan asin yang berkisah Rp 15.000 - 30.000 perkilogram, dan ikan laut segar berkisah Rp 25.000 juga masih dianggap mahal. Tapi hanya ikan-ikan jenis inilah yang menjadi menu andalan. Dan yang lebih parah lagi ada yang hanya bisa menikmati lauk tempe dan sayuran daun singkong sebagai menu utama, lantaran hanyalah itu bahan baku menu makan inilah yang bisa mereka nikmati saat ini.

Dengan estimasi harga di atas seratus ribu saat ini tentu menjadi makanan mahal bagi yang berkantung tipis. Seandainya diturunkan harganya sampai Rp 80.000 pun masih terlalu mahal. Bagaimana tidak mahal, untuk pekerja bangunan dengan gaji harian rata-rata Rp 80.000 tentulah hanya bisa dibelikan satu kg jika memang harga dagingnya Rp 80.000. Bagaimana jika harga itu melambung hingga Rp 150.000, maka lebih baik mereka membeli tempe daripada untuk membeli beras tidak ada lagi.

Seandainya ingin menikmati daging sapi atau kambing, kemungkinan besar mereka lebih memilih membeli sate atau bakso dengan kualitas daging yang rendah. Dengan harga Rp 15.000, kaum miskin bisa menikmati daging sapi dalam bulatan bakso meskipun percampuran antara tepung dan daging 10 : 1. Sepuluh kilo untuk tepung dan 1 kilo untuk daging. Sudah begitu agar rasanya bisa nonjok, maka diberikanlah perasa daging yang banyak dijual bebas. Jadilah masyarakat miskin bisa menikmati daging bohongan sedangkan harga daging yang mahal hanya jadi suara-suara orang-orang kaya yang mampu membelinya.

Bagaimana kondisi per-dagingan saat ini? 

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Jokowi sudah merencanakan dan membuat kebijakan harga daging sapi tidak boleh melebihi Rp 80.000 per kilogram. Meskipun faktanya sampai detik ini, harga yang diinginkan pun masih sebatas angan-angan. Berbeda sekali dengan di Malaysia, harga daging sapi kisaran Rp 50.000 perkilogram. Jadi masih kalah jauh pemerintah saat ini mampu menekan harga daging. 

Meskipun demikian, salut kepada Presiden yang sudah berusaha menurunkan harga dengan operasi pasar. Meskipun dampaknya kran import tidak dapat dielakkan. 

Swasembada daging yang dicanangkan Presiden akan terpenuhi ternyata juga belum tercapai. Karena memang mengelola ketersediaan daging dalam negeri bukan seperti membuat bakso. Sekali penyet keluar baksonya. Ini jelas berbeda, masyarakat harus siap-siap menjadi peternak unggul agar mereka bisa membudidayakan sapi dengan kualitas minimal setara dengan peternak dari Australia. 

Selain tidak mudahnya menyiapkan tenaga ahli dan peternak unggul, ketersediaan sumber daya atau daya dukung juga masih minimal. Ada kesiapan penuh dari aparat daerah untuk bekerja sinergi dengan pemerintah pusat dalam menyiapkan infrastruktur dan SDM di daerah demi lancarnya program swasembada daging.

Faktor lain yang sulitnya memenuhi harapan rakyat terkait kemampuan memproduksi daging nasional adalah, karena tingkat kejujuran dan kemauan masyarakat yang relatif rendah. Misalnya beberapa waktu lalu di jaman presiden sebelumnya, sudah ada program bantuan sapi yang tujuannya membantu masyarakat desa. Pada awal program baik-baik saja, tapi setelah kurun waktu beberapa tahun, ternyata bantuan sapi itu tidak ada lagi keberadaannya. 

Peternak lokal yang dianggap mampu membudidayakan sapi juga ternyata hanya isapan jempol belaka. Meskipun ada yang berhasil, hampir sebagian besar mengalami kegagalan, faktornya : ketersediaan lahan untuk pakan ternak, kemampuan memproduksi pakan secara modern, kondisi ekonomi. 

Ketersediaan lahan menjadi alasan mengapa program sapi nasional selalu saja terkendala, karena petani daerah untuk membuka lahan yang dipakai untuk pakan mereka tentu keberatan. Dengan luas 1 hektar, petani lebih memilih menanam padi dan singkong daripada menanam rumput, baik rumput gajah maupun rumput lainnya. 

Kemampuan memproduksi pakan secara modern juga bukan hanya sebatas teori, karena SDM pun harus ditingkatkan, ketersediaan mesin pencacah pakan dan kemitraan dengan perkebunan sawit, kelapa maupun pengembangan rumput gajah juga menjadi kendala. Kondisi ekonomi yang memaksa para peternak itu gagal melanjutkan usahanya karena mereka terlilit persoalan ekonomi. Misalnya dari 10 ekor yang dibagikan, ternyata hanya 5 ekor saja yang selamat dan selebihnya terjual atau dengan alasan mati dan dicuri orang.

Belum lagi masyarakat lebih mengidolakan bercocok tanam padi dan singkong daripada menanam rumput untuk ternak-ternak mereka. Sikap konvensional inilah yang melemahkan program sapi nasional yang dicanangkan oleh presiden-presiden sebelumnya termasuk presiden Jokowi tentunya.

Harga daging sapi mahal, siapa yang peduli?

Sampai sejauh ini, hingga bulan Ramadhan tiba, harga daging masih tetap dikisaran Rp 100.000 - Rp 130.000, meskipun daging impor dan operasi pasar sudah dilakukan. Hal ini wajar terjadi karena meskipun import daging sudah dilakukan, ternyata pemenuhan kebutuhan daging masih jauh dari kenyataan. Selain itu dengan harga mahal itu, hanyalah masyarakat menengah ke atas yang bisa menikmatinya. 

Belum lagi adanya operasi pasar, ternyata yang bisa membeli hanyalah kaum kaya yang mereka mendapatkan kesempatan lebih untuk memborong karena harganya sudah diturunkan. Meskipun esoknya lagi harga cenderung naik, yang memiliki cukup uang tetap saja bisa membeli. Sedangkan masyarakat bawah, mereka hanya bisa menonton dari kejauhan tanpa bisa menikmati subsidi pemerintah yang dikucurkan untuk menekan harga daging. Dan sayang sekali meskipun ada juga daging sapi yang lebih murah, ternyata banyak oknum pedagang nakal yang mencampurnya dengan daging babi. Sungguh miris.

Seperti diberitakan oleh Republika edisi 27 Mei 2016, harga di Lampung kisaran Rp 100.000 - Rp 125.000 perkilogramnya. Sedangkan harga itu belum tertekan dengan adanya operasi pasar. Meskipun adanya operasi pasar, ternyata harga di Lampung juga saat ini masih tinggi. Seperti diberitakan oleh Antara, harga per 17 Juni kisaran antara Rp 110.000 - Rp 120.000 perkilogram. Berarti sampai sejauh ini pemerintah masih sulit menekan harga daging sapi skala nasional. Sedangkan harga telur ayam saja sudah mencapai 20.000 perkilogram tentu harga ini masih sangat jauh dari harapan masyarakat pada umumnya.

Harga daging turun, masyarakat bawah tetap saja tidak bisa membeli, dan siapa yang diuntungkan? Tentu mereka yang memiliki uang cukup untuk membelinya yaitu kaum kaya dan para pedagang yang sudah mempersiapkan modal jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan keuntungan yang lebih. Pemerintah selalu menekan harga daging demi memenuhi harapan rakyat, tapi tetap saja harganya cenderung melambung tinggi. Dan hanya masyarakat menengah ke atas yang mampu membelinya.

Meningkatkan daya beli ikan laut sebagai alternatif pengganti daging sapi

Beberapa waktu lalu saya membeli sekantung kecil berisi setengah kiloan ikan bandeng seharga Rp 7.500.  Harga itu lumayan murah untuk dua kali mempersiapkan santap berbuka puasa. Dan sepertinya jika harga di tingkat pengecer untuk ukuran perkilogram seharga Rp 15.000 tentu harganya masih terjangkau dan lebih mudah dibandingkan harga telur yang bisa mencapai 20.000 / kg. Harga ikan itu sudah ada di tangan pengecer. Mungkin jika di pasar jauh lebih murah kisaran Rp 10.000 - Rp 12.000 perkilogram.

Melihat harga ikan yang begitu murah tentunya bisa menjadi alternatif masyarakat bawah untuk memenuhi kebutuhan gizi hariannya. Tak perlu memikirkan berapa harga daging sapi karena justru membuat naik darah, lantaran masyarakat bawah tetap saja tak mampu membeli. Namun bagaimana menyediakan ikan laut segar yang mudah dengan kandungan gizi yang tak kalah dengan daging justru menjadi alternatif yang lebih baik. Dan yang lebih penting, mengubah imej masyarakat bahwa memakan ikan itu tak lebih buruk dari memakan daging jika dilihat dari nilai gizinya. 

Dan yang semestinya digaris bawahi bahwa amat tidak penting banget media dan pemerintah meributkan harga daging yang mahal, ketika ikan laut di tanah air sangat melimpah. Jika ikan laut itu disubsidi dibandingkan mensubsidi daging sapi maka masyarakat Indonesia akan menikmati ikan laut yang segar dengan harga yang murah. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun