Faktor lain yang sulitnya memenuhi harapan rakyat terkait kemampuan memproduksi daging nasional adalah, karena tingkat kejujuran dan kemauan masyarakat yang relatif rendah. Misalnya beberapa waktu lalu di jaman presiden sebelumnya, sudah ada program bantuan sapi yang tujuannya membantu masyarakat desa. Pada awal program baik-baik saja, tapi setelah kurun waktu beberapa tahun, ternyata bantuan sapi itu tidak ada lagi keberadaannya.Â
Peternak lokal yang dianggap mampu membudidayakan sapi juga ternyata hanya isapan jempol belaka. Meskipun ada yang berhasil, hampir sebagian besar mengalami kegagalan, faktornya : ketersediaan lahan untuk pakan ternak, kemampuan memproduksi pakan secara modern, kondisi ekonomi.Â
Ketersediaan lahan menjadi alasan mengapa program sapi nasional selalu saja terkendala, karena petani daerah untuk membuka lahan yang dipakai untuk pakan mereka tentu keberatan. Dengan luas 1 hektar, petani lebih memilih menanam padi dan singkong daripada menanam rumput, baik rumput gajah maupun rumput lainnya.Â
Kemampuan memproduksi pakan secara modern juga bukan hanya sebatas teori, karena SDM pun harus ditingkatkan, ketersediaan mesin pencacah pakan dan kemitraan dengan perkebunan sawit, kelapa maupun pengembangan rumput gajah juga menjadi kendala. Kondisi ekonomi yang memaksa para peternak itu gagal melanjutkan usahanya karena mereka terlilit persoalan ekonomi. Misalnya dari 10 ekor yang dibagikan, ternyata hanya 5 ekor saja yang selamat dan selebihnya terjual atau dengan alasan mati dan dicuri orang.
Belum lagi masyarakat lebih mengidolakan bercocok tanam padi dan singkong daripada menanam rumput untuk ternak-ternak mereka. Sikap konvensional inilah yang melemahkan program sapi nasional yang dicanangkan oleh presiden-presiden sebelumnya termasuk presiden Jokowi tentunya.
Harga daging sapi mahal, siapa yang peduli?
Sampai sejauh ini, hingga bulan Ramadhan tiba, harga daging masih tetap dikisaran Rp 100.000 - Rp 130.000, meskipun daging impor dan operasi pasar sudah dilakukan. Hal ini wajar terjadi karena meskipun import daging sudah dilakukan, ternyata pemenuhan kebutuhan daging masih jauh dari kenyataan. Selain itu dengan harga mahal itu, hanyalah masyarakat menengah ke atas yang bisa menikmatinya.Â
Belum lagi adanya operasi pasar, ternyata yang bisa membeli hanyalah kaum kaya yang mereka mendapatkan kesempatan lebih untuk memborong karena harganya sudah diturunkan. Meskipun esoknya lagi harga cenderung naik, yang memiliki cukup uang tetap saja bisa membeli. Sedangkan masyarakat bawah, mereka hanya bisa menonton dari kejauhan tanpa bisa menikmati subsidi pemerintah yang dikucurkan untuk menekan harga daging. Dan sayang sekali meskipun ada juga daging sapi yang lebih murah, ternyata banyak oknum pedagang nakal yang mencampurnya dengan daging babi. Sungguh miris.
Seperti diberitakan oleh Republika edisi 27 Mei 2016, harga di Lampung kisaran Rp 100.000 - Rp 125.000 perkilogramnya. Sedangkan harga itu belum tertekan dengan adanya operasi pasar. Meskipun adanya operasi pasar, ternyata harga di Lampung juga saat ini masih tinggi. Seperti diberitakan oleh Antara, harga per 17 Juni kisaran antara Rp 110.000 - Rp 120.000 perkilogram. Berarti sampai sejauh ini pemerintah masih sulit menekan harga daging sapi skala nasional. Sedangkan harga telur ayam saja sudah mencapai 20.000 perkilogram tentu harga ini masih sangat jauh dari harapan masyarakat pada umumnya.
Harga daging turun, masyarakat bawah tetap saja tidak bisa membeli, dan siapa yang diuntungkan? Tentu mereka yang memiliki uang cukup untuk membelinya yaitu kaum kaya dan para pedagang yang sudah mempersiapkan modal jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan keuntungan yang lebih. Pemerintah selalu menekan harga daging demi memenuhi harapan rakyat, tapi tetap saja harganya cenderung melambung tinggi. Dan hanya masyarakat menengah ke atas yang mampu membelinya.
Meningkatkan daya beli ikan laut sebagai alternatif pengganti daging sapi