gambar : id.inter-pic.com
Di ruang tamu sendirian, Abi merebahkan tubuhnya di sebuah sofa ukiran Jepara itu. Di sana ia merasakan nikmatnya hisapan rokok bergabus dengan amat nafsunya. Sesekali ia memandanginya sambil merasakan sensasi yang ditimbulkan dari sebatang rokok itu. Sedangkan dirinya tengah memakai sarung dan singlet setelah beberapa saat melakukan shalat dzuhur.
Dialah Abi, seorang bapak dengan 1 istri yang cantik molek dan 2 orang anak yang juga riang gembira. Mereka menempati rumah (gubuk) kecil di sebuah kampung kecil. Meski pekerjaannya serabutan, ternyata tidak menyurutkan kebiasaan buruknya untuk merokok. Sehari bisa dua bungkus rokok enam belas batang ia habiskan.
Benda-benda mainan anaknya masih terserak di ruang tamu itu. Ia tidak perduli dengan semuanya. Ia nikmati sebatang rokok itu meski sekelilingnya sudah dipenuhi oleh asap yang sudah mulai pekat.Â
Gambar organ yang rusak di bungkus rokok itu tidak berpengaruh pada pendirian si Abi. Gambar serem itu ia anggap seperti hiasan semata, lantaran di tempat lain masih banyak yang merokok tapi masih sehat-sehat saja.
Ada segelas kopi yang masih hangat teronggok di depannya, tersisa setengahnya. Sesekali ia menyeruputnya perlahan-lahan agar merasakan nikmatnya kopi hitam dari Lampung itu. Kopi yang menjadi primadona dirinya dan keluarganya saat ini. Meskipun ada banyak jenis kopi, tak mengurangi kesetiannya akan kopi yang dihasilkan dari perkebunan di mana ia kini tinggal.
Seorang istri memandanginya dengan raut kecewa, lantaran sudah bertahun-tahun suaminya menghabiskan berbungkus-bungkus rokok. Semakin tua bukannya berhenti merokok, justru kebiasaan itu semakin menjadi-jadi.
Ia menghela nafas dalam-dalam, muncul kesedihan dalam batinnya, karena dua hari yang lalu pak Pardi telah berpulang menghadap Sang Kholiq. Tetangga dekat yang ramah itu ternyata begitu cepat pergi meninggalkan dunia fana ini, setelah sepekan dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Metro. Semua tidak menyangka kenapa pak Pardi begitu cepat berpulang, padahal usianya masih relatif muda untuk ukuran bapak-bapak.
Dengan usia 45 tahun masih terlalu muda untuk segera berpulang. Tapi hidup dan mati adalah kehendakNya tidak ada yang meminta untuk dicepatkan atau dimundurkan. Meskipun semua orang ingin memiliki usia yang panjang, tapi takdir tidak ada yang bisa mengubah ketentuan itu.
Begitupula Abi, meskipun nafasnya sudah terengah-engah karena jantungnya sudah mulai terganggu karena penyakit yang dideritanya, serta paru-parunya yang kini juga mulai rusak. Ia tahu karena dokter menyebutkan bahwa paru-parunya menghitam seperti hitamnya bokong wajan lantaran saking lamanya tak dicuci. Hasil rongent itu terlihat sekali kalau mungkin tidak lama lagi nyawa Abi tidak tertolong, paru-parunya gelap sekali, hampir tiga puluh persennya rusak oleh asap rokok yang sampai saat ini menjadi primadona. Primadona para perokok lain dan juga dirinya.
Kecewa dan sedih manakala di malam hari Abi terbatuk-batuk tiada henti-hentinya. Istri dan anak-anaknya jadi tidak bisa nyenyak tidur, belum lagi ternyata asap rokok pekat itu juga sudah merusak paru-paru istri dan kedua anak-anaknya. Jadi selayaknya kodok yang bersautan di musim hujan. Semua terbatuk-batuk tanpa diatur sebelumnya ala bunyi kendang di pertunjukan wayang kulit di kampungnya.