Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku Memang (Bukan) Sampah

20 April 2016   20:50 Diperbarui: 23 April 2016   17:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : martonesia.wordpress.com"][/caption]"Sampah.... uh luar biasanya nasib sampah karena disandingkan dengan diriku yang lemah ini. Setelah semua terjadi padaku ternyata apa yang telah aku korbankan tak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka meninggalkanku setelah aku begini. Tak ada angin tak ada hujan, kehidupanku kini tidak ada gunanya lagi. Serasa ingin mati saja!"

Bima terpekur di atas dipan tua itu, dalam keadaan yang serba kekurangan dia terbaring lemah tak berdaya. Tubuhnya kurus seperti tak ada lagi sekerat dagingpun yang menempel di tubuhnya. Dala dukanya yang dalam itu, seakan-akan para cicak menatapnya dan menertawai apa yang terjadi. Tak hanya cicak yang berlari kesana kemari memperhatikan tingkahnya yang aneh, nyamuk-nyamukpun seperti menaruh iba. Saking ibanya, tidak ada satupun yang mau menyentuh kulitnya. Padahal nyamuk mana sih yang tidak ingin menghisap darah korbannya. Bukankah nyamun itu seperti vampir yang juga haus akan darah?

Ia seperti kehilangan harapan hidup.

Semenjak lima tahun yang lalu, perkenalannya dengan Reki membuat dirinya semakin terhanyut dalam gelimangan dosa dan penyesalah yang sepertinya tak termaafkan. Sahabat yang ia dapatkan ketika pertama kali menempuh pendidikan tinggi di Jogyakarta itu ternyata membuatnya seperti sampah yang tidak berguna. Masih beruntung nasib sampah yang bisa dimanfaatkan lagi. Sedangkan Bima, seperti tidak lagi memiliki daya, tubuhnya hidup tapi serasa mati. Napasnya pun tak lagi sekencang dulu, dan jatungnya yang gagah perkasa ketika harus berlari mencari mimpi-mimpi yang telah hilang itu sepertinya sudah kehilangan kesadaran. Tinggal menanti ajal tepatnya.

Tangannya yang perkasa yang semestinya bisa digunakan untuk menulis huruf demi huruf tugas akhirnya itu kini tinggallah kerangka yang seakan-akan mati. Jangankan untuk merangkai kata-kata yang indah untuk menyelesaikan kuliahnya, untuk digerakkan saja sudah sulit. Kini tinggal kenangan. Mayat mungkin lebih baik dari dirinya. Karena ada banyak orang yang peduli, di sisi-sisi mereka banyak yang mendoakan dan membacakan alunan ayat-ayat suci, atau sekedar senandung kehidupan yang membuat dirinya semakin bersemangat.

Tapi ini tidak ada, semua hampa, semua meninggalkannya setelah kehidupannya seperti berharga. Tubuh yang terlihat renta meskipun usianya masih dua puluh tahunan ternyata semakin membuat orang-orang di sekitarnya semakin jijik.

"Oh Tuhan, betapa hidupku ini tak berharga. Penyakit semuanya ingin hinggap di sini, di tubuh ini. Padahal aku masih ingin menyelesaikan kuliahku. Aku ingin membahagiakan ibu dan ayahku. Dan aku ingin mempersembahkan fotoku yang memakai toga hitam itu." 

"Tuhan, sampai kapan aku begini?"

Dalam keluh kesahnya itu ia teringat kembali akan detik-detik perkenalan dengan Reki yang awalnya seperti seorang dewa penolong. Dia begitu antusiasnya membantuku yang tengah sibuk mencari tempat berteduh dan teman ngobrol. Dia tiba-tiba hadir dalam lamunanku. Sekilas tidak nampak bahwa dia hanyalah anjing yang tengah lapar. Atau hanyalah iblis yang sengaja menggodaku untuk menikmati pil haram itu. Obat yang sama sekali tidak aku pahami sebelumnya. Dia hanya memberikan penjelasan padaku, bahwa aku akan mendapatkan kesenangan dengannya. 

"Hai, mahasiswa baru!"

"Apa kabar? Sapa Reki kala itu.

Waktu itu aku tengah terduduk sendiri dalam kebingunganku karena aku remaja yang baru saja lulus sekolah. Alumnus SMA yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Aku mendapatkan beasiswa lantaran nilaiku terbaik di kelas, bahkan di sekolahku aku termasuk juara umum. Namun sialnya, karena aku hanyalah anak kampung yang tak memiliki sanak saudara, maka aku berusaha mencari teman dan saudara baru di tanah perantauan ini. Jogyakarta yang aku idam-idamkan yang akan menjadikanku salah satu lulusan terbaik di perguruan ini.

"Eh, siapa, ya? Tanyaku agak bingung dan kaget lantaran aku sama sekali tidak mengenal sosok yang ada di depanku. Raut wajahnya yang adem dan ganteng serta ramah membuat aku ingin segera mengenalnya.

"Apa kita pernah ketemu, Bang? Kulanjutkan tanyaku, kiranya semakin hilang penasaranku ternyata justru membuatku semakin bingung dengan apa yang aku katakan. Aku panik dan salah tingkah. Bagaimana tidak, melihat pandangannya seakan-akan melihatku begitu aneh. Boleh jadi karena pakaianku yang benar-benar ndeso atau kampungan, maka ia agak-agak tak nyaman dengan penampilanku itu.

Tapi dengan persaan ragu, kucoba mempercayakan diriku untuk bisa bergaul dengannya. Ku coba menyesuaikan diri dengan anak-anak kota. Bergaul dengan mahasiswa dan mahasiswi baru yang baru saja aku kenal. Walaupun boleh jadi perkenalanku ini justru akan berakhir ketika mereka benar-benar mengenal siapa aku.

"Ah, bukan sudah kenal, tapi aku melihat kamu sendirian, aku jadi kepingin mengajakmu berkenalan. Boleh gak?

"Boleh, Bang." Aku menundukkan wajahku karena malu. 

"Siapa namamu, Mas? Dia memanggilu Mas karena melihat penampilanku benar-benar kampungan dan ndeso. Jadi penggilan mas itu mungkin lebih familier dengan ku. Mahasiswa baru yang terlihat lugu.

"Oh, nama saya Bima, Bang." Kucoba menjawab pertanyaannya meski rada-rada gugup.

"Nama, saya Reki." Darimana kamu? Kayaknya bukan dari sini." Dari luar Jawa ya?

"Kog tahu, Bang?

"Ia, aku ngeliat penampilanmu yang agak kusut. Jadi aku tebak saja kamu dari daerah pedalaman."

"Ia, memang dari luar Jawa, tapi bukan berarti daerahku pedalaman. Penampilanku begini karena aku dari orang tak mampu. Aku disini saja karena beasiswa. Untung ayahku mengizinkan aku kuliah di sini. perguruan tinggi yang aku idam-idamkan.

Sekilas perkenalan itu ternyata membuat aku dan Reki menjadi teman akrab. Tapi aku tak menyangka, ternyata Reki adalah pengedar narkoba. Ia berusaha ramah dengan siapapun yang dianggapnya lugu, supaya mau menjadi korbannya. 

Pertama perkenalan Reki nampak ramah sekali, hingga tiba-tiba ia memperkenalkanku dengan sebuah obat, aku tak tahu obat apa yang ia tawarkan padaku. Padahal dia tahu aku tidak sedang sakit. Tapi menurutnya obat itu manis seperti permen. Bisa memberikan sensasi yang tinggi dalam pikiranku. 

Dia selalu saja merayuku, karena keluguanku kucobalah satu obat darinya. Dan ternyata pikiranku seperti melayang-layang, aku tak tahu dimana saat itu, tubuhku terkapar tak berdaya meskipun saat itu aku tengah sehat. Aku heran sekali, kenapa tubuhku tiba-tiba tergeletak di lantai. Pikiranku masih tampak kacau hingga beberapa saat. Sedangkan Reki memandangiku dengan tatapan aneh. Seakan-akan itu adalah jawaban atas suksesnya dia memperdayaiku. 

Satu narkoba sudah merenggut kebahagiaanku. Dia tertawa bangga, aku yang bodoh ini bisa diperdaya dan menjadi pelanggan tetapnya. Aku tak berdaya menolaknya karena tubuhku sudah terpapar racun itu.

***

Setelah kejadian itu, tiba-tiba aku tidak bisa lagi mengikuti kuliah. pikiranku kacau dan aku selalu merasa gelisah. tubuhku menggigil dan denyut nadiku seakan-akan memekik. Tubuhku tak mampu lagi menahan rasa inginku menikmati obat yang diberikan kawanku. Aku marah, aku gelisah, kepalaku pusing. Kubanting semua yang ada di depanku. Tubuhku bergetar semakin kuat dan terhempas di lantai hingga tak sadarkan diri. Aku terkulai lemah dengan gumpalan busa mengalir dari mulutku. Aku sakau, aku tak bisa lagi menahan rasa sakit itu. 

Dalam ketidak sadaranku, seorang teman lamaku yang ternyata tak kuketahui melihat apa yang aku alami. Dia mengawasi gerak gerikku selama ini. Dan dia tahu bahwa aku absen dari kuliah. Sudah seminggu dia melihatku tidak ada di tempat dudukku lagi. 

Dia pikir mungkin aku tengah sakit. Tapi rasa penasarannya membuat dirinya memaksa diri untuk mencari kontrakanku. Beruntung ada teman kelasku yang memberitahukan dimana aku mengontrak. Dan tepat, setelah bertanya sana sini dia mendapati kontrakanku ini tertutup seperti tidak berpenghuni. Dia ingtip dari balik jendela, dan betapa kagetnya dia melihatku tak berdaya di lantai.

Dia dobrak pintu, dan buru-buru membawaku ke rumah sakit.

Beruntung aku lekas tertolong, meskipun hanya beberapa saat setelah dari rumah sakit aku kembali sakau dan tak mampu lagi menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk tubuhku ini.

"Obat-obatan yang kukira membuat aku bahagia, ternyata kini menghancurkanku. Uang kuliah kiriman dari ayahpun ludes tak bersisa. Semua barang-barang kuliah seperit laptop dan televisi pun aku gadai demi mendapatkan obat itu. Abu terpuruk, aku bodoh dan aku gila. Kenapa aku mengenal Reki?"

"Semua sudah terjadi, Bima." Kau harus berpasrah padaNya. Kembalilah ke jalan yang benar!" 

"Anggaplah ini sebuah cobaan. Karena setiap manusia akan mengalami cobaan dan ujian yang kadang-kadang kita tidak merasa tidak mampu menanggungnya. Tapi yakinlah, setiap manusia akan mampu melaluinya asal kita pasrah."

Kata-kata sahabatku itu seakan-akan cahaya dan taburan salju bersih dan dingin di dadaku. Aku kembali terharu dan air mataku menetes tak terhentikan. Ku raih tangan temanku dan aku menangis sejadi-jadinya betapa aku menyesali semua yang telah terjadi. 

"Sudahlah, jangan engkau terlalu menyesali apa yang terjadi? Cukup berhenti saja dari kebiasaan mu itu agar hidupmu bisa diselamatkan."

Dalam rasa bersalah dan kepasrahanku itu, aku tak tahu pasti apakah jam dinding itu masih bisa membimbingku ke jalan yang benar? Aku pun tak tahu pasti, apakah orang tuaku menerimaku apa adanya. Semua sudah terjadi dan hidupku sudah hancur. Biarlah cukup aku yang merasakan, karena Tuhan maha pengampun dan penyayang. Semoga Dia memberikan kesembuhan padaku."

Tak terasa, rinai jatuh di pipiku lagi, tapi ada yang membuatku bahagia ketika sahabatku membawaku kepada seorang Kiyai di Jawa Timur. Dia membantu memulihkan diriku dari kecanduan obat-obatan itu. Dan alhamdulillah kini aku bisa menikmati kehidupan lebih baik di sana bersama para santri yang juga mantan pengguna narkoba sepertiku.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun