Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Media Sosial: Menulislah Selagi Sehat

18 Oktober 2017   18:54 Diperbarui: 18 Oktober 2017   19:18 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah Kita (eh saya saja) seorang penulis? Entahlah. Tapi sebenarnya siapapun yang suka merangkai kata-kata hingga enak dibaca, atau siapa saja yang hobinya tulis-menulis sudah pasti dia seorang penulis. 

Entah penulis berkelas pemula ala saya, atau penulis yang sudah profesional dan menghasilkan uang seperti pak Johan Wahyudi atau pak Hilman Fajrian (maaf namanya tak pinjem ya pak) atau penulis-penulis lain seperti pak Tjiptadinata Effendi yang juga tulisannya sangat kental dan sesuai dengan selera saya. 

Tulisan yang diracik dengan bumbu-bumbu penyedap rasa dengan berbagi pengalaman menjadikan tulisan-tulisan beliau sungguh sedap untuk dibaca, dihayati dan diambil manfaatnya.

Begitu pula dengan kita sendiri yang hobi menulis, sejatinya kudu meniru beliau-beliau yang sukses menulis. Menulis dengan ilmu dan pengalaman yang tak hanya sebentar, karena membutuhkan proses yang lama sekali. Tak hanya makan asam garam saja, karena pahitnya jamu menjadi obat dan penyemangat ketika geliat menulis menemui jalan buntu. Faktor kejenuhan seringkali menjadi penyebab seseorang enggan menulis. 

Selain faktor kejenuhan, kadangkala semangat menulis itu tiba-tiba mandeg alias vacum atau kehilangan ide. 

Ketika kehilangan ide, kita seperti terjebak pada ketidak mampuan mengurai informasi pokok yang kita dapatkan untuk kemudian dituliskan ke dalam sebuah kertas atau media online misalnya, karena untuk bisa mengurai persoalan menjadi tulisan tentu membutuhkan ketelitian dan kejernihan berpikir. Tak hanya ketelitian, kejernihan berpikir dan sumber yang cukup ternyata menulis itu harus ada kesempatan dalam kondisi sehat. 

Loh, kenapa mesti ada sehat? Karena setiap orang yang hendak menuangkan gagasannya dalam tulisan tentu membutuhkan kesehatan baik fisik maupun psikis. Tubuh yang sehat ditunjang ole jiwa yang sehat pula.

Meskipun dikenal adagium mensana in corporesano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat), ternyata saat ini banyak yang memiliki tubuh yang sehat ternyata jiwanya kurang sehat atau sedikit terganggu. Terganggu lantaran persoalan-persoalan yang membelit. 

Ketidak sehatan jiwa ini juga dipengaruhi oleh suasana batin yang cenderung tidak stabil. Merasakan ada yang aneh dalam lingkungan pergaulannya dan status sosialnya. 

Kadang malah karena perbedaan persepsi atas persoalan yang muncul menjadikan seseorang kehilangan kestabilan emosi. 

Rasa-rasanya ingin selalu menumpahkan amarah. Apalagi ketika menulis itu tidak diimbangi oleh kesadaran penuh bahwa apa yang ditulisnya bisa berefek positif maupun negatif, maka yang terjadi tulisan-tulisan tersebut memancing persoala yang berujung konflik yang berkepanjangan.

Konflik bisa terjadi antar individu yang merasa terganggu dengan tulisan tersebut, jika masing-masing pihak bisa saling memaafkan dan mencari jalan damai sih tidak menjadi persoalan, tapi jika berhubungan dengan ranah hukum maka otomatis pertanggungan jawaban kita semakin berat saja.

Saya masih teringat betapa menggunakan media sosial pernah membawa seseorang pada masalah yang cukup pelik, yaitu Florence Sihombing yang tiba-tiba menjadi bulan-bulanan netizen karena statusnya di akun pribadinya. Dan masih banyak lagi korban-korban berjatuham karena menulis sekedar menumpahkan selera hati tanpa menimbang efek untung dan ruginya. 

Ketika menulis justru menjadi bencana, maka sebaiknya sudahilah berlelah-lelah menulis. Bersegeralah mengambil inisiatif untuk mencari aktivitas yang positif dan aman. Meskipun kadangkala status di sosial media memang membuat merinding jika efeknya negatif, tapi juga membuat tersenyum jika menghasilkan pundi-pundi uang atau penghargaan.

Terlepas dari positif dan negatifnya menulis, ada beberapa hal yang membuat saya hoby menulis.

Bagi saya dan boleh jadi bagi para penulis lain menggunakan moment tertentu untuk menyalurkan uneg-unegnya dalam sebuah tulisan. Bisa berupa ungkapan perasaan yang tengah berkecamuk yang ternyata justru melahirkan energi untuk menulis sebuah puisi. Hati yang dirundung duka, kerinduan atau suka cita dan bahagia tercurah sudah dalam sebuah puisi. Meskipun boleh jadi puisi itu kurang baik, ternyata bisa menghibur diri. 

Atau bisa jadi ketika ingin mengungkapkan sesuatu pada sosok yang dirindukan, maka puisi adalah mediumnya.

Apapun bentuknya itulah hasil karya kita, dan kitalah yang akan menikmatinya terlebih dahulu.

Menulis bagi saya juga bisa sebuah catatan atau dokumentasi atas perjalanan selama menjalani hidup dan kehidupan.

Seseorang boleh saja merasa cukup menikmati suatu perjalanan dalam relung sanubari dan ingatannya tanpa harus menuliskannya. Karena boleh jadi, ada sebuah rahasia atau aib yang orang lain tak diperkenankan mengetahuinya. Segalanya serba secret  /privacy. Maka dengan menuangkan dalam tulisan, ada kekhawatiran halayak umum mengetahui dengan persis siapa sih penulis sebenarnya. 

Apakah ini pertanda eksklusifitas? Boleh jadi, tapi belum pasti. Karena berkaitan maksud dan tujuan yang terselip di dalam hati masing-masing.

Tapi, bagi saya, meskipun kadang merangkai kata begitu tidak mudah dilakukan, tapi proses untuk menciptakan sebuah paragraf adalah kebanggaan. Semua adalah proses belajar dan proses menghibur diri. Apapun bentuknya penilaian, akan dipikirkan kemudian.

Apalagi sosok yang dari desa ini begitu bangganya bisa berkeliling kota misalnya, dan ada rasa wajib untuk menceritakannya.

Yang pasti, setiap tulisan bisa menjadi wajah perjalanan hidup yang tentu ada sisi positif dan negatif. Yang baik menjadi pelajaran berharga dan yang jelek menjadi ajang mawas diri bahwa kehidupan manusia tidak ada yang sempurna.

Menulislah selagi sehat dan sempat, karena banyak orang yang ingin terus menulis karena jiwa dan raganya terasa sehat. Bahkan ada pula sosok yang menjadikan kegiatan menulis sebagai ajang terapi diri.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun