Pemerintah dibuat kalut, rakyat dibuat merinding, tapi di antara aparat pemerintahan, anggota legislatif, polisi, pengacara, guru, wiraswasta, petani, nelayan dan siswa sudah banyak yang menjadi penggunanya. Mereka menggunakannya tanpa menyadari bagaimana dampaknya. Ketika racun sudah menyatu dalam darahnya, maka jangan berharap pengaruh racun itu bisa dihilangkan, melainkan dengan tindakan medis dengan mendetoksin dan mengeluarkan sisa-sisa zat adiktif itu dari dalam tubuh. Tanpa melalui proses itu, jangan pernah berharap bisa lari darinya. Karena racun itu akan memaksa korbannya untuk mengonsumsinya tanpa memikirkan dampak yang terjadi.
Sepertinya, dengan serangan narkoba ini, Â tidak perlu lagi adanya perang senjata dengan membunuh jutaan prajurit dan masyarakat sipil. Karena dengan menyebarkan narkoba ke suatu negara, maka lambat laun negara itu akan hancur berkeping-keping. Mereka akan saling membunuh demi bisa mendapatkan narkoba, anak-anak membunuh temannya, kakaknya, dan orang tuanya sekalipun demi memuaskan rasa haus akan narkoba. Narkoba seperti api yang membakar hutan, semakin lama merembet ke segala arah, jika tidak dihentikan maka hutan itupun akan binasa. Sama seperti para korbannya, jika tidak dilakukan pencegahan dan perlawanan, bukan tidak mungkin generasi muda dan tua akan binasa.
Seandainya dengan jutaan pengguna itu hendak direhabilitasi, betapa negara akan menanggung biaya hingga bermilyar-milyar rupiah demi menyembuhkan para pecandunya. Sedangkan para pengedar, bisa duduk sila dan tertawa kegirangan lantaran pundi-pundi uang bisa mereka raih. Rasa empati mungkin sudah hilang dari hati mereka, dan yang timbul adalah kesadisan, dan sepatutnya perbuatan mereka itu juga dibalas dengan hukuman yang seberat-beratnya.Â
Jangan pernah ada remisi bagi para pengedar, cukup hukuman mati yang siap-siap mengantarkan perjalanan hidup mereka sebagai hukuan karena telah merusak generasi muda.
Â
Ketika ketidakpedulian kita sebagai sumber kematian massal gara-gara narkoba
Betapa kita sadari atau tidak, sikap individualistis kita hakekatnya menjadi sumber awal mudahnya narkoba masuk ke negeri kita. Bahkan tak hanya disebabkan karena tidak peduli, lantaran kita justru menjadi bagian propaganda disalahgunakannya obat berbahaya itu. Tidak jarang kita temui, seorang publik figur justru menjadi pembuat, pengedar dan pengguna sekaligus. Bahkan yang membuat tidak habis pikir, para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim pun turut mencicipi uang harap dari narkoba. Mereka menjadi pengedar sekaligus penggunanya.
Maka tidak sulit kita melihat tayangan di media televisi, seorang polisi, jaksa, hakim dan orang-orang dengan jabatan tertentu di pemerintahan, ternyata ditangkap karena menjadi pengedar atau penggunanya.
Kita terbiasa cuek dan membiarkan korban-korban baru berjatuhan. Semua itu karena kita beranggapan bahwa "biarkan saja mereka mati, toh bukan kita yang mengalami." Padahal boleh jadi tidak hari ini, karena esok lusa mungkin keluarga, atau justru diri kita sendiri ternyata menjadi korbannya juga.
Dengan menyatakan bahwa biarkan mereka mati karena kita bukan yang mengalami adalah salah satu aspek yang memicu semakin merebaknya penyalahgunaan narkoba di sekitar. Bahkan seorang terpidana narkoba saja, masih ada yang mendapatkan remisi. Dan lebih aneh lagi, di dalam sebuah lapas, ternyata ditemukan pabrik pembuatan narkoba beserta barang bukti di dalamnya.
Kita selalu saja abai atas beberapa tindakan yang mencurigakan terkait peredaran narkoba. Atau kita memang sudah memasuki wilayah yang ingin mendapatkan keuntungan dari beredarnya barang haram itu.