Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rakor PKLK (Pendidikan Kaum Difable), Apa Yang Mesti Diperbuat?

23 Maret 2016   04:08 Diperbarui: 25 Maret 2016   22:33 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Rapat koordinasi pengelolaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus bertujuan melahirkan rekomendasi kepada pemerintah terkait pengelolaan sekolah bagi penyandang disabilitas. Bandar Lampung 15-17 Maret 2016 (doc. pribadi)"][/caption]

Alhamdulillah kurang lebih sepekan yang lalu, selama tiga hari, tepatnya tanggal 15-17 Maret 2016, para penyelenggara pendidikan khusus dan layanan khusus  mengadakan Rapar Koordinasi untuk membahas pengelolaan sekolah bagi para penyandang disabilitas ini.

Program yang sejatinya direncanakan untuk memberikan rumusan dan agenda serta rekomendasi terkait kebutuhan dan program kerja sekolah kepada pemerintah, khususnya dinas terkait dan wakil rakyat yang selama ini memiliki peran sebagai fungsi budgeting atau anggaran.

Harapannya, dengan rakor tersebut, keberadaan sekolah-sekolah khusus dan inklusi itu mendapatkan tempat yang sama dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya, baik dari segi perhatian pemerintah terhadap institusinya, juga perhatiannya kepada para lulusannya. Seperti yang disampaikan para pembicara dan peserta dalam rakor tersebut.

Tentu saja, semua harapan sudah tertumpah pada saat rakor tersebut, harapannya, rekomendasi yang ditelurkan bisa menjadi bahan diskusi atau rapat di tingkat internal pemerintahan dan wakil rakyat, sehingga kedepannya kebijakan terkait sekolah bagi ABK ini tidak semata-mata rencana saja, tapi termanifestasi pada program kerja pemerintah yang nyata pada pembangunan institusi ini di daerah-daerah yang belum tersedia dan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pendidikan khusus dan layanan khusus ini.

Namun demikian, seperti pada hajat-hajat yang lain, ternyata kegiatan itu justru mengundang tanda tanya besar, apakah kegiatan serupa Rakor hanyalah kegiatan untuk menghabiskan anggaran saja? Atau benar-benar menjadi basis data bagi pemerintah dan wakil rakyat dalam menelurkan kebijakan yang bersentuhan bagi institusi dan lulusannya? 

Karena seperti pada kegiatan-kegiatan yang lain, acara resmi yang diikuti oleh 70-an orang ini ternyata hanya beberapa orang saja yang aktif mengikuti kegiatan, selebihnya hanyalah melakukan pendaftaran, pembukaan dan penutupan tanpa turut aktif memberikan kontribusi terkait pembangunan institusi ini. Dan anehnya, para peserta yang diundang yang sebagian dari instansi dinas terkait ternyata kurang begitu merespons kegiatan tersebut sebagai sebuah kebutuhan. Selayaknya penumpang tanpa tujuan dan terkesan ingin menikmati proyek semata tanpa ikut memberikan konstribusi yang relevan. Seperti beberapa wakil dari dinas yang justru sama sekali tidak ikut dalam Rakor dengan alasan tidak tertarik. Mereka hanya datang, tidur dan jalan-jalan serta tidak memberikan respek sedikitpun bagaimana memajukan sekolah khusus ini ke depannya. 

Pantas saja jika sekolah khusus ini seperti institusi yang digaungkan tapi banyak yang melupakan. Negeri ini memperhatikan keberadaan kaum difable tapi justru penyelenggaranya rupanya agak mengabaikannya. Sama seperti pernyataan Ketua DPRD Provinsi Lampung pada pembukaan Rakor tersebut.

Jelas sekali, selama ini kegiatan serupa yang bertujuan untuk menjaring informasi dan dukungan pemikiran bagaimana memecahkan persoalan institusi ini ternyata masih sebatas wacana. Entahlah, apakah selama ini keberadaan penyandang disabilitas masih dianggap tidak ada atau dinomorduakan? 

Dari kalangan stake holder sendiri ada yang kurang antusias dalam membela institusi dan lulusannya, seperti masih rendahnya kecukupan sarana pembelajaran dan pembiayaan. Karena selama ini hubungan kedua elemen pengelolaan itu sangat berpengaruh signifikan terhadap output yang dihasilkan. Sebagaimana tertuang dalam Permendiknas no 19 tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan. Di mana dalam Permendiknas tersebut jelas disebutkan bahwa pemerintah semestinya bisa mencukupi kebutuhan dasar bagi penyelenggaraan pedidikan pada umumnya khususnya sekolah khusus yang tentu saja sangat bersinggungan dengan output yang dihasilkan. Sederhananya saja mana mungkin para lulusan sekolah khusus itu bisa memenuhi syarat kebutuhan lapangan kerja, jika sarana dan prasarana pendidikan tidak memenuhi syarat. Belum lagi biaya "hidup" institusi itu tidak juga mencukupi. Apalagi dalam memenuhi kebutuhan layanan juga harus menggunakan biaya yg cukup Seperti membayar biaya habis pakai termasuk guru-guru honorer yang selama ini masih menjadi ujung tombak terselenggaranya pendidikan khusus.

Para pendidik akan mengalami aneka hambatan jika media dan biaya yang dibutuhkan belum mencukupi. Dan ini akan berimbas pula pada kegiatan pembelajaran di sekolah yang semuanya berkaitan dengan keuangan. Belum lagi jika dihadapkan pada kondisi sekolah iklusi, ternyata tenaga pendidiknya pun masih jauh dari yang diharapkan. Lantaran keberadaan sekolah inklusi tersebut pun masih sebuah rintisan yang membutuhkan proses yang panjang agar benar-benar bisa menjadi sekolah inklusi yang layak.

Keberadaan lulusan yang belum sepenuhnya diterima pasar

Semua orang berhak dan wajib memperoleh penghidupan yang layak. Sama juga yang diinginkan oleh anak-anak penyandang disabilitas. Mereka bersekolah pun sejatinya menginginkan kehidupan yang lebih baik. Paling tidak dengan mereka mendapatkan pendidikan yang layak, maka pekerjaan yang layak pun akan mereka dapatkan. Semua akan seiring sejalan dengan konsepsi keberadaan kaum difable ini perlu menjadi masyarakat yg mandiri. Mereka membutuhkan perhatian, namun lebih dari itu juga membutuhkan kesempatan untuk bisa berdikari dan mandiri seperti masyarakat lainnya.

Harapan kemandirian bukan semata-mata sekedar konsep semata, akan tetapi pembuktian pemerintah dan publik dalam menerima keberadaan mereka pada sektor-sektor formal maupun informal agar mereka bisa berdaya guna. Bagaimana pemerintah dan swasta harus menyediakan paling tidak 1 - 3% ketersediaan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas itu. Bersyukur belum lama ini DPR mengesahkan undang-undang bagi penyandang disabilitas, sebagai manifestasi perhatian mereka pada kaum difable. 

Mudah-mudahan dengan Rapat koordinasi pengelolaan PKLK, dan undang-undang yang sudah disyahkan itu menjadi lampu hijau bahwa pemerintah benar-benar konsisten membela kaum difable agar mereka mendapatkan hak-haknya secara utuh tanpa diskriminasi.

Metro, Lampung, 23/3/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun