Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosok Icha dalam Uttaran, Lugu atau Dungu, sih?

7 Maret 2016   20:26 Diperbarui: 19 Maret 2016   01:50 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Film Uttaran AN TV. Film yang sejatinya hanyalah sandiwara, justru mengajarkan arti kebohongan dan mendidik masyarakat dengan akhlak yang buruk., (Sumber: Wikipedia.com)"][/caption]

Beberapa hari ini saya semakin dibuat kesel dengan istri dan anak perempuan saya, karena setiap jam pulang sekolah, ee malah nonton film produksi India. Film Uttaran yang tayang setiap hari di AN TV ini saat ini durasi tayangnya pun ditambah. Boleh jadi karena bertambahnya minat penonton Indonesia akan film "mewek" ini. Film yang sebenarnya sangat tidak mendidik ini ternyata sampai saat ini menjadi salah satu favorit pemirsa film televisi.

Film yang tadinya tidak pernah menuai respon negatif, tiba-tiba akhir-akhir ini membuat keduanya ikut berkomentar, kurang lebih"walah Icha-icah, kamu itu lugu atau dungu sih? Ketika kutanya, apa alasannya kog dipertanyakan status Ichanya? jawabnya karena Icha terlihat sangat polos, tapi saking polosnya justru terlihat sekali ia seperti perempuan dungu (maaf bod*h).

Mendengar pernyataan itu, saya jadi penasaran, apa iya sosok yang dikatakan tersebut benar-benar polos bahkan terlihat dungu? Saking penasarannya saya pun jadi ikut nimbrung. Padahal saya suka melihat tayangan berita yang kebetulan memang bersaing dengan film sinetron atau anak-anak yang kebetulan juga waktunya bersamaan.

Akibat kepenasaran saya itulah, maka saya menyimak dengan seksama, sambil kutanya, bagaimana ceritanya sih, kog heboh begitu? Ternyata memang sosok Icha yang kebetulan menjadi pemeran utama sosok yang didapuk sebagai orang yang teraniaya.

Icha lahir dari keluarga miskin yang kebetulan ayahnya meninggal lantaran kecelakaan. Kemudian akibat ingin menolong keluarganya seorang yang kaya raya yang menabrak ayah Icha kemudian mengabdosi Icha untuk disekolahkan dan dirawat bersama ibunya. Nah, gayung bersambut, setelah diadobsi, ternyata Tuan Takur justru mempunyai seorang anak perempuan bernama Tapasya. Awalnya keduanya baik-baik saja dan mereka berusaha saling menyayangi seperti halnya keluarga sendiri. 

Sayang sekali, keberadaan Icha dan Ibunya yang janda itu, mengundang kecemburuan neneknya Tapasya. Dari situ persoalan terus berlanjut, hingga akhirnya hujatan dan hinaan bertubi-tubi dirasakan oleh Icha kecil berserta ibunya hingga dewasa. Nenek yang sejatinya diharapkan menjadi sosok yang baik ini justru menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas perubahan karakter Tapasya. Sosok Icha yang lugu justru dimanfaatkan oleh Tapasya agar selalu mengalah dan menerima konsekuensi untuk selalu menelan pil pahit. Ketika kasih sayang Tuan Takur diterima oleh Icha, justru Tapasya yang merupakan anak kandungnya menjadi iri dan dengki. Karena iri dan dengki inilah akhirnya menjadi persoalan, konflik rumah tangga tidak juga selesai.

Yang menjadi pertanyaan di sini, perwatakan Icha yang selalu saja mengalah menimbulkan persepsi yang boleh jadi berbeda, di antara penonton di tanah air. Ada yang memuji karena Icha selalu saja mengalah, tapi tak sedikit yang menghujat lantaran Icha terlihat seperti perempuan yang dungu yang tidak bisa menolak apa yang diinginkan oleh Tapasya. Dengan alasan karena dia adalah seorang penumpang di rumah yang megah. Apalagi dia hanyalah perempuan yang biasa saja alias golongan rendahan. Dalam agama hindu sepertinya mereka berkasta waisa atau sudra. 

Seorang anak dan ibu dari keluarga miskin ternyata memasuki kehidupan seorang yang kaya raya. Timbullah persoalan-persoalan baru yang justru semakin mencitrakan bahwa golongan rendahan haruslah selalu berada di bawah dan terhina. Tidak berhak untuk memilih dan melakukan protes apa yang tidak disukai. Semuanya diterima meskipun harus mengalami rasa sakit hati yang mendalam. Seperti ketika ia harus kehilangan pria yang dicintainya (Vir) dan membiarkan si Vir menikah dengan Tapasya.

Akibat dari Nenek yang berkarakter ala sengkuni. Ia selalu saja membisiki Tapasya agar ia tidak menerima keberadaan Icha. Tandasnya, dengan adanya Nenek yang mirip Sengkuni ini, Tapasya selalu saja mendapatkan apa yang diinginkan. Meskipun faktanya justru kehidupannya berantakan. Ia semakin dijauhi keluarganya dan sampai di episode kemarin ternyata Tapasya sudah berselingkuh dengan pria lain hingga hamil.

Kisah terus berlanjut dengan sosok Icha yang tak pernah berani menunjukkan hak-haknya sebagai bagian keluarga Vir. Skenario film yang benar-benar membuat penontonnya terbawa emosi dan empati sekaligus benci. Icha yang didapuk sebagai pemain protagonis yg lebih banyak menjadi korban justru menjadi polemik, apakah begini nasib seorang perempuan miskin di antara keluarga kaya? Film yang hanya tontonan, pada kondisi sebenarnya banyak yang merupakan fakta. 

Efek negatif film Uttaran

1. Pembohong

Icha selalu saja berbohong atas apa yang diinginkannya. Seolah-olah dia adalah dewa penolong yang selalu saja merelakan apa yang dimilikinya. Ia tidak pernah jujur bahwa ia pun berhak mendapatkan hak-haknya. Begitu pula ibunya, dengan wajah memelas dan karakter yang selalu saja mengalah, terlihat sekali bahwa film ini membuat persepsi bahwa orang miskin ya selamanya harus bisa berbohong, meskipun dalam hati kecilnya menolak.

Keluarga Takur juga berbohong, kenapa sedari awal tidak pernah jujur kepada Icha bahwa yang membuat tewasnya ayahnya adalah sebab tertabrak oleh Takur. Mereka berusaha menyembunyikan kejadian itu dengan harapan Icha akan melupakan kisah tentang ayahnya.

2. Plin-plan

Sinetron ini menunjukkan prilaku plin-pan (inkonsisten) atau tidak tetap pendiriannya. Di saat menginginkan sesuatu ia selalu mengalah untuk diberikan kepada orang lain, tapi di sisi lain ia berusaha mendapatkannya. Padahal semestinya kalau sudah menyerahkan, ya diserahkan saja dengan ikhlas.

3. Penghasut

Sosok Nenek yang dikira menjadi orang yang bijaksana, justru menjadi awal konflik yang bekepanjangan. Ia hadir dalam film itu seolah-olah sebagai pencipta konflik yang justru memperuncing persoalan yang semestinya diredam. Sehingga pada episode terakhir pun sepertinya sang Nenek adalah sosok yang selalu saja menghasut dan memfitnah dan melahirkan persoalan baru hingga kehidupan keluarga ini terllihat gaduh. Meskipun setiap saat menyebutkan nama2 dewa, ternyata prilakunya sungguh tidak terpuji. Status sengkuni amat pantas disematkan padanya. 

4. Berselingkuh

Tapasya yang di depannya terlihat mencintai suaminya, justru berhianat dan menipu sang suami yang sebenarnya sama sekali tidak mencintainya. Sosok yang berusaha mencintai tapi dihianati dengan berselingkuh dengan pria lain. 

Hingga kandungannya membesar, masih saja dia tidak mau menjelaskan siapa sebenarnya anak yang dikandungnya. Dan justru Icha selalu saja dipersalahkan lantaran dianggap telah memfitnah.

5. Cinta Sebagai Alat Permainan

Cinta dan pernikahan sejatinya adalah sakral, karena cinta dan pernikahan merupakan bagian asasi kebutuhan manusia. Jika cinta hanya berlandaskan untuk menguasai tanpa rasa pengertian, maka berujung pada (pembantaian) karakter. Hukum rimba muncul di sana, yang kuat maka dialah yg menjadi pemenang. Meskipun cara-cara yang dilakukan adalah keliru.

6. Materialistis

Mencintai harta memang boleh, tapi kalau materialistis justru amat berbahaya. Timbulnya kecemburuan, kedengkian dan kesenjangan di antara keluarga menjadikan keluarga tidak lagi damai dan nyaman. Kepentingan untuk menguasai harta menjadi titik didih persoalan yang terjadi.

7. Ketika agama hanya pelengkap, maka Tuhan menjadi permainan

Agama adalah pedoman umat manusia, semua agama pun menghendaki kebaikan kepada penganutnya. Nah, jika agama hanya jadi simbol, maka yang terjadi agama dianggap permainan dan sebagai penunjukan eksistensi tanpa ada pemahaman dan pengalaman yang substantif. Ketika terbiasa menyebut nama Tuhan, tapi sifat dan perilaku jauh melenceng dari nilai-nilai ketuhanan.

Film yang ditayangkan di AN TV ini sebenarnya sebuah prestasi sebuah produksi film yang tak layak dicontoh. Meskipun penjiwaan masih-masing aktor patut mendapatkan apresiasi. Peran antagonis yang sejatinya hanya bohongan, pun dapat dilakukan dengan apik. Ternyata bisa berdampak pada prilaku sosial dalam masyarakat.

Karakter dan peran di dalam  film tersebut turut menjadi masalah jika penontonnya tidak menganggapnya sebagai sebuah tontonan saja. Yang berbahaya lagi, jika tontonan menjadi tuntunan. Para penikmat film ini bisa saja berubah perangai seperti dijelaskan di atas yang sebenarnya tidak pernah diharapkan.

Yang pasti, film hanyalah tontonan belaka. Meskipun demikian, nilai karakter seorang wanita hakekatnya bukan tempat untuk teraniaya. Mereka berhak memilih mana yang disukai dan mana yang tidak tanpa mengorbankan orang lain dan tanpa intimidasi.

Kekayaan bukanlah alat untuk menindas orang-orang yang miskin, karena kaya dan miskin hakekatnya sama di hadapan Tuhan. Kalau kekayaan hanyalah titipan, tentu kemiskinan juga hanyalah sebuah ujian.

Salam

Metro, Lampung, 9-3-2016

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun