Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas! Kejahatan Seksual Bisa Menimpa Anak Berkebutuhan Khusus

4 Maret 2016   19:53 Diperbarui: 26 Maret 2016   08:57 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar: www.rimanews.com"][/caption]

Emosi, sedih dan miris rasa-rasanya ketika kubuka facebook kog yang nongol (muncul) dua anak ABG tengah asik di sebuah kamar hotel, menurut analisis teman-temen media sosial mereka adalah dua sosok anak sekolah yang lepas dari ikatan norma keluarga dan masyarakat. Banyak yang menduga mereka telah melakukan tindakan asusila. Yang lebih parah lagi mereka mengeksposnya di media sosial.

Meskipun ada yang menduga bahwa pelakunya adalah PSK yang berusia muda. Karena selama ini mata kita sering dikelabui, bahwa pekerja seks komersil rerata adalah usia dewasa. Padahal amat mungkin terjadi pelakunya juga anak-anak yang masih belia.

Jadi sedih dan geram juga ketika Bandar Lampung dicemari oleh ulah seorang pedangdut yang tertangkap tangan oleh pihak berwajib, diduga terlibat prostistusi artis. Meskipun anehnya, para pelaku yang notabene memang pekerjaannya (maaf) menjual diri ini justru bisa dibebaskan dengan alasan karena dugaan perdagangan manusia. Otomatis hanya mucikari yang dikenai hukuman. Sedangkan pelakunya (psk) bisa melenggang bebas. Bukankah kemungkinan besar mereka melakukan aksi yg sama di tempat lain?

Ironis sekali.

Perbuatan melanggar norma kesusilaan yang selama ini ditayangkan di beberapa media mainstream ternyata semakin lama semakin membuat miris. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang notabene jauh dari agama, karena ternyata perilaku keji ini juga dilakukan oleh orang-orang yang klimis. Khilaf? Benar sekali, tidak ada kejahatan yang diakui dengan rasa percaya diri bahwa ia telah melakukannya, karena rata-rata pelakunya akan mengatakan khilaf. Padahal setelah disidik kepolisian justru ia mengakui bahwa perbuatannya itu dilakukan dengan keadaan sadar dan tidak sedang mabuk.

Boleh jadi ada pelaku-pelaku lain seperti muda-mudi yang kedapatan melakukan perbuatan asusila ini, yang kebetulan mereka tidak sempat diendus media. Mereka tiba-tiba hamil, kemudian untuk menutupi rasa malu orang tuanya menikahkan anaknya dengan menyuap seorang petugas pencatat nikah.

Melihat fenomena seks bebas, sepertinya kita seolah-olah terkejut dengan apa yang terjadi, ya? Padahal di antara kita justru banyak yang membiarkan perilaku tidak senonoh ini terjadi. Tak sedikit orang tua yang membiarkan anak-anaknya bergaul tanpa mengenal waktu dan di luar batas kewajaran. Mereka membiarkan pergaulan anak-anak mereka keluar dari batas kewajaran, dengan dalih modern.

Padahal dengan dalih modern dan membiarkan prilaku anak yang menyimpang ini, otomatis kita membiarkan bibit kejahilan semakin mewabah. Mohon maaf sekali lagi kejahatan seksual tidak melulu dilakukan orang yang bertampang sangar saja, karena mereka yang sok alim ternyata banyak yang memiliki kelainan seksual, atau membiarkan kebejatan ini terjadi di lingkungannya.

Saya masih ingat cerita kawan, bahwa salah satu siswa SLB ada yang telah diperkosa oleh sopir yang biasa mengantar dia ke sekolah. Namun yang membuat miris, korbannya ternyata bukannya trauma tapi justru terlihat biasa saja. Seolah-olah delik ini bukan pemerkosaan tapi justru perbuatan suka sama suka. 

Begitu pula yang terjadi beberapa tahun silam, seorang kepala SLB di Jawa Timur telah merudapaksa siswanya sendiri. Kebetulan siswanya adalah seorang anak tuna grahita. Kemudian di salah satu SLB di Lampung, seorang penjaga dan pengurus asrama telah melakukan tindakan asusila terhadap siswa asramanya. Entah suka sama suka atau apa, yang pasti pelakunya adalah penjaga sekolah yang usianya berselisih jauh dan kebetulan korbannya adalah anak sekolah dan tuna grahita pula. Akhirnya pelakunya dimasukkan ke dalam penjara.

Sebuah tindakan yang mengerikan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Bisa guru, penjaga, atau justru kepala sekolah sendiri tega melakukannya. Dan bukan saja akibat korban perkosaan, karena akhir-akhir ini anak-anak berkebutuhan khusus menjalin pergaulan yang sungguh mengkhawatirkan.  

Sebuah potret buram dunia pendidikan yang acapkali kita abaikan. Kejahatan tidak hanya terjadi pada anak-anak normal saja, karena akhir-akhir ini ternyata menghinggapi anak-anak berkebutuhan khusus ini. 

Apakah sekolah tidak mengawasi siswa-siswanya? Jawabannya tidak ada sekolah yang membiarkan para siswanya menjadi korban atau justru sebagai subjek kejahatan ini. Lantaran semua sekolah memiliki aturan atau kode etik yang selalu saja dipegang dan dilaksanakan. Nah, jika ternyata siswa-siswi ABK ini menjadi korban atau justru pelakunya, tentu karena setiap anak manusia dibekali nafsu, jika nafsu keji sudah menghinggapi dan kontrol diri tidak ada lagi maka sudah dapat dipastikan kejahatan seksual akan terjadi. Apalagi jika orang tua justru membiarkan anaknya terlalu bebas dalam pergaulan, maka otomatis kejahatan seksual atau pelanggaran norma semakin besar kemungkinan terjadi.

Ketika Kejahatan Seksual Mengimbas Anak-anak ABK

Kembali pada topik pembicaraan, mengapa akhir-akhir ini anak-anak ABK banyak yg menjadi korban, atau justru menjadi pelakunya? Suatu hal yang patut dicermati.

Pertama, anak-anak ABK hakekatnya secara kematangan seksual memiliki kesamaan dengan anak-anak normal lainnya. Yakni mereka juga bisa mengalami perubahan secara fisik dan psikis, meskipun perubahan itu agak terlambat, khususnya bagi anak-anak tuna grahita. Sedangkan anak-anak tuna rungu wicara, relatif sama dengan anak-anak pada umumnya. Kekurangan mereka hanya pada organ pendengaran dan pengucapan saja.

Kecenderungan menyukai lawan jenisnya pun sama tidak ada bedannya. Yang membedakan adalah tingkat kematangan berpikir atau psikis yang jauh dari anak-anak pada umumnya.

Eksesnya, tak mengherankan jika mereka juga terlibat asmara. Kadang guru sendiri kurang bisa mengerti komunikasi yang sangat rahasia ini. Melihat anak normal saja sulit terdeteksi apalagi ABK yang model komunikasinya dengan bahasa isyarat misalnya. Seperti yang saya amati, di antara mereka yang pubertas atau ABG ternyata juga sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Bahkan saya seringkali memanggil dan memberikan bimbingan kesusilaan kepada  siswa-siswa saya jika kedapatan berpacaran di sekolah. Tak kurang pula melibatkan orang tua.

Sayang sekali, di antara anak-anak yang mengalami perkembangan seksualitas ini orang tua kurang mawas diri, meskipun di antara mereka ada juga yang guru, atau pejabat dinas misalnya, mereka kurang begitu merespons setiap perkembangan fisik dan psikis anaknya. Ditambah lagi masih sedikitnya komunikasi dengan guru-gurunya. Tentu persoalan yang menimpa sang anak akan sulit terdeteksi.

Melihat hal ini tentu menjadi sulit bagi sekolah untuk melakukan pembinaan. Belum lagi jika ternyata orang tua yang angkuh dengan berkacak pinggang tidak menerima tuduhan bahwa anaknya telah melakukan pelanggaran. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.

Kedua, media komunikasi, seperti HP (ponsel) atau Laptop (internet) tidak begitu diawasi oleh orang tuanya, dengan alasan anak-anak ABK sebagai sosok yang tidak mengerti akan teknologi. Padahal kenyataannya media komunikasi modern ini sudah mereka kuasai. Maka tak ayal, beberapa anak ABK seringkali menonton tontonan yang belum layak ditonton. Mereka begitu mudahnya mendapatkan fasilitas HP (ponsel) yang super komplit tapi tak pernah memeriksa apakah terdapat tontonan yang tidak layak bagi mereka.

Seringkali sekolah kami melakukan razia HP (ponsel), dan diketemukan tontonan yang tidak baik bagi anak-anak. Orang tua pun acapkali dipanggil ke sekolah terkait persoalan ini. Tapi faktanya masih ada saja guru yang kecolongan, ternyata anak masih bisa mengonsumsi tontonan yang tidak mendidik tersebut.

Entahlah, mungkin karena kesibukan, sehingga anak-anak ABK malah dianggap sepele dan dinomorduakan. Mencari kebutuhan ekonomi namun tidak sedikit yang justru mengorbankan anak-anaknya. Beruntung sekali, sampai saat ini anak saya tidak saya berikan fasilitas HP (ponsel), karena melihat belum siapnya mereka menerima teknologi modern itu.

Ketiga, karena anak ABK dianggap tidak mampu melakukan apa-apa, kerapkali orang tua menyepelekan pergaulannya. Maka yang terjadi ya seperti kasus yang banyak terjadi akhir-akhir ini justru si anak malah menjadi korban atau salah pergaulan hingga terjerat pada prilaku yang menyimpang.

Yang pasti, anak ABK adalah anak-anak istimewa yang semestinya mendapatkan perhatian yang lebih. Orang tua boleh saja mempercayai pergaulan anak-anak mereka, namun yang mesti dipahami bahwa perkembangan seksual anak ABK relatif sama dengan anak-anak pada umumnya meskipun secara mental dan kognisi agak terhambat atau terganggu.

Akhir kata, jangan pernah abaikan atau lalaikan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus itu, karena merekapun sama bisa menjadi korban atau justru menjadi pelaku kejahatan.

Salam

Metro, Lampung, 5/3/2016

 

NB:

Tulisan ini boleh dikomentari dan diberikan saran atau solusi jitu demi perbaikan pendidikan bagi ABK selanjutnya.

Tulisan lain yang menambah referensi: di sini, di sini

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun