Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Guru "Nekat" Sudah Biasa?

3 Maret 2016   23:54 Diperbarui: 9 Maret 2016   06:23 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaannya, Apakah saya pernah mengeluh? Ya. Jujur saja saya awalnya sering mengeluh. Gak cuman guru SLB, karena guru-guru umum pun akan mengeluh, apabila menemukan siswa-siswi yang kurang berkenan di hati. Karena apa? Dulu saya honorer murid-murid saya lumayan cerdas, meskipun saya gak cerdas, tapi kalau berhadapan dengan anak-anak cerdas tentu lebih mudah mengarahkan. Giliran memasuki dunia ke-PLB-an saya seperti masuk ke dalam kawah candradimuka. Saya digodog dengan aneka rupa anak-anak istimewa, agar saya bisa mendalami setiap kelemahan dan berusaha mencari solusi sebaik-baiknya, agar anak-anak yang dititipkan tersebut bisa berkembang menjadi lebih baik. 

Beruntung sekali, ada kebijakan setiap guru SLB diikutkan dalam pendidikan dan latihan agar mereka bisa menguasai medan. Meskipun tidak seratus persen, tentu tetap akan berefek positif bagi pemenuhan gizi pembelajarannya.

Yang tetap menjadi keyakinan adalah, banyak orang yang gagal yang takut keluar dari kemapanan, mereka emoh menemukan hal baru. Dan bagi orang yang berani menghadapi tantangan, tentu lambat laun akan menemukan jawaban yang positif dari setiap tetes keringatnya.

Menjadi guru SLB adalah kenekatan, karena kalau tak nekat tentu tak mampu bertahan hingga bertahun-tahun. Dan alhamdulillah dengan nekat itu, tak sedikit para siswaku yang tak mau berganti guru, lantaran betah jika saya yg mendidik mereka. "GR"

[caption caption="Suasana latihan berpuisi bersama anak tuna daksa, meskipun belum pernah menang di tingkat nasional, minimal sudah mejeng deretan penerima trofi tingkat provinsi (doc. pribadi)"]

[/caption]

2. Sabar

Mungkin benar apa yang dikatakan saudara-saudara guru di sekolah umum, bahwa "guru SLB itu kog bisa sabar gitu ya? Padahal murid-muridnya anak-anak yang aneh-aneh." Dan saya buktikan sendiri bahwa memang benar harus sabar. Bagaimana tidak, ketika mengajar, tiba-tiba murid memukul gurunya dengan raket, kebetulan anak ini anak Autis, yang tidak mempunyai kontrol diri. Jika ada teramat sedikit bisa mengendalikan dirinya. Makanya anak-anak autis tidak sedikit yang tiba-tiba memukul guru, mencakar dan ada pula yang mencubit hingga gurunya kesakitan. Tapi ya itu tadi, guru bagi anak-anak istimewa adalah guru yang harus sabar. Hatinya harus dalam sedalam samudra, lantaran itulah tantangannya.

Bahkan bagi anak-anak Tuna Rungu atau kelemahan dalam organ pendengaran dan pengucapannya, mereka rata-rata kurang menghormati gurunya. Mereka menganggap guru sama dengan dirinya. Makanya jangan heran kalau gurunya tiba-tiba dikatain sinting atau gila dengan meletakkan jari tangannya di kening pertanda mengatai gurunya dengan amat enaknya. 

Yang lebih sulit lagi ketika harus mempelajari bahasa isyarat, sebagai alat berkomunikasi bagi anak-anak tuna rungu. Karena tanpa bahasa isyarat maka jangan harap para guru bisa membina anak-anak ini.

Guru SLB haruslah mempunyai kesabaran yang levelnya 100, kalau guru-guru umum masih sempat memukul siswanya, maka perlu diperiksa kejiwaannya. Apakah ia sudah lulus tes psikologi atau belum? Kalau belum mending berobat dulu kejiwaannya agar tidak lagi memukul muridnya. Guru adalah contoh, berikanlah contoh atau teladan yang baik.

Jika mereka mengatakan guru SLB itu luar biasa sabar memang itu kenyataannya. Tapi kalau menganggap jadi guru SLB itu gampang, maka mesti dites dulu kira-kira tiga hari betah gak kira-kira mengajar di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun