Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teror Bom (Sarinah), Saya Masih Takut dengan Hal Ini

17 Januari 2016   14:29 Diperbarui: 17 Januari 2016   20:15 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sunakim alias Afif, pelaku teror Sarinah, Jakarta, 14/1/2016 (Kompas.com)"][/caption]

Beberapa hari lalu, Kamis, (14/1/2016), bangsa ini sedikit terhenyak, kerkejut dan panik lantaran sebuah aksi teror telah mencderai ketentraman dan kenyamanan bumi pertiwi. Tindakan yang sangat tidak pantas dan tidak layak terjadi di dalam negara yang tengah menggeliat berbenah diri dari keterpurukan.

Sebuah kekhawatiran yang beberapa waktu lamanya pun dihembuskan dan dipertanyakan tentang adanya rencana konser. Isu konser yang dihembuskan oleh beberapa orang yang saya tidak tahu darimana sumbernya.

Seorang tokoh masyarakat menyatakan pada saya "mas, sampean paham gak dengan adanya isu konser? Denger-denger konser itu adalah sebuah rencana yang akan dilakukan oleh ISIS di Indonesia".

Saya mendengarkan dengan perasaan agak bertanya-tanya, apakah maksud konser itu?. Namun setelah saya coba pahami dengan hati-hati saya menjadi tahu, bahwa ternyata konser yang dimaksud adalah sebuah "ancaman". Kelompok garis keras berencana membuat pesta besar di Indonesia. Dan ternyata dugaan saya benar, konser yang dimaksud itu pun terbukti.

Meskipun pihak ISIS tidak menyebutkan bahwa teror bom di Sarinah itu adalah ulah mereka, namun jika diruntut berdasarkan ancaman itu, membuktikan bahwa ISIS tidak bermain-main dengan ancamannya. Tepatnya Kamis, 14 Januari 2016, di kawasan Sarinah, Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat, dalam sekali serangan jatuhlah 24 korban dengan 7 orang meninggal dunia.

Sebuah teror yang cukup mengejutkan dan mengerikan dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka selalu membuat saya dan boleh jadi masyarakat sipil menjadi khawatir, apakah teror ini akan ada lagi dan lagi, setelah sekian waktu teror itu tidak ada lagi.

Bagaimana kejinya teroris membuat rusuh, demi ambisi terselubung yang saya pun tidak tahu siapa "otak" segala gerakan radikalisme ini.

Dan yang membuat saya lebih miris, kenapa mereka menggunakan simbol "Syahadat" dalam bendera mereka, dan mereka selalu menggunakan kalimat takbir, yang menunjukkan bahwa mereka adalah umat Islam. Entah, umat Islam yang mana kog mereka begitu kejam melakukan aksi jihad ini demi sebuah ambisi yang katanya menegakkan sebuah khilafah atau negara Islam.

Siapa yang mendanai usaha mereka, dan bagaimana mereka bisa membeli senjata yang cukup canggih itu, jika mereka bukan berasal dari kelompok kaya raya yang sengaja membiayai serangan teror itu demi memberangus nama baik agama Islam.

Agama yang saya pahami dan yakini adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Agama damai dan memberikan keselamatan untuk semua. Tak hanya bagi umat Islam saja, lantaran kehadiran Muhammad SAW justru ingin membuat bumi ini tentram dan damai, meskipun perbedaan keyakinan. 

Saya jadi prihatin, kecewa dan miris, sebuah gerakan yang cukup ironis yang "memanipulasi" konsep Islam itu sendiri, dan mereka sengaja meniupkan roh kejahatan atas nama Allah demi meraih dukungan dari masyarakat Islam. Meskipun sampai saat ini, umat Islam pun sadar, bahwa kejahatan yang "memanipulasi" nama Allah itu adalah SESAT dan MENYESATKAN. 

Makanya hingga detik ini, meskipun mereka berusaha meraih massa sebanyak-banyaknya, toh Umat Islam tetap tak bergeming dan meyakini apa yang mereka kobarkan adalah semangat permusuhan dan kehancuran yang justru akan mempercepat kehadiran kehancuran umat itu sendiri. 

Saya masih ingat pesan seorang ulama, bahwa Islam itu akan hancur oleh umat Islam itu sendiri. Mereka seolah-olah berjuang demi agama ini, tapi faktanya sedikit demi sedikit malah menghancurkan wibawanya. Bagaimana tidak? Agama yang saya pahami berdasarkan Kitab Suci Alqur'an dan Hadits adalah mengajarkan tentang "AKHLAK" atau budi pekerti, justru tercoreng oleh segerombolan orang yang mengaku-ngaku berjuang, berjihad untuk menegakkan agama Allah.

Pertanyaannya agama Islam yang mana yang mereka perjuangkan? Aneh bukan?

Terlepas dari itu semua, meskipun aksi teror telah terjadi dan boleh jadi di lain waktu dan tempat mereka merencanakan aksi brutal ini, ada kekhawatiran saya selalu seorang ayah dari anak-anak yang masih bau kencur. 

Pertama, saya khawatir, jika ternyata misionaris ISIS ini masuk ke lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren dan menghancurkan akidah anak-anak saya

Saya sangat khawatir, apabila di usia yang masih terlalu dini mereka mengenal ajaran kekerasan ini, justru ketika mereka menginjakkan kakinya di bangku sekolah, ternyata orang-orang di sekitarnya dan para guru misalnya memiliki kesamaan visi dan misi dengan ISIS ini. Maka sudah dapat dipastikan, anak-anak saya tentulah akan mendapatkan pelajaran yang keliru dari lingkungan mereka, termasuk para gurunya yang boleh jadi berpihak pada gerakan radikal ini.

Meskipun kita sepakat bahwa bangsa ini tidak boleh takut dengan ancaman teror, toh faktanya teror tetap berlangsung. Hal ini tidak boleh dianggap sepele. Apalagi para pembawa misi "jihad sesat" ini telah menyasar anak-anak polos dan bau kencur seperti anak-anak saya itu. Betapa sedihnya saya dan orang tua yang lain jika anak-anak yang disekolahkan dan menjalin pertemanan adalah orang-orang yang bermental radikal.

Sungguh tidak pernah kita pahami dan mengerti, gerakan mereka sungguh rapi dan teliti. Dengan mengelabui tokoh agama dan masyarakat serta aparat keamanan, mereka terus saja menyebarkan misi kekerasan ini pada generasi muda. 

Saya masih ingat dengan sebuah pesantren yang dikelola oleh Abu Bakar Ba'syir yang notabene merupakan pesantren yang mencetak generasi muslim, tapi sayang beribu sayang, idealisme dan ajaran ke Islaman ternyata jauh melenceng yang saya pahami. Berbeda jauh dari apa yang saya dapatkan ketika saya bersekolah di sebuah pesantren NU dan mengenyam pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang dikelola masyarakat Nahdhatul Ulama.

Mereka benar-benar mengajarkan arti Islam yang rahmatan lil 'alamin. Bagaimana agama dibangun dengan landasan ahlussunah wal jamaah yang selalu bersikap toleransi, persatuan, pertengahan yang sengaja digelorakan demi membangun generasi muda yang mencintai bangsanya. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan yang saat ini bermunculan, ajaran ahlussunah wal jamaah yang saya terima sudah sulit sekali saya dapatkan.

Boleh jadi, karena lembaga-lembaga yang bercirikan NU itu sulit sekali berkembang di beberapa wilayah. Lantaran banyaknya lembaga pendidikan lain yang boleh jadi memiliki sifat pengajaran yang sama tapi kurang begitu serius mengajarkan makna toleransi dan keberagaman. 

Sungguh ironis, lembaga-lembaga yang tergolong radikal itu justru seperti jamur di musim hujan, mereka bertumbuh seiring dengan begitu longgarnya pemerintah dalam mengawasi perkembangan lembaga pendidikan bagi anak bangsa ini. Pemerintah sepertinya terlalu abai dan membiarkan lembaga-lembaga yang sudah pasti mendukung radikalisme bisa terus tumbuh dan menyebarkan misinya. Sedangkan lembaga NU (Ma'arif) dan Pesantren yang dikelola NU seakan-akan dibiarkan saja diberangus oleh kemajuan jaman.

Para ulama yang sejatinya mengembangkan misi Islam nusantara itu justru saat ini seperti kehilangan kendali - meskipun belum sepenuhnya - lantaran lembaga-lembaga yang dikelola oleh NU tersebut kurang mendapatkan dukungan. Dampaknya saat ini, pesantren dan lembaga pendidikan formal lainnya milik NU ini semakin terjerambab oleh canggihnya gerakan radikal yang semakin banyak bertebaran. Islam yang bersifat substansi, kini berubah menjadi amat formal.

Negara yang berpedoman pada UUD 45 dan Pancasila yang hakekatnya sesuai dengan ajaran Islam, kini seperti tinggal kenangan. Dan tinggal menghitung waktu, suatu saat nanti mungkin saja negara ini akan hilang ditelan jaman, lantaran pemahaman kenegaraan yang sudah bergeser terlalu jauh.

Mereka sudah tidak lagi mengakui Indonesia dengan prinsip keberagaman dan demokrasi, lantaran konsep khilafah menjadi cita-cita terbesar. Meskipun ternyata orang-orang yang memperjuangkan konsep ini ternyata jauh melenceng dari skenario Islam sendiri yang uswatun hasanah dan rahmatan lil alamin.

Mereka tak lagi takut membunuh, meneror dan menghabisi yang tak sepaham, demi keyakinan sempit atas nama jihad.

Mudah-mudahan, anak-anakku tidak bergaul dan bersekolah bersama orang-orang yang memiliki mental keji dan merusak ini. Karena jika ini terjadi, alamat buruk akan terjadi, lantaran orang tua sendiri pun dimusuhi dan boleh jadi dihabisi lantaran tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Na'udzubillah.

Kedua, lingkungan yang abai, tidak peduli ketika gerakan-gerakan radikal menyusup di tengah-tengah masyarakat

Kondisi kedua ini juga tak boleh diabaikan, dan ini memunculkan rasa khawatir jika ini benar-benar terjadi. Munculnya gerakan radikal yang ternyata menyasar anak-anak muda polos ini diawali oleh sikap individualistis masyarakat saat ini. Mereka kebanyakan lebih banyak mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, meskipun boleh jadi di lingkungannya bermunculan banyak gerakan radikal dan kelompok-kelompok kecil sparatis. 

Masyarakat saat ini, khususnya lingkungan saya, lebih banyak menghabiskan waktu untuk kepentingan pribadi, tanpa mengawasi aneka gerakan dan orang-orang yang justru menyebarkan ajaran menyesatkan ini. Bahkan sempat pula kecolongan, beberapa waktu lalu, seorang yang mengakunya dari Jawa Tengah, datang ke kampung kami ternyata diduga kelompok teroris.

Mereka mencari modal investasi dengan menipu hingga ratusan juta rupiah, demi untuk memberikan modal pada gerakan jihad mereka. Awalnya kami anggap pendatang ini adalah orang yang butuh bantuan dan memang mereka tinggal dgn kerabat mereka, tapi lama-lama mereka memisahkan diri dan selalu menutup diri dari lingkungan. Saat ini entah dimana keberadaannya masih terus dicari lantaran banyak masyarakat yang tertipu.

Contoh ini, boleh jadi banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Kita selalu saja membiarkan siapa saja masuk dengan alasan "bukan urusan saya", tapi kita membiarkan gerakan-gerakan mencurigakan dan terkesan radikal justru merusak ketenangan dan kedamaian masyarakat.

Ketiga, ketika pemerintah pun abai dan membiarkan kelompok-kelompok radikal begitu bebas melakukan aksinya.

Bangsa ini boleh bangga dan puas diri lantaran aksi teror di Sarinah beberapa waktu lalu bisa diatasi dan pelakunya terbunuh, tapi yang semestinya menjadi catatan adalah betapa banyak orang yang berpaham agama ala mereka. Mereka terlihat seperti masyarakat kebanyakan, tapi kita tidak tahu persis, apa yang ada di dalam otak mereka. 

Apalagi di antara kita, justru anak-anak sekolah dan mahasiswa sudah banyak yang tidak diketahui ajaran apa yang saat ini mereka ikuti, lantaran kebanyakan mereka menutup diri. Mereka begitu mudahnya mengikuti ajaran kelompok tertentu hanya dengan bermodalkan ayat-ayat Qur'an dan hadits, tanpa mengetahui esensi ajaran yang dikandungnya. Mereka seperti dihipnotis begitu saja mengikuti tanpa bisa mengontrol diri bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. 

Membiarkan organisasi-organisasi yang jauh melenceng dari ajaran Islam tentu sebuah kesalahan fatal. Sama saja pemerintah membiarkan bangsa ini dirongrong oleh kelompok-kelompok yang sudah tidak ingin negeri ini tegak berdiri. Dan yang sungguh mengherankan, kenapa kita selalu saja membiarkan gerakan yang berusaha merusak identitas bangsa yang berpancasila ini semakin tak berdaya.

Bagaimana mungkin, negeri yang katanya "harus" ber Pancasila justru materi mata pelajaran Pancasila yang biasanya diajarkan di sekolah malah semakin sedikit. Ditambah lagi pembelajaran agama Islam yang seharusnya mengajarkan budi pekerti pun semakin tidak dianggap. 

Dampaknya ya saat ini, ketika sekolah tidak lagi memberikan kesempatan anak-anak muda belajar pendidikan ke Pancasilaan dan ke agamaan, justru mereka akan keluar dan mencari materi-materi itu kepada orang-orang yang tidak tahu darimana mereka berasal. Timbulnya aneka pemahaman keliru yang justru membuat generasi muda semakin terjebak pada konsep yang salah.

Kesalahan inilah yang saat ini masih terjadi, dan yang perlu dicatat, pemerintah belum sepenuhnya menutup kran informasi propaganda yang menyesatkan yang justru saat ini menjadi alat belajar para generasi muda ini. Sebuah kelalaian yang dampaknya semakin kuatlah pengaruh terorisme radikal menyerang generasi muda.

Beberapa hal itulah yang selama ini saya takutkan. Bukan pesimis, tapi inilah fakta. Bahwa selama ini lembaga pendidikan, lingkungan masyarakat dan media informasi sudah sangat jauh melenceng dan cenderung mengajarkan tentang nilai-nilai radikalisme tanpa kita sadari.

Meskipun demikian, selaku orang tua, maka tidak ada kata lain selain mawas diri dan membentengi anak-anak sendiri agar tidak salah dalam menempuh pendidikan dan tidak tersesat ketika mencari pergaulan serta informasi tentang agama Islam yang benar.

Salam

#KamiMasihTakut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun