Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dangdut Musik Kampungan, Ah Masak?

27 Desember 2015   08:46 Diperbarui: 28 Desember 2015   00:18 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah saya sedikit dibuat miris oleh salah satu sahabat saya yang agak kekota-kotaan, bila satu kesempatan saya perdengarkan musik dangdut di sela-sela perbincangan kami, dia selalu mengatakan "dangdut?" dengan nada penuh ejek. Bahkan setiap saat saya menikmatinya, beliau selalu saja menyebut dengan kampungan. "Waha bro, hari gini ndengering dangdut, bisa-bisa rambut saya ikut keriting."

Weleh, saya pikir ini orang Indonesia yang ndeso tapi menganggap musik yang enak didengar itu dengan label kampungan. Jadi keingetan gaya orang yang lugu dari desa terus dipanggil kampungan. Gak banget ahhh...

Apa iya, apa yang dikatakan sahabat itu bisa dibenarkan? Apakah dangdut yang begitu ciamik dan menghanyutkan rasa untuk berdendang itu selalu dikategorikan kampungan? Bukankah musik itu semua berasal dari olah cipta, karya dan karsa manusia? Apalagi saat ini dangdut sudah masuk ke berbagai sudut kota.

Tak hanya melulu masuk kelas elit (ekonomi sulit) saja, tapi juga masuk masyarakat yang dikategorikan menengah ke atas. Bahkan ada sebagian masyarakat AS yang sampai saat ini demen menyanyikan lagu dangdut dan mengoleksinya di dalam sebuah situs.

Tentu saja dengan aktivitas ini terlihat sekali bahwa musik dangdut sudah masuk ke berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat pinggiran "ala saya" tapi juga masuk ke wilayah-wilayah masyarakat perkotaan. Tidak melulu orang-orang yang membawa cangkul di bahunya, tapi masyarakat yang sudah begitu melek dengan media informasi modern saat ini.

Dalam batin saya sedikit heran, oalah kang-kang, orang desa kog malah ndeso, bukannya mencintai musik dari negeri sendiri yang indah ini, tapi justru merendahkannya dan menganggapnya sebagai musik kelas dua. "tepuk jidat"

Dangdut Academy Asia ('D Academy Asia) Indosiar, Ketika seluruh dunia "dihipnotis" musik dangdut

Setiap malam, semenjak kompetisi dangdut Asia di salah satu televisi swasta nasional ini dihelat, saya dan keluarga, tak pernah luput untuk menyaksikan perhelatan akbar kompetisi dangdut Asia ini. Bahkan semenjak Dangdut dibuat kompetisi lain di tingkat lokal seperti D Academy 1 dan 2 dengan menempatkan sosok Lesty dan Evy sebagai pemenang ala SMS, ternyata di lain stasiun televisi kompetisi olah vokal ini terus saja dilakukan.

Tentu saja selain karena ingin memasyarakatkan musik dangdut sebagai khasanah musik asli Indonesia juga ingin menjadikan dangdut sebagai musik Asia bahkan dunia. Tak pelak, melihat betapa antusiasnya penonton ketika kompetisi ini berlangsung menjadikan saya semakin bangga bahwa bangsa kita semestinya selalu cinta dangdut dan menempatkannya sebagai musik pertama sebagai koleksi pribadi selain musik-musik dengan genre lain.

Saya begitu kagum dan haru ketika para komentator dan penilai yang berasal dari empat negara ini menyatakan turut terhanyut dengan dendang dangdut yang menyentak rasa, hingga air mata tak terasa mengalir begitu deras lantaran terhipnotis oleh indahnya lantunan musik dangdut "melow" yang dinyanyikan para kompetitornya.

Dangdut membuat setiap orang yang menyukainya terbawa pada situasi penghayatan yang begitu dalam hingga mereka tak bisa lagi mengontrol diri. Seperti kala Lesti menyanyikan lagu Keramat ciptaan Bang Haji Rhoma Irama. Semua komentator meneteskan air mata karena haru atas suara yang dihasilkan oleh penyanyi asal Jawa Barat ini. Bahkan tak hanya haru karena indahnya suara, lantaran syair lagu sarat akan pendidikan moral dan kemanusiaan yang turut memicu rasa kepedulian akan nilai-nilai estetika dan etika yang terbalut dari syair-syair yang didendangkan.

Efek dangdut begitu terasa, sama halnya ketika para penyuka musik Rock atau Pop yang terhanyut pula dalam suasana penuh penghayatan. Dangdut menempatkan dirinya sebagai musik yang begitu menghipnotis pendengarnya. Jujur saya sendiri dan istri ketika mendengarkan Lesty menyanyikan lagu melow, tak terasa air mata pun menetes. Apa "cengeng?". Bukan, tapi karena begitu dalamnya nilai-nilai yang disampaikan dalam syair yang begitu indah.

Ketika dangdut mempersatukan bangsa-bangsa dunia

Ketika saya berusaha membandingkan betapa dahsyatnya dangdut karena bisa menghipnotis pendengarnya, saya pun berusaha membandingkan lagu pop yang dinyanyikan oleh mendiang Michael Jackson dengan salah satu lagunya berjudul "You Are Not Alone", saya dan pendengarnya begitu mendalami betapa lagu itu penuh dengan syarat makna akan nilai-nilai kemanusiaan.

Begitu pula lagu dengan judul Keramat karya H Rhoma Irama dan lagu-lagu lain yang dinyanyikan oleh kompetitornya. Aura nilai moralitas dan kemanusiaan begitu lekat pada lagu dangdut dan menjadikannya semakin menarik untuk dicintai.

Ketika orang-orang mencintai lagu dengan genre lain dan menjadikan sebagai gaya hidup,kiranya saat ini dangdut pun pantas untuk digandrungi. Karena dangdut adalah lagu segala usia dan zaman, lagu untuk berbagai kalangan, dan tentu saja dangdut bisa menjadi karya seni yang mendunia tak sekedar di tingkat Asia.

Itulah fenomena dangdut yang sejatinya merupakan buah karya seni tingkat tinggi yang tak sekedar penghibur, karena dangdut bisa menyatukan bangsa bangsa dengan alunan syair-syairnya yang menggugah rasa.

Bagaimana dangdut yang menggelorakan cinta damai dan persatuan akan menjadi bagian dari bersatunya bangsa-bangsa menjadi bangsa yang mencintai perdamaian.

Seni adalah kreasi penuh imajinasi yang merajut kembali sekat-sekat perbedaan di antara banyak negara, seperti lagu-lagu lain yang juga memiliki motif yang sama.

Begitu pula dengan dihelatnya kompetisi di D Academy Asia Indosiar, merupakan manifestasi karya yang fenomenal, tatkala dangdut bisa menjadi jalur koneksi yang cukup eksentrik nan apik, mendamaikan negara-negara yang sempat berselisih lantaran kepentingan masing-masing, seperti antara Malaysia dan Indonesia yang sempat hanyut dalam situasi pergolakan perbatasan dan kasus TKI.

Semua itu adalah efek positif dari dibudayakannya dangdut. Dangdut bisa menjadi mata rantai yang bisa mendamaikan semua konflik dan juga memperbaiki moralitas masyarakat.

Sungguh, dangdut adalah fenomenal.... itu menurut pandangan awam saya. Bagaimana menurut Anda?

Metro, Lampung, 28 Desember 2015 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun