Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar dari Tadjie Seorang Difable, Ingin Tetap Sekolah Meski dalam Kekurangan

17 September 2015   11:18 Diperbarui: 30 Juli 2016   10:32 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepagi ini terlihat anak-anak sudah bersiap-siap berangkat sekolah. Seragam sudah dikenakan, tas sekolah sudah nyantol dipunggung beserta bontot(bekal) yang biasanya juga dibawa. 

Termasuk anakku sendiri yang sulung kebetulan sudah kelas 4 Sekolah Dasar dan yang kedua masih di Taman Kanak-Kanak. Sedangkan yang bungsu masih sekolah sama orang tuanya. Di momong karena memang masih pra sekolah. Meski demikian si bungsu selalu turut sang ibu lantaran mengelola sekolah kecil di kampungnya. Selain kebiasaan rutin itu, tentu akan muncul beberapa hal yang turut menyertai kegiatan anak-anak sebelum mereka menjejakkan kakinya di sekolah. Baik hal yang sepele maupun yang rumit.

Sudah menjadi kebiasaan, kalau tiba saatnya berangkat, kadang anak-anak malas sekolah. Entah karena capek, uang jajan atau faktor pertengkaran di sekolah. Belum lagi beban berat pelajaran di sekolah yang saat ini memang turut memicu depresi anak-anak sekolah jika guru dan orang tua tidak bersinergi menciptakan dunia pendidikan anak-anaknya menjadi lebih menyenangkan. Meskipun tugas belajarnya semakin berat, menjadi ringan jika saling menyadari posisinya masing-masing.

Persoalan anak tetap menjadi bumbu wajib dalam rumah tangga. Misalnya karena harusnya bersekolah, mereka masih saja asik bermain-main. Kadang mandi saja malas. Kalau diminta sarapan alasannya selalu kenyang. Apalagi masakan sang ibu kurang cocok di lidah anak, tentu menjadi alasan umum anak sering malas sekolah. Belum lagi kalau belajar di rumah belum menjadi kebiasaan, tentu anak selalu saja ingin menatap layar televisi yang isinya membuat anak-anak sekolah tergiur menyaksikan. Yang mengkhawatirkan saat ini tayangan televisi amat jarang - bahkan tidak ada - yang mendidik. Hanya satu tontonan yang masih layak untuk anak-anak yaitu Upin dan Ipin. Film yang diproduksi oleh generasi muda Malaysia ini saat ini adalah salah satu dari sekian banyak tayangan televisi yang paling sesuai dengan usia anak-anak. Sosok dua anak lucu dan cerdas yang cukup memancing ide-ide pengajaran tentang budi pekerti dan pengalaman hidup bagi penontonnya khususnya anak-anak.

Meski ada pula film garapan generasi Indonesia, kebanyakan menunjukkan tingkah pola yang belum layaknya ditonton anak-anak, seperti; pacaran, perkelahian antar teman dan kebiasaan buruk lain yang turut serta dalam adegan sebuah film.

Terlepas dari kebiasaan anak-anak di rumah, khususnya anak sendiri, ada yang membuat saya cemburu adalah ketika saya melihat anak difable atau berkebutuhan khusus, ternyata memiliki motivasi belajar yang baik. Sebutlah namanya Tadji saat ini usianya menginjak 14 tahun. Anak penyandang tuna ganda yang saat ini tengah duduk di bangku sekolah dasar luar biasa (SDLB) Tuna Daksa di SLBN Metro, Lampung. 

Kenapa saya mesti cemburu jika melihat anak ini?

Tadji adalah sosok anak difable yang mempunyai keinginan belajar yang cukup tinggi. Bahkan saking tingginya motivasinya dalam belajar, sampai-sampai ia sendiri tidak menyadari bahwa kondisi fisiknya amat berbeda dari teman-teman seusianya. Jadi kadang karena semangatnya itu, saya sendiri agak kualahan mengatasi anak dalam belajar. Seperti misalnya, karena kondisi fisik yang tak sempurna yakni daksa dan netra (low vision) khususnya tangan dan kaki yang tidak normal ternyata keinginan bisa menulis begitu besar. Bahkan keinginan ingin menulis jauh melebihi anak-anak pada umumnya. Termasuk anak saya sendiri. 

Bahkan menurut penuturan sang nenek, karena saking besar keinginan belajarnya yang tinggi, sampai-sampai hari minggu saja masih ingin sekolah. Sebagaimana percakapan kami beberapa waktu lalu tatkala beliau mendampingin Tadji bersekolah.

Tak ada istilah berhenti barang sejenakpun. Keinginan ingin bisa menulis menjadi kekuatan dirinya agar bisa memenuhi keinginannya itu. Apalah dikata, selaku guru hanya bisa memfasilitasi keinginan murid dengan menyesuaikan potensi yang ada. Upaya selalu dilakukan meskipun secara perlahan dibimbing. Mudah-mudahan dengan semangat itu menjadi jalannya menemukan potensi yang sebenarnya dalam dirinya.

Begitu juga dalam kegiatan lain di sekolah, misalnya upacara bendera, ia selalu ingin menjadi komandan pleton atau pemimpin upacara, meskipun saat ini masih sering melaksanakan tugas sebagai pembaca susunan acara. Kondisi mata yang juga kurang mendukung belajarnya, pun harus dihilangkan kelemahan penglihatannya dengan banyak menghapal. Beruntung anak ini ingatannya cukup baik. Jadi susunan acara yang cukup panjang tak menjadi persoalan.

Bagi saya, tidak akan memaksakan diri menurut selera guru, tapi bagaimana memaksimalkan potensinya agar ia bisa berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Paling tidak bisa mandiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain.

Kondisi anak-anak (normal) pada umumnya

Ironis sekali ketika saya bandingkan dengan anak-anak normal lainnya. Tak perlu menilai orang lain, karena acapkali anak kita sendiri kurang menghargai kesempatan dan potensi yang dimiliki. Begitu mudah mereka melakukan mobilitas diri lantaran fisik yang sempurna. Mereka bisa berjalan karena kaki yang utuh, memegang dan bekerja dengan tangan juga bekerja sempurna.

Mereka memiliki mata yang bisa melihat indahnya dunia, melihat benda pembelajaran yang bisa mengisi setiap cawan pengetahuan yang masih kosong. Dan tentu saja semua bagian tubuh itu yang begitu mudahnya digunakan dan dimanfaatkan untuk aktivitas sehari-hari. Tak hanya dalam bermain, dalam belajar pun mereka tak mempunyai kesulitan.

Kiranya tak cukup dengan kata-kata jika menganggambar betapa nikmatnya memiliki tubuh yang sempurna. Bahkan disinyalir dalam dalam FirmanNya "dan jika engkau ingin menghitung nikmat Tuhan, maka engkau tidak dapat menghitungnya".

Betapa beruntungnya seseorang yang memiliki kesemburnaan. Berbeda sekali dengan Tadjie yang penuh dengan kekurangan. Tangan yang sulit digerakkan, mata yang kurang bisa fokus, dan kaki yang tak bisa pula diajak berjalan. Hemmmm, sembari mengelus dada, saya hanya bisa bersyukur, ternyata Tuhan memberikan keluargaku kenikmatan yang banyak. Nikmat kesehatan yang nilainya tiada terhingga, yang nilainya tak dapat diukur dengan banyaknya materi.

Baca juga...

http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/serunya-karnaval-hut-ri-ke-70-siswa-slbn-metro-lampung_55d59992a2afbd961ab539b3

 

Motivasi Belajar Anak-anak (Normal) saat ini

Saya sedih bila membandingkan semangat Tadjie dalam belajar dibandingkan dengan anak sendiri yang kadang bermalas-malasan. Tak pelak, karena kemalasan ini melupakan kewajibannya dalam menuntut ilmu. Padalah tubuh yang lengkap semestinya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat. Tak hanya anak sendiri, karena di luar sana, begitu banyak yang memiliki motivasi belajar yang rendah.

Kadang saya melihat anak-anak berseragam SMP yang tengah duduk di sebuah taman berduaan, padahal masih jam sekolah. Ada pula yang kongkow-kongkow di jalanan duduk di kendaraan bersama teman-temannya. Mereka berseragam SMA. Mereka rela menghabiskan waktu belajarnya untuk berfoya-foya, merokok dan minum-minuman keras. Adapula yang dihabiskan dengan berpacaran. Tanpa malu meskipun banyak orang yang melihatnya.

Tak hanya mereka yang tak masuk sekolah, karena di tempat lain ada yang justru asyik bermain internet di warnet padahal itu jam sekolah. Bahkan pernah ditulis oleh kompasianer hingga menjadi berita yang cukup menghebohkan. Ada pula yang harus digelandang kepolisian lantaran berduaan di sebuah tempat hiburan.

Kondisi ironis yang membuat miris. Betapa anak-anak saat ini acapkali tidak menghargai waktu dan kesempatan lapang untuk menuntut ilmu meski kondisi fisik mereka sangat sempurna.

Mestinya Kita Malu dengan Anak Seperti Tadji

Kita semestinya malu dengan anak yang berkebutuhan khusus ini, meskipun dalam kekurangan dan kelemahan fisik tidak mengurangi semangatnya dalam belajar. Tak peduli apapun kondisi fisiknya, yang penting ia ingin terus menambah pengetahuannya. Meskipun kadangkala tidak melihat kondisi fisik yang sebenarnya. 

Menggapai cita-cita adalah kemauan terbesar, tak boleh dihalangi oleh kelemahan fisik yang saat ini mendera. Tetap tabah dan fokus pada tujuan bahwa Tuhan memberikan kelebihan ini untuk memperoleh keberhasilan. Kelemahan semestinya ditutupi dengan kelebihannya, bukannya justru dibuang sia-sia dan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Ketika Tuhan menitipkan kelemahan, maka hakekatnya Tuhan juga memberikan kelebihan dibidang lain yang butuh proses untuk bisa didiberdayagunakan.

Wahai anak ABK

Engkaulah makhluk Tuhan yang sempurna

Senyum dan tawamu membuat kami bangga

Meski kadangkala orang-orang di sekelilingmu tak memahamimu

Membiarkan potensimu terbuang percuma dan sia-sia

 

Salam Kompasiana

Baca juga ya bro....!

http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/indonesia-surganya-iklan-judi_560012a4f77a61c82da543d9

http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/pelajaran-berharga-jangan-pernah-mengambil-hak-kaum-miskin_55f6c52f397b61653cee44b6

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun