Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Trend Keluarga Lebih dari 2 Anak dan Gagalnya Program KB

13 September 2015   15:00 Diperbarui: 14 September 2015   09:53 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah pula disarankan mengikuti program KB lain, ternyata istri kurang tertarik dengan alasan tertentu dan alasan ketidak nyamanan. Seperti susuk dan spiral. Apalagi susuk (IUD), salah seorang peserta KB ternyata di usia yang lumayan sepuh ternyata masih subur. Ketika susuk dicabut, ternyata malah hamil. Sepertinya proses monopause agak terlambat. Sehingga umur yang sudah uzur semestinya sudah tidak melahirkan anak, ternyata masih bisa mengandung. Apa terjadi gangguan hormonal ya? Tentu dokter atau bidan lebih bisa menjelaskan.

Ada pula yang akseptor KB dengan susuk, ternyata beberapa tahun kemudian susuk tersebut berpindah dari tempat awalnya. Dampaknya si peserta mengalami keluhan sakit hingga harus dioperasi lantaran susuk tersebut.

Bagaimana dengan spiral? Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari salah satu peserta, si suami mengeluhkan terjadinya rasa sakit dari sang suami, yang juga kebetulan teman sendiri, ketika berhubungan suami istri. Tentu hal demikian turut menjadi beban psikologis bagi saya atau pria lain yang ingin menggunakan fasilitas KB. Ingin aman tanpa halangan ternyata memunculkan resiko yang mengganggu kejiwaan calon penggunanya.

Kelahiran anak ketiga, apakah murni kesalahan peserta atau dokter?

Saya tidak akan mengatakan bahwa teman saya yang seprofesi itu tidak paham, atau kurang mengerti lantaran bisa melahirkan lagi setelah anak kedua, lantaran anak adalah anugrah Tuhan, sehingga kelahirannya adalah rezeki. Tapi ketika berkaitan dengan program keluarga berencana ini, tentu menjadi catatan penting, sejauh mana tingkat kesuksesan peserta KB dalam menjarangkan dan membatasi kelahiran anak jika terjadi kecolongan tersebut?

Peserta kebetulan seorang pegawai negeri yang amat tidak mungkin tidak memahami bagaimana menggunakan pil KB secara aman, termasuk pengguna lainnya yang juga mengalami keluhan yang sama, lantaran tingkat pendidikan mereka juga tidak rendah. Apalagi jika dikaitkan pada dokter yang memberikan layanan KB, tentu tidak mungkin pula sang dokter melakukan malpraktik, dengan memberikan obat yang kadaluarsa. Jika justru obat yang sejatinya bisa membatasi kelahiran adalah obat yang tidak layak, tentu pihak penyelenggaran KB harus bertanggung jawab atas resiko yang diderita. Ada pula sang anak yang terlahir cacat lantaran kesalahan penggunaan pil tersebut yang notabene adalah sebuah kelalaian. Tapi siapakah yang harus bertanggung jawab? Entahlah. Salam

Metro Lampung, 13-9-2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun