Pagi itu seorang ibu tengah asyik mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mengepel, mencuci dan memasak menjadi kegiatan sehari-hari.
Sungguh getol sang ibu meskipun tubuhnya terlihat lelah tapi tetap bersemangat. Padahal perutnya tengah membuncit lantaran sudah hamil 5 bulan.
Ia adalah wanita yang beruntung, memiliki suami seorang tentara adalah sebuah kebanggan. Gaji sang suami sudah menjadi persiapan kebutuhan sehari-hari.
Tak seperti wanita lain yang harus membanting tulang di perkebunan karet misalnya, atau harus pagi-pagi subuh ke pasar karena harus berjualan. Dan tidak juga seperti ibu-ibu lain yang harus ke sawah lantaran tanaman padinya sudah banyak dikerubuti rumput. Tidak, ia cukup beruntung dan ia tak perlu susah-susah bekerja demi menyambung hidup. Tugasnya murni sebagai pendamping suami, bekerja ya di rumah mempersiapkan kebutuhan bagi suaminya kala suami berada di rumah.
Maklum, bagi seorang tentara, suaminya harus mengabdi pada negara. Apalagi tatkala masih bertugas di daerah perbatasan, tentu hingga berbulan-bulan sang istri tidak bisa melihat senyum suaminya. Padahal dalam kondisi hamil itu ia pun ingin dibelai-belai dan diajak ngobrol terkait rumah tangganya. Sayang sekali kesempatan itu jarang ia dapatkan lantaran memang tuntutan pekerjaan yang mengharuskan ia meredam rasa rindu yang menggebu di dada.
Hari demi hari, bulan berganti bulan bahkan berganti tahun biduk rumah tangganya berjalan romantis, saling menjaga romantisme ala keluarga lainnya. Suami bekerja dengan waktu yang jarang dipertemukan lantaran tuntutan tugas. Istri yang setia menanti di rumah meski dalam kesepian.
Tapi sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, lantaran kelahiran anak pertama justru anak yang dilahirkan tidak sempurna. Anak yang diidam-idamkan seperti anak yang lain dengan aneka kelebihan yang dimiliki, anak yang ceria dan membanggakan kedua orang tua. Anak tersebut terlahir sebagai anak autis. Anak yang cenderung hiperaktif. Kelahiran anak satu-satunya ini ternyata meninggalkan kecewa orang tua, khususnya sang ayah yang sedari awal mengharapkan memiliki anak yang sempurna.
Baca juga..
Â
Meskipun suami kurang menerima kondisi sang anak, ibu yang telah mengandungnya selama kurang lebih 9 bulan itu, harus menerima pil pahit, lantaran suami berselingkuh dengan wanita lain. Ia tak menyangka suami yang gagah perkasa dengan pangkat yang disandangnya, tidak sejalan dengan isi hatinya.
Kegagahan yang tampak dari luar ternyata amat lemah dari kejiwaannya. Suami tidak menerima kenyataan pahit itu, dan ia tega meninggalkan istri dan anaknya demi suatu mimpi yang aneh. Ia lari dari tanggung jawab sebagai suami, lantaran anak yang terlahir dalam kondisi abnormal.
Tampak raut kesedihan dari sang ibu, namun demikian, ia adalah wanita yang tabah. Meskipun tanpa suami, ia membesarkan anaknya penuh kasih. Teramat sering air mata menetes tatkala harus merawat anaknya sendirian tanpa suami di sisinya.
Namun, dalam kondisi yang teramat sulit bagi seorang ibu ini, beliau tetap tabah dan merawat anaknya hingga menginjak dewasa. Meski dalam kedewasaannya prilaku anak tetap membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Saya melihatnya pun turut mengelus dada, betapa teganya si ayah tersebut yang tanpa rasa iba meninggalkan sang istri dan anak yang mengalami kelemahan mental ini demi mencari wanita lain.
Ujian yang sejatinya terlalu berat untuk dihadapi. Tapi apalah daya, mungkin ini adalah ujian Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas. Meski hari-harinya harus selalu merawat sang anak, beliau rela melakukannya. Bahkan karena sudah sekian lama menjalani, pada akhirnya sang ibu semakin kuat dan tabah dengan kesiapannya beliau menyekolahkan anaknya ke sekolah luar biasa.
Saya melihat sang ibu ini cukup terharu, terbersit tanda tanya besar, alangkah teganya ayah yang dibangga-banggakan itu meninggalkan anaknya satu-satunya demi wanita lain. Boleh jadi ayahnya malu, mengapa cita-cita mendapatkan anak yang sehat tak tercapai. Tapi sungguh tidak memiliki nurani, di saat ujian berat itu menghampiri, ia malah menjauh dan meninggalkan keluarganya demi mencari kesenangan lain.
Sendirian mengantar ke sekolah, menunggui dan merawat sang anak dengan ikhlas.
Tak hanya ibu ini yang mengantarkan anaknya ke sekolah, karena ada ibu-ibu lain dengan nasib yang sama dengan kondisi anak yang kekurangan. Tapi melihat siapa ayahnya sebenarnya, sampai saat ini saya tak habis pikir, kenapa hatinya begitu kecil, dan bermental kerdil. Seorang ayah yang dibina ala kemiliteran ternyata tidak menjadikan dirinya kokoh dalam memegang prinsip hidup. Tak seperti tubuhnya yang kekar, ternyata kejiwaannya teramat lemah. Begitu teganya ia meninggalkan anak yang kekurangan demi sebuah ambisi dan rasa malu.
Boleh jadi, jika ia tidak takut dengan hukum, sang anak akan ditinggalkan di dipinggir jalan selayaknya sampah. Anak yang sejatinya adalah amanah Tuhan semestinya diperlakukan secara manusiawi. Entah apa yang ada di benak sang ayah, kenapa ia lari dari masalah. Melarikan diri dan tak ingin mengurus sang anak yang kekurangan ini.Â
Beruntung sang ibu adalah perempuan yang memiliki jiwa yang kuat, tabah dan ikhlas. Meski dengan kondisi anak yang tidak sempurna ini, tak menyurutkan langkahnya untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan hingga sang anak sudah berusia belasan tahun sampai saat ini masih mau menyekolahkan. Berharap anaknya menjadi anak yang mandiri seperti anak yang lainnya.
Hikmah yang bisa dipetik
Siapa sih yang tak ingin memiliki buah hati yang sempurna? Sepertinya siapapun menginginkannya. Namun demikian, apalah daya jika ternyata Tuhan menitipkan anak dengan kondisi yang kekurangan. Sejak awal pernikahan selalu memimpikan anak yang sehati jiwa raga, pintar, lincah dan membanggakan orang tua karena prestasi yang didapatkan.Â
Memiliki anak adalah amanah, boleh meminta anak yang sesuai keinginan kita, tapi jika Tuhan berkata lain, tentu siapapun harus menerima dengan penuh kekhlasan. Tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan sang ibu tatkala meninggalkan anak yang baru saja dilahirkan dalam sebuah kardus, padahal ari-ari masih menempel pada sang anak. Rasa kasih sayang sepertinya sudah hilang lantaran sudah terbawa nafsu dunia yang justru menjadikan mereka tak memiliki nurani dan logika yang nalar.
Padahal, pada diri anak, Tuhan telah menyiapkan segudang pahala bagi orang tuanya, jika keduanya bisa merawat, mendidik dan membesarkan mereka dengan penuh tanggung jawab, maka kebaikan akan diperolehnya. Meskipun sang anak dalam kondisi kekurangan.
Mudah-mudahan kita termasuk orang tua yang selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan, dan selalu menjaga anak-anak kita dengan kasih sayang dan penuh perhatian.
Salam
Â
NB: Kisah ini terinspirasi dari salah satu orang tua yang saat ini menyekolahkan anaknya di SLB N Metro. Semoga bisa menjadi pelajaran berharga.
Monggo disimak juga...Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H