Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pah, Mengapa Engkau Membuangku?

17 Oktober 2015   15:14 Diperbarui: 26 Oktober 2015   02:50 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegagahan yang tampak dari luar ternyata amat lemah dari kejiwaannya. Suami tidak menerima kenyataan pahit itu, dan ia tega meninggalkan istri dan anaknya demi suatu mimpi yang aneh. Ia lari dari tanggung jawab sebagai suami, lantaran anak yang terlahir dalam kondisi abnormal.

Tampak raut kesedihan dari sang ibu, namun demikian, ia adalah wanita yang tabah. Meskipun tanpa suami, ia membesarkan anaknya penuh kasih. Teramat sering air mata menetes tatkala harus merawat anaknya sendirian tanpa suami di sisinya.

Namun, dalam kondisi yang teramat sulit bagi seorang ibu ini, beliau tetap tabah dan merawat anaknya hingga menginjak dewasa. Meski dalam kedewasaannya prilaku anak tetap membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Saya melihatnya pun turut mengelus dada, betapa teganya si ayah tersebut yang tanpa rasa iba meninggalkan sang istri dan anak yang mengalami kelemahan mental ini demi mencari wanita lain.

Ujian yang sejatinya terlalu berat untuk dihadapi. Tapi apalah daya, mungkin ini adalah ujian Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas. Meski hari-harinya harus selalu merawat sang anak, beliau rela melakukannya. Bahkan karena sudah sekian lama menjalani, pada akhirnya sang ibu semakin kuat dan tabah dengan kesiapannya beliau menyekolahkan anaknya ke sekolah luar biasa.

Saya melihat sang ibu ini cukup terharu, terbersit tanda tanya besar, alangkah teganya ayah yang dibangga-banggakan itu meninggalkan anaknya satu-satunya demi wanita lain. Boleh jadi ayahnya malu, mengapa cita-cita mendapatkan anak yang sehat tak tercapai. Tapi sungguh tidak memiliki nurani, di saat ujian berat itu menghampiri, ia malah menjauh dan meninggalkan keluarganya demi mencari kesenangan lain.

Sendirian mengantar ke sekolah, menunggui dan merawat sang anak dengan ikhlas.

Tak hanya ibu ini yang mengantarkan anaknya ke sekolah, karena ada ibu-ibu lain dengan nasib yang sama dengan kondisi anak yang kekurangan. Tapi melihat siapa ayahnya sebenarnya, sampai saat ini saya tak habis pikir, kenapa hatinya begitu kecil, dan bermental kerdil. Seorang ayah yang dibina ala kemiliteran ternyata tidak menjadikan dirinya kokoh dalam memegang prinsip hidup. Tak seperti tubuhnya yang kekar, ternyata kejiwaannya teramat lemah. Begitu teganya ia meninggalkan anak yang kekurangan demi sebuah ambisi dan rasa malu.

Boleh jadi, jika ia tidak takut dengan hukum, sang anak akan ditinggalkan di dipinggir jalan selayaknya sampah. Anak yang sejatinya adalah amanah Tuhan semestinya diperlakukan secara manusiawi. Entah apa yang ada di benak sang ayah, kenapa ia lari dari masalah. Melarikan diri dan tak ingin mengurus sang anak yang kekurangan ini. 

Beruntung sang ibu adalah perempuan yang memiliki jiwa yang kuat, tabah dan ikhlas. Meski dengan kondisi anak yang tidak sempurna ini, tak menyurutkan langkahnya untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan hingga sang anak sudah berusia belasan tahun sampai saat ini masih mau menyekolahkan. Berharap anaknya menjadi anak yang mandiri seperti anak yang lainnya.

Hikmah yang bisa dipetik

Siapa sih yang tak ingin memiliki buah hati yang sempurna? Sepertinya siapapun menginginkannya. Namun demikian, apalah daya jika ternyata Tuhan menitipkan anak dengan kondisi yang kekurangan. Sejak awal pernikahan selalu memimpikan anak yang sehati jiwa raga, pintar, lincah dan membanggakan orang tua karena prestasi yang didapatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun