Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Anakku (Pernah) Terkena Phobia Sekolah

26 April 2015   07:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:40 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Melihat kondisi psikologis yang dialami anak saya selama dua hari, boleh jadi memang karena kondisi sekolah yang kurang  menyenangkan. Perlakuan dan perkataan sang guru yang lumayan keras dan kasar pun memicu ketertakutan anak secara berlebih-lebihian. Apalagi sampai terucap perkataan "bodoh" kepada siswanya. Tentu sikap ini tidak dibenarkan. Karena tidak ada anak yang bodoh, karena setiap anak mengalami perkembangan kognisi yang berbeda-beda, dan itu bersifat fluktuatif tergantung bagaimana situasi lingkungan mempengaruhi perkembangan kognisinya. Selain pengaruh lingkungan, faktor nutrisi pun menjadi alasan kuat anak-anak mengalami situasi perkembangan yang kadang kala labil.

Jadi teringat kembali dengan istilah dosen killer, meskipun tak patut pula guru disebut sebagai killer (pembunuh). Akan tetapi, jika melihat fenomena guru yang memperlakukan siswanya dengan kasar dan mengumpat dengan kata-kata "bodoh" tentu secara perlahan guru tersebut sudah membunuuh karakter siswanya. Anak didik yang semestinya mau bersekolah karena pendidikan yang dialaminya cukup menyenangkan, ternyata berbalik seratus delapan puluh derajat. Guru dan lingkungan sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menarik dan menyenangkan.

Mana mana mungkin seorang guru apalagi bagi anak-anak usia dini memiliki sikap bengis dan keras? Bahkan kata-katanya seperti tidak mencerminkan kepribadian dan perkataan seorang pendidik yang semestinya bersikap kasih sayang, perhatian dan tulus mendidik siswanya meskipun acapkali anak-anak berprilaku kurang baik.

Ketika seorang guru justru berprilaku dan berkarakter kasar, dampaknya tentu amat berbahaya, tak hanya anak saya yang dua hari tak mau sekolah dan akhirnya kami pindahkan ke sekolah lain. Karena di luar saya masih banyak anak-anak yang mengalami ketakutan yang amat berlebih-lebihan. Mereka enggan sekolah lantaran gurunya acapkali marah-marah tanpa sebab. Mereka diperlakukan selayaknya pekerja yang bisa dibentak-bentak apabila keinginannya tak dipenuhi. Dan yang lebih parah lagi, mengatakan "bodoh" jika siswanya lambat dalam menangkap pelajaran. Dampaknya sudah dapat diduga, akibat pola asuh guru yang kurang tepat inilah menjadi pemicu munculnya ketakutan bersekolah. Anak-anak mulai enggan masuk sekolah karena dunia belajar mereka tidak lagi menyenangkan. Istilah ketakutan sekolah secara berlebih-lebihan disebut phobia sekolah.

Menurut As'adi Muhammad, phobia merupakan bentuk ketakutan seperti takut pada ketinggian, keramaian, ruang yang bersekat-sekat, atau terhadap binatang-binatang tertentu. Beberapa anak ada yang menderita phobia sekolah, yaitu sekolah membuat dirinya takut. Phobia sekolah seperti halnya sparation anxiety...

Sebuah kondisi kejiwaan yang tidak boleh diabaikan.

Kekhawatiran saya ketika itu melihat karakteristik prilaku selama dua hari tersebut, pun saya menduga ini adalah tanda-tanda adanya phobia sekolah. Anak tak ingin sekolah lantaran perlakuan kasar dari gurunya. Sang guru anak bagi usia dini semestinya mengerti karakteristik anak, kog justru memperlakukan anak didiknya tidak manusia dan seperti tak mengenal psikologi anak. Mungkinkah karena ia belum layak mendidik? Atau ada persoalan lain dalam rumah tangganya hingga dirinya terpengaruh dengan persoalan tersebut?

Akibat dari perlakuan kasar gurunya tersebut, anak saya ketika diminta sekolah justru menolak, takut, memberontak dengan alasan bermacam-mcam. Selain menolak dengan alasan macam-macam, ia pun seringkali menangis, lantaran emoh lagi sekolah. Bosan pun menjadi salah satu  kenapa anak saya tidak mau sekolah.

Karena gejala tidak lagi mau bersekolah di PAUD tersebut, lantaran sang anak justru sudah enggan di sekolah yang sama. Dan ia memilih pindah sekolah. Dan kami pun bersepakat menyekolahkan di TK lantaran permintaan sang anak. Ditambah lagi kebetulan teman-temannya banyak yang bersekolah di TK, meskipun usia anak saya pada waktu itu memang masih layak di PAUD (Kober). Dan alhamdulillah di sekolah yang baru, anak saya mulia semangat lagi sekolah dan mendapatkan apresiasi dari guru di sekolah tersebut.

Melihat fenomena tersebut, ketika guru tak lagi menjadi tempat mendidik siswanya dengan cara yang baik, ternyata dunia pendidikan kita ternyata masih belum meninggalkan jejak-jejak kelam sistem pendidikan kolonial. Ketika anak semestinya dididik dengan kasih sayang dan perlakuan yang istimewa, ternyata diperlakukan dengan cara tidak manusiawi dan tak mengindahkan kaidah paedagogis.Melihat anak-anak yang tidak fokus, ternyata si guru justru menjudge dengan kata-kata "bodoh" atau "tolol" padahal boleh jadi cara mendidik gurunya yang kurang baik. Dan anehnya anak seusia dini tersebut justru diperlakukan selayaknya bukan anak usia dini. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Contoh perilaku guru yang seperti ini hakekatnya jauh dari kepatutan sosok yang setiap harinya bergelut dengan pendidikan. Meskipun ketika diselusuri ternyata si guru memang bukanlah sosok yang memiliki pendidikan keguruan, apalagi bagi anak usia dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun