Lalu, bagaimana dengan pengusaha properti? Mereka begitu mudahnya mendapatkan izin pendirian bangunan meskipun bangunan mereka akan menutup sungai dan aliran-aliran air lainnya. Padahal ketika sungai-sungai ditimbun dan dipersempit karena proyek pembangunan tersebut maka sama halnya dengan mereka membangun tapi melakukan pengrusakan secara sistematis terhadap keberadaan saluran air yang semestinya tidak diganggu.
Selain persoalan digunakannya bantaran sungai untuk tempat tinggal, adalah masih ada saja masyarakat yang membuang sampah di sungai. Tentu saja siapa saja sepakat bahwa prilaku tidak patut ini tidak perlu mendapatkan pembelaan dari siapa saja. Karena memang apa yang mereka lakukan harus mendapatkan sanksi. Namun, persoalannya adalah ketika masyarakat harus mengeluhkan biaya pemungutan sampah oleh pemerintah karena sudah tentu mereka harus menganggarkannya setiap bulan. Padahal sejatinya pemerintah melalui keuangan negara yang digelontorkan untuk proyek penanganan sampah sudah cukup untuk biaya operasional kendaraan pemungut sampah dan pengolahannya di TPA. Sehingga masyarakat tak perlu lagi dibebani dengan biaya-biaya berkaitan dengan sampah.
Boleh saja bagi masyarakat golongan menengah ke atas, tapi golongan miskin tentu beban biaya pembuangan sampah tetap menjadi persoalan. Wajar jika masyarakat miskin juga merasa dibebani dengan seabrek biaya-biaya yang memberatkan. Yang aneh lagi tatkala sampah-sampah sudah dikumpulkan di TPA ternyata juga tidak ditangani secara profesional. Maka wajar pula jika dimusim banjir seperti saat ini sampah-sampah tersebut ikut terbawa arus banjir dan kembali ke perkampungan penduduk.
Persoalan lainnya adalah persoalan kemacetan Jakarta selalu masyarakat kecil yang menjadi akar masalahnya. Karena keberadaan parkir-parkir liar di sepanjang jalan. Namun sekali lagi pemerintah kurang tanggap dan responsif terhadap kebutuhan parkir yang semestinya dipersiapkan pemerintah selaku pemegang kebijakan tata kota. Wajar saja ada banyak parkir liar di sepanjang jalan karena tidak adanya lahan parkir yang mereka gunakan. Jika ada lahan parkir tapi tidak dapat menampung semua kendaraan yang hendak menggunakan layanan ini.
Bagaimana dengan keberadaan mobil yang selalu bertambah? apakah pemerintah tegas membatasi jumlah kendaraan mewah milik orang kaya ini? faktanya sampai saat inipun jalan-jalan semakin sesak dan kemacetan semakin parah. Namun sayang sekali masyarakat miskinlah yang selalu dianggap sebagai "pembawa sial" padahal siapapun masyarakat di negeri ini berhak mendapatkan pelayanan yang baik dalam setiap aspek kehidupan sosial mereka.
Dan masih banyak lagi bentuk ketidak adilan pemerintah terhadap wong cilik dengan kebijakan yang selalu menguntungkan masyarakat kelas atas. Sehingga sepatutnya slogan pembuat bencana tidak sepatutnya ditujukan pada masyarakat miskin tapi justru para pengusaha kaya dan kaum elit yang sepertinya mendapatkan kartu as dan kebebasan untuk melakukan usaha dan tinggal di sepanjang wilayah Jakarta tanpa mempertimbangkan kelestarian alam. Kalau sudah demikian lalu apa kata dunia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H