Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Bencana Pun Rakyat Kecil Jadi Tumbalnya

23 Januari 2014   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada yang menarik sekaligus membuat miris tatkala para politisi selalu membuat statement yang cenderung memunculkan stigma negatif bahwa hakekatnya bencana itu berasal dari masyarakat miskin. Statement inilah yang seringkali membuat fikiran saya berputar-putar sekaligus membuat hati saya turut menolak dan membantah pernyataan ini.

Selain sebuah statemen negatif yang dicitrakan pada kaum miskin, kaum urban miskin selalu mendapatkan stempel pembawa bencana lantaran selalu membuat sampah-sampah berserakan dan tidak membuangnya pada tempat yang semestinya.

Lain dari itu, masyarakat miskin senantiasa diibaratkan sampah yang musti disingkirkan lantaran keberadaannya selalu membuat orang-orang kaya menjadi terganggu padahal setiap orang bukanlah pengganggu akan tetapi karena sebab dan musabab lain yang turut memicu keberadaan masyarakat miskin dianggap sebagai "pembawa musibah" karena selalu membuang sampah sembarangan dan dianggap pula sebagai "pembawa sial" karena keberadaannya mengganggu lalu lintas di jalan raya. Meskipun keberadaan mereka di tempat tertentu adalah efek dari ketiadaan tempat yang dapat mereka tempat secara layak.

Sehingga dengan stigma negatif kontra produktif tersebut menjadikan masyarakat semakin jengah dengan keadaan. Pasalnya suara-suara mereka kurang didengar tapi mereka selalu disalahkan dan dianggap pembuat bencana.

Padahal hakekatnya setiap bencana itu tidak datang sendirinya. Tidak hanya milik kaum miskin saja yang menjadi penyebab timbulnya bencana seperti banjir. Karena media akhir-akhir ini selalu menyudutkan bahwa letak kesalahan ada masyarakat kecil saja, yaitu karena mereka hidup di bantaran kali dan tidak membuang sampah pada tempatnya.

Akan tetapi sebelum menanggapi stempel yang menganggap kaum miskin sebagai penyebab bencana, mesti kita urai satu persatu duduk persoalannya.

Pertama, kaum miskin hakekatnya mereka adalah masyarakat yang menurut apa kata pemerintah. Mereka tidak pernah melawan jika pemerintah memberikan kebijakan tertentu yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Akan tetapi kaum miskin inipun hakekatnya memiliki kepentingan dan persoalan hidup yang juga semestinya ikut dicarikan solusinya.

Pernyataan ini dapat saya contohkan beberapa kasus besar bagi masyarakat miskin tapi dianggap kecil bagi pemerintah dan pengusaha. Seperti pembuatan jalur lintas timur Sumatera beberapa waktu lalu, di mana jalur lintas timur itu banyak menerjang tanah-tanah penduduk tanpa mendapatkan ganti rugi sepeserpun. Andaikan mendapatkan ganti rugi itupun tidak semuanya dibayarkan secara patut. Karena sebab inilah banyak pemilik tanah yang kehilangan tanahnya tanpa mendapatkan pergantian dari pemerintah padahal tanah itulah satu-satunya tempat mereka mencari penghasilan. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki logika akan menerima begitu saja tanahnya diambil untuk membuat jalan sedangkan hak-hak mereka atas tanah tersebut tidak dipenuhi? Tentunya kita semua akan menentang. Jika kaum cerdik pandai kiranya dapat menempuh jalur hukum. Tapi, bagaimana dengan kaum miskin? Sepertinya hanya berteriak-teriak tapi tak pernah ditanggapi.

Contoh kasus besar tapi dianggap kecil adalah ketika masyarakat harus meninggalkan tempat tinggalnya di bantaran kali seperti masyarakat Jakarta. Padahal tempat tinggal tersebut sah milik mereka dan mereka menempatinya selama bertahun-tahun dan taat membayar pajak. Memang sih, apa yang dilakukan masyarakat ini mengganggu jalur sungai yang menjadi saluran primer air. Akan tetapi, mengapa ketegasan untuk memindahkan mereka tidak sedari dahulu tatkala harga tanah-tanah di Jakarta masih murah? Atau tegas memberikan sanksi kepada siapapun yang merusak wilayah perairan termasuk sungai. Tidak menutup kemungkinan menindak tegas pengusaha yang membuat tempat usaha di daerah sepanjang bantaran kali dan di wilayah resapan air.

Karena sampai saat inipun gedung-gedung mewah di Jakarta telah merusak area hijau yang seharusnya dibiarkan menghijau sebagai tempat resapan air. Namun lagi-lagi pemerintah kurang adil. Di satu sisi mereka tegas pada masyarakat miskin tapi begitu lembutnya menindak pengusaha kaya yang merusak wilayah terbuka hijau yang semestinya diperuntukkan untuk resapan air dan penyedia oksigen bagi masyarakatnya.

Persoalan kedua adalah, memang benar masyarakat yang direlokasi sudah mendapatkan tempat di rusun namun seperti yang dikeluhkan para penghuninya mereka akan sulit mencari penghasilan dan penghidupan selama mereka tinggal di tempat tersebut. Secara tidak langsung kebijakan merelokasi tanpa mereka mendapatkan kesempatan memperoleh tempat usaha sudah tentu membunuh penghuninya secara pelan-pelan. Lain persoalan jika para penghuni barut tersebut mendapatkan tempat usaha yang layak bagi kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun