Sumber Gambar : sma7solo.ppl.fkip.uns.ac.id
Hebat benar sekolah ini. Anak-anak sibuk melihat layar LCD yang terpampang di depan mereka sedangkan gurunya tinggal menjelaskan tulisan2 yang ada dalam layar. Dan canggihnya lagi siswa-siswinya membawa Laptop. Terlihat sempurna dan sepertinya sudah sangat excelent dan modern.
Sederet gumamku tatkala melihat sekolah berstandar internasional-meskipun saat ini SBI maupun RSBI sudah dihapuskan-ternyata tetap meninggalkan tanda tanya besar apakah hakekatnya sistem pendidikan yang baik harus ditunjang teknologi yang amat modern dan mahal? Dan apakah dengan teknologi yang canggih itu akan menjamin anak-anak sekolah tersebut menjadi anak-anak yang siap pakai dan siap bersaing dalam dunia yang serba cepat ini?
Tentu saja sebelum membahas pertanyaan tersebut kita garis bawahi di sini bahwa sebuah prestasi sejatinya tidak diserahkan pada tekhnologi atau mesin sekalipun akan tetapi diperoleh karena didalamnya telah ada keterlibatan komponen yang menyertainya. Seperti anak didik, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana sekolah termasuk di dalamnya gedung dan media penunjang pembelajaran, keluarga dan lingkungan yang sejatinya menjadi sebuah sistem dan merupakan komponen penting yang saling terikat dan menunjang satu sama lainnya.
Apabila dari sekian komponen tersebut ada satu saja yang tidak terpenuhi dan tidak mendukung proses pendidikan maka secara otomatis prestasi pun sulit tercapai dan tentu saja tujuan pendidikan tidak tercapai. Meskipun tidak berarti gagal, karena ada banyak lembaga pendidikan yang serba kekurangan ternyata di antara siswanya ada yang mampu berprestasi seperti halnya anak-anak yang mengikuti pendidikan yang luck atau lengkap segala fasilitasnya.
Kembali pada persoalan makna sekolah modern, meskipun ada beberapa pendapat bahwa sekolah yang modern harus berkiblat ala Barat atau seperti sekolah-sekolah di Amerika, Inggris atau dimanapun negara Eropa. Tapi, apakah esensi modern itu menjiplak pola dan sistem yang mereka jalankan? Sehingga sistem pendidikan kita dianggap tidak layak jika tidak seperti sistem pendidikan ala mereka.
Sepertinya pendapat pertama dan kedua tidak sepenuhnya dapat dikatakan salah dan juga tidak sepenuhnya benar, pertama, lembaga pendidikan di Barat memang lebih dahulu maju lantaran perkembangan tekhnologi mereka yang cukup pesat dibandingkan dengan pola pendidikan di Indonesia yang baru beberapa tahun saja kita mengikuti pola SBI karena dengan SBI sekolah-sekolah di Indonesia dianggap stara dengan lembaga pendidikan negara lain dan dianggap kurikulumnya standar dengan kurikulum internasional.
Tapi ketidaktepatan mengukur pendidikan dari Barat adalah sejatinya proses pendidikan itu bukan hanya mengenalkan diri dengan tekhnologi, dan mengungkung perkembangan berfikir dan kejiwaan anak hanya kepada sebuah teknologi, toh teknolgi tersebut adalah ciptaan manusia. Dan yang lebih naif lagi tatkala stigma masyarakat menganggap bahwa sekolah yang tidak memiliki tekhnologi dianggap sebagai sekolah kelas rendahan, jadi penghuninya adalah anak-anak melarat. Dan dianggap mutunya tidak baik.
Padahal kita melihat, ada banyak sekolah-sekolah yang justru mereka lebih mengenalkan diri pada dunianya secara nyata, seperti home schooling, sekolah alam, bahkan ada pula anak yang tidak pernah lulus di sekolah berstandar internasional ternyata lebih matang dalam bidang skill hidup karena terjun langsung dalam kegiatan wirausaha dan lain sebagainya di mana anak-anak belajar tidak melulu melototi layar monitor ataupun layar LCD proyektor seperti yang biasanya digunakan sekolah-sekolah standar internasional ini.
Apalagi saat ini perkembangan teknologi ternyata menyumbang dampak yang tidak sedikit terhadap kenakalan remaja dan tentu saja ada banyak sisi kehidupan dalam lingkungannya yngg lebih nyata yang tidak mereka pahami secara utuh, tapi justru saat ini mereka mencari jati diri dan kehidupan sosial dengan membandingkan kehidupan di negara lain yang sangat jauh berbeda. Bahkan yang turut memprihatinkan adalah ketika anak-anak sekolah justru lebih banyak browsing dan downloading di internet daripada mempelajari beberapa aspek yang ada dilingkungannya.
Penggunaan Laptop oleh anak didik ketika di sekolah dan penggunaan LCD proyektor bagi para gurunya sepertinya sudah menjadi trend, meskipun kemajuan pendidikan sekarang menghendaki anak didik dan pendidiknya menguasai teknologi komputer dan tentu saja teknologi komunikasi. Akan tetapi, gejala saat ini menjadi plus minus terhadap pandangan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Di satu sisi masyarakat kaya cenderung tidak merasa terbebani dengan kewajiban memiliki laptop, akan tetapi bagi keluarga yang pas-pasan sepertinya harus berfikir ulang ketika mereka menghendaki anaknya bersekolah di sekolah yang dianggap lebih baik dari sekolah pada umumnya.
Jika melihat tingkat efektifitas pembelajaran sejatinya juga tidak terlalu dipengaruhi oleh LCD Proyektor yang digunakan gurunya, lantaran ada banyak guru yang menyukai yang serba instant karena mereka mencari materi pembelajarannya diperoleh dari mendownload di media internet. Tentu saja ini merupakan bentuk kemunduran budaya guru yang harus dituntut kreatif dan tentu saja produktif.
Bahkan menurut hasil pengumuman ujian ternyata banyak siswanya yang tidak lulus ujian hal ini dikarenakan pada siswa ini semakin terlena dengan kemudahan yang diberikan oleh tekhnologi dan tentu saja dampak yang terjadi dalam pola pendidikan rata-rata mereka tidak mengenal karakteristik lingkungan secara utuh karena selalu dijejali dengan informasi yang seringkali tak layak dan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya ditambah lagi penggunaan tekhnologi yang justru keluar dari ranah mendidik untuk ukuran anak-anak.
Apalagi jika konteks materi berkaitan dengan lingkungan sekitar, alam semesta sejatinya penggunaan komputer dan LCD Proyektor akan menjadi jalan buntu. Tatkala anak-anak harus melihat lingkungan sekitarnya secara nyata malah anak-anak disuguhi dengan aneka gambar dan file yang jelas-jelas sama sekali tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya.
Sejatinya pendidikan dan pembelajaran di sekolah lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih kontekstual dan tentu saja faktual mengenal dunia secara utuh seperti apa yang terjadi dalam dunia mereka. Andaikan saja mindset semua pendidik dan siswanya harus menggunakan laptop dan LCD proyektor dalam proses pembelajarannya, hakekatnya mereka sudah mengungkung siswanya pada hal-hal yang sangat sempit dan membunuh perkembangan kognisi dan kepribadian anak yang mandiri.
Akan tetapi akan sangat berbeda konteksnya jika siswa-siswanya memang tengah diajarkan tentang ilmu tekhnologi komputer dimana mereka harus langsung bersentuhan dengan media ini sebagai bagian praktik dan proses pembelajaran.
Metro, Lampung, 20/11/2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H