Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Asisten Rumah Tangga, Sebuah Risiko Konflik Kehidupan Pasutri

21 Maret 2014   16:52 Diperbarui: 4 April 2016   10:19 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Menjadi asisten atau menerima seorang asisten rumah tangga tentulah memunculkan beragam dilema, bisa perselingkuhan atau kurang dekatnya hubungan keluarga."][/caption]

Gambar

Asisten rumah tangga, sebutan yang paling pas disandangkan pada para PRT yang tengah berjuang mencari penghasilan "lebih" di negeri orang. Dengan tujuan yang pasti ingin mengubah nasib menjadi lebih baik.

Tak kurang pula, para asisten rumah tangga ini "nekad" keluar rumah lantaran beban ekonomi yang teramat berat untuk dihadapi. Semua bukan karena kebetulan saja, akan tetapi karena tuntutan hidup yang semestinya dipenuhi. Selain godaan ekonomi yang terlalu sulit, ada pula karena godaan gengsi tatkala di sekitarnya berdiri gedung-gedung mewah kerja keras dari PRT.

Adapula bukan semata-mata karena tuntutan ekonomi, dan desakan lingkungan yang menuntut seorang istri harus bersusah payah merantau ke negeri orang tatkala di negeri sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Seandainya mereka mendapatkan hasil di negeri sendiri, toh hasilnya tidak sesuai harapan. Jangankan bisa "nyantol" ke bentuk rumah yang diidam-idamkan, beruntung ekonomi tak semrawut saja sudah sangat sulit.

Itulah sebagian dari persoalan asisten rumah tangga. Seorang PRT yang mengadu nasib di negeri sendiri atau di negeri orang dengan resiko gaji mereka tidak dibayar sepenuhnya dengan alasan pemotongan gaji, atau lebih menyedihkan dari itu, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari majikan.

Runtutan cerita di atas, sepadan dengan kisah seorang suami yang harus rela ditinggal istrinya merantau. Sebut saja Pak Bohlam, dahulunya kehidupannya mapan karena orang tua mewariskan banyak tanah perkebunan yang dapat dia garap. Jika ternyata peninggalan sang ayah mewakili hati nuraninya saat itu, tentu saja kehidupannya seperti mendapatkan durian runtuh. Tentu saja karena pekerjaan petani, dan tanah garapan yang cukup luas untuk menghasilkan pundi-pundi uang.

Akan tetapi, berbeda dengan impian Pak Bohlam, karena keinginannya bukan menjadi petani, maka merantaulah ke kampung tetangga. Tak ayal, kehidupannya seperti kaum urban kebanyakan. Tak jelas status akhirnya pekerjaan sebagai sopir menjadi. Dan akhirnya menikahlah Pak Bohlam dengan Ibu Melati.

Singkat kata, sang istri menganggap pendapatan suami tidak mencukupi untuk kehidupan rumah tangga mereka. Akhirnya keduanya bersepakat untuk mencari pekerjaan yang dapat menopang kehidupan mereka.

Meski tanpa uang pangkal, sang istri akhirnya berangkat ke negeri Taiwan, hingga bertahun-tahun. Tak terasa, sudah hampir empat tahun sang suami menjadi "duda jadi-jadian" seperti bujangan lagi tetapi masih memiliki istri. Istri yang merantau di negeri orang.

Dengan mengasuh anak-anaknya, Pak Bohlam berusaha setia untuk tidak menghianati cinta istrinya. Beberapa bulan menahan diri untuk tidak mendekati wanita lain. Meskipun hasrat kelelakian kian menggelora. Tetap saja niat untuk "membeli" pemuas hasratnya urung dilakukan.

Namun, kekuatan iman tidak semua orang sama ketika harus berpisah dengan istrinya. Dengan jujur beliau pun menceritakan bahwa dirinya tak mampu tidur dalam kesepian. Acapkali merindukan istrinya, maka beliaupun harus mencari wanita demi memperturutkan hasrat kelelakian.

Dua tahun sudah istrinya meninggalkannya demi sebuah prestise, kehidupan yang sempurna karena suami tak dapat memberikan apa-apa yang diinginkan istrinya. Maka pantaslah sang istri merantau dengan resiko "bermain" dengan perempuan lagi.

Meskipun suami tak pernah jujur terkait permainan sang suami, namun karena keinginan untuk mencari materi yang lebih di negeri orang, istripun berusaha meyakini bahwa sang suami adalah pria yang jujur. Dan sang istripun tetap menunjukkan aura bahagia meskipun harus bekerja 24 jam di negeri orang.

Kata pepatah, jujur kacang ijo. Istri siapakah yang mampu merantau ke negeri orang tanpa suami di sisinya? dan siapa pula suami yang sanggup di rumah tanpa kehangatan istrinya?

Itulah fenomena yang sampai saat ini Pak Bohlam rasakan, dengan harapan penghasilan yang tinggi dan kehidupan yang memadai, beliau merelakan istrinya meninggalkannya menjadi asisten rumah tangga, menjadi PRT di negeri orang demi sebuah materi. Dan dirinya harus terperosok ke dunia hitam, dunia pelampiasan hasrat karena ketiadaan istrinya di sisi.

Fenomena asisten rumah tangga Indonesia di Luar Negeri

Melihat fenomena asisten rumah tangga dan resiko bagi kehidupan rumah tangga sepertinya sudah bukan rahasia umum. Jika beruntung maka para PRT tersebut mendapatkan majikan yang amat baik dan mereka menghargai para asisten rumah tangga mereka. Namun, keadaan akan berubah drastis jika hubungan keduanya tidak sebaik yang diharapkan. Masih beruntung jika tak berujung maut, karena kebanyakan para asisten rumah tangga ini mendapatkan perlakuan tak senonoh.

Di antara majikan tersebut, sang pria seringkali menyukai PRT wanita mereka. Tentu saja karena rata-rata para pekerja rumah tangga ini cantik, maka ada banyak wanita PRT tersebut yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis. Tak hanya paksaan secara kejiwaan, fisikpun akan menerima kekerasan. Tak hanya tubuh yang disiksa, kekerasan seksual pun sering mereka dapatkan.

Maka, acapkali beberapa media menayangkan sosok TKI yang mengalami kerusakan fisik akibat kekerasan dan adapula yang harus "maaf " hamil di luar nikah karena kekerasan seksual dari majikannya.

Namun, meskipun sederet kekerasan seksual dan fisik masih saja siap-siap menimpa para asisten rumah tangga ini, mereka para pekerja, tetap saja memaksakan diri untuk merantau demi kehidupan "mewah" yang mereka impi-impikan. Semua tanpa alasan karena sulitnya mendapatkan kehidupan yang layak di negeri sendiri.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun