Membaca tulisan Pak Tjitadinata Effendi yang berjudul Kiat Australia Aplikasikan Hidup Harmoni bersama 200 Suku Bangsa cukup memberikan saya sebuah pencerahan dan perspektif dalam kehidupan sosial yang begitu kompleks. Australia boleh jadi cukup sukses dengan kemajuan masyarakatnya dan harmonisasi yang ditumbuhkan di sana. Sepertinya negara maju seperti Australia tetap menjadi contoh meskipun waktu yang cukup lama sebuah negara mampu membangun harmonisasi yang begitu kentalnya. Akan tetapi paling tidak keadaan yang digambarkan tersebut sedikit banyak menjadi cermin bahwa sejatinya bangsa Indonesia siap untuk "malu" terhadap negara tetangga ini, karena kedamaiannya begitu terasa.
Namun, bangsa Indonesia saat ini semestinya cukup berpuas diri. Karena semenjak merdeka, masa reformasi sepertinya kehidupan yang bebas sangat terasa. Tidak hanya kaum kaya saja yang dapat menikmati kebebasan dalam bersosialisasi, prinsip membedakan dari mana asal dan agamapun sudah sedikit banyak dianulir. Tujuannya sudah tentu agar bangsa Indonesia benar-benar menjadi damai dalam kemajemukan.
Meskipun Indonesia pantas berpuas diri, namun sulit pula jika harus membandingkan atau menyepadankan kesuksesan tersebut dengan Australia, tentu saja berawal dari latar belakang pengalaman hidup dan tentu saja pendidikan masyarakatnya yang tergolong lebih tinggi. Dengan demikian, kesadaran bersosialisasi dengan tanpa memandang latar belakang sudah berjalan begitu eloknya.
Namun demikian, ada beberapa hal yang sejatinya "menghambat" harmonisasi di Indonesia di antaranya:
Indonesia meskipun masyarakatnya multi ras dan agama, ternyata skat-skat antar suku justru semakin ditonjolkan. Maka, pantas saja jika satu agama dengan agama yang lain atau satu suku dengan suku lainnya, seperti mengisolasi diri dan hanya bersosialisasi dengan teman-teman seide, sesuku dan seagama. Di tambah lagi kualitas pemahaman keagamaan di Indonesia masih cenderung ekslusif. Maka akan sering kita temukan satu kelompok memojokkan dan mencela kelompok lain dengan mengatasnamakan agama suku dan latar belakang mereka.
Padahal sejatinya, seperti yang disampaikan Pak Tjipta, agama, latar belakang suku dan politik itu urusan pribadi. Maka tak sepatutnya orang yang tidak berkaitan mengganggu privasi seseorang yang berbeda agama. Apalagi sambil menyalahkan dan merendahkan ajaran suci Tuhan yang dibawa para Nabi ini.
Tak hanya di Indonesia, di Kompasiana pun sejatinya egosentrisme para penulisnya begitu terasa. Tatkala satu penulis menyinggung persoalan agama maka sekelempok orang yang merasa berasal dari kelompok yang sama akan ikut membantu, tanpa melihat secara jernih duduk persoalan dan tanpa menggunakan kacamatan sosial budaya ke-Indonesiaan yang multi agama namun tetap menjunjung adat ketimuran.
Persoalan lain adalah, masyarakat Indonesia sepertinya masih saja gagap dengan keanekaragaman masyarakat di dalamnya. Sehingga dengan kegagapan tersebut, mereka berusaha menerima setiap keanekaragaman tersebut dengan cara "terpaksa berbeda" meskipun hakekatnya manusia terlahir sudah berbeda-beda.
Persoalan politik turut menjadi bumbu munculnya egosentrisme kelompok. Dan sayang sekali, sering pula kita melihat para politisi memancing-mancing isyu sara ke dalam politik praktis yang semestinya dihindari. Karena persoalan sara tetap menjadi isyu utama yang harus dihindarkan dari urusan politik.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beratus-ratus tahun dibawah hegemoni penjajahan, sehingga secara tidak langsung masyarkatnya masih menyimpan "dendam lama" yang tidak sengaja diwariskan oleh pendahulunya sebagai bentuk penolakan terhadap bentuk penjajahan apapun di negeri ini.
Faktanya, ketika para orang tua yang tatkala di jaman penjajahan Jepang saat ini masih hidup, mereka akan menceritakan betapa kejinya bangsa penjajah tersebut terhadap negara mereka. Meskipun saat ini bangsa Jepang dan Belanda sudah menjadi mitra ekonomi bagi bangsa Indonesia.
Persoalan lain adalah, sekian lama Indonesia diajarkan untuk tidak mengenal kelompok lain. Baik dari suku maupun agama maupun latar belakang mereka. Sehingga yang terjadi ketika ada masyarakat "asing" yang berbeda maka akan muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap sebuah status mereka sebagai masyarakat yang paling berhak tinggal di bumi Indonesia. Padahal sejatiinya masyarakat Indonesia pun berhak hidup di rantau orang dan akan menemukan perbedaan kultur maupun agamanya.
Merasa kelompoknya paling baik dan paling berhak menyandang kasta tertinggi di dalam masyarakat. Sehingga sudah tentu akan ada penolakan dari kelompok yang tersebut jika ada kelompok lain yang berbeda muncul dan ikut membaur dalam satuan masyarakat yang berbeda.
Primordialisme yang sempit, masih saja muncul dan justru disebarkan oleh masyarakat kita. Tanpa sengajar justru memancing respon negatif terhadap sebuah perbedaan. Misalnya dengan memanggil seseorang dengan sukunya. Misalnya "dasar orang jawa" sebuah olokan untuk orang yang berasal dari Jawa, atau "dasar orang batak" dengan menyebut seseorang berdasarkan latar belakang daerahnya. Atau memberikan stempel jahat seseorang karena agamanya. Contoh "dasar orang Islam tukang korupsi" karena kebetulan koruptor di Indonesia adalah orang Islam, atau dasar orang kristen tukang selingkuh" dan seabrek olokan atau celaan yang ditujukan untuk merendahkan eksistensi latar belakang seseorang.
Karena saking terbiasanya menyebut sesama anak negeri dengan latar belakang agama, suku dan bahasa mereka, maka akan semakin terbuka lebar sekat-sekat perbedaan masyarakat karena perbedaan latar belakangnya. Padahal sudah faktanya Indonesia terdiri dari banyak suku, agama dan bahasa serta perbedaan karakter personalnya.
Kembali pada indahnya gambaran masyarakat Australia, sejatinya Indonesia harus merasa "malu" dengan diri sendiri kenapa Australia yang berasal dari negara berbeda saja bisa akur kenapa negeri sendiri yang berasal dari satu bangsa masih saja berkonflik dan bertengkar? Padahal tujuan kita sama untuk kesejahteraan bersama dalam damai di bumi Indonesia. Lalu apa lagi yang mesti dipersoalkan?
Salam Damai Penuh Berkah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H