Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terkait Harmonisasi Masyarakat, Indonesia Mesti Belajar dari Australia

22 Maret 2014   17:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persoalan lain adalah, sekian lama Indonesia diajarkan untuk tidak mengenal kelompok lain. Baik dari suku maupun agama maupun latar belakang mereka. Sehingga yang terjadi ketika ada masyarakat "asing" yang berbeda maka akan muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap sebuah status mereka sebagai masyarakat yang paling berhak tinggal di bumi Indonesia. Padahal sejatiinya masyarakat Indonesia pun berhak hidup di rantau orang dan akan menemukan perbedaan kultur maupun agamanya.

Merasa kelompoknya paling baik dan paling berhak menyandang kasta tertinggi di dalam masyarakat. Sehingga sudah tentu akan ada penolakan dari kelompok yang tersebut jika ada kelompok lain yang berbeda muncul dan ikut membaur dalam satuan masyarakat yang berbeda.

Primordialisme yang sempit, masih saja muncul dan justru disebarkan oleh masyarakat kita. Tanpa sengajar justru memancing respon negatif terhadap sebuah perbedaan. Misalnya dengan memanggil seseorang dengan sukunya. Misalnya "dasar orang jawa" sebuah olokan untuk orang yang berasal dari Jawa, atau "dasar orang batak" dengan menyebut seseorang berdasarkan latar belakang daerahnya. Atau memberikan stempel jahat seseorang karena agamanya. Contoh "dasar orang Islam tukang korupsi" karena kebetulan koruptor di Indonesia adalah orang Islam, atau dasar orang kristen tukang selingkuh" dan seabrek olokan atau celaan yang ditujukan untuk merendahkan eksistensi latar belakang seseorang.

Karena saking terbiasanya menyebut sesama anak negeri dengan latar belakang agama, suku dan bahasa mereka, maka akan semakin terbuka lebar sekat-sekat perbedaan masyarakat karena perbedaan latar belakangnya. Padahal sudah faktanya Indonesia terdiri dari banyak suku, agama dan bahasa serta perbedaan karakter personalnya.

Kembali pada indahnya gambaran masyarakat Australia, sejatinya Indonesia harus merasa "malu" dengan diri sendiri kenapa Australia yang berasal dari negara berbeda saja bisa akur kenapa negeri sendiri yang berasal dari satu bangsa masih saja berkonflik dan bertengkar? Padahal tujuan kita sama untuk kesejahteraan bersama dalam damai di bumi Indonesia. Lalu apa lagi yang mesti dipersoalkan?

Salam Damai Penuh Berkah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun