Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Iklan Magnum, Sebuah Sindiran terhadap Produksi Kakao (Coklat) Indonesia

28 Maret 2014   18:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 2212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13959976401548773761

[caption id="attachment_329038" align="aligncenter" width="297" caption="Ilustrasi : Produksi Kakao (coklat) Sumber : www.tempo.co"][/caption]

Iklan Magnum, Sebuah Sindiran Terhadap Produksi Kakao (Coklat) Indonesia

Produk makanan ringan satu ini memang sepertinya membuat siapa saja ingin mencicipi kelejatannya. Benar, karena memang ice cream merupakan produk import yang sudah menjadi kudapan wajib bagi anak-anak Indonesia. Makanya pantas saja di dalam sebuah pusat perbelanjaan modern di kota maupun di pelosok desa, produk import ini pun seperti merajai makanan di Indonesia.

Tak perlu memuji nikmatnya Ice Cream Magnum karena kapasitas saya bukan marketing, karena siapa saja yang sudah pernah melihat iklan di tv langsung terpesona. Terpesona bukan pada produk yang sudah dicicipi, tapi karena sensasi tayangan iklan dan bintang iklannya yang aduhai. Membuat siapa saja yang melihatnya akan berdecak kagum atas kemolekannya.

Produk ice cream yang diproduksi di Belgia ini sejatinya salah satu makanan modern yang sudah mengambil hati penikmatnya.

Tapi sadarkah kita, bahwa iklan magnum ini sedikit banyak menyindir atau secara implisit "menganaktirikan" produksi kakao lokal? Sadar atau tidak sadar kita telah terbius dengan iklam yang menjual produk impor di negeri kita tapi mereka "memuji " kakao yang dihasilkan dari negara lain?

Bagi yang consern terhadap pemberdayaan potensi dan produk lokal seharusnya ikut menyimak lebih dalam makna sindiran yang diberikan dari sebuah iklan Ice cream merek Magnum tersebut. Kenapa saya menyebut sebagai sindiran? Ini alasannya.

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai cukup lahan perkebunan, dan banyak pula wilayah tersebut yang didominasi tanaman kakao. Sehingga sudah pasti secara tidak langsung Indonesia pun sebenarnya adalah produsen kakao. Tapi yang membuat saya tak habis fikir kenapa kakao impor yang justru diidolakan dan dipuji-puji, sedangkan negeri sendiri adalah produsen kakao yang cukup potensial?

Di satu sisi kita sudah membeli ice cream rasa coklat yang tentu saja salah satu bahannya adalah biji kakao, tapi di sisi lain justru kakao kita tak pernah menjadi satu bagian narasi dari iklan produk ice cream tersebut, atau digunakan sebagai bahan baku makanan tersebut. Tapi  justru kakao yang berasal dari negeri Tanzania.

Boleh jadi kakao Indonesia memang tidak layak sebagai bahan baku produk ice cream tersebut. Atau dapat juga disebabkan karena ketidak mampuan Indonesia mencukupi permintaan biji kakao yang cenderung mengalami kenaikan disebabkan pangsa pasar makanan berbahan coklat yang juga cukup meningkat. Karena kondisi kakao dalam negeri masih saja kalah bersaing dengan produksi dari negara lain.

Meskipun eksport kakao indonesia di tahun 2013 menyumbang devisa sebanyak $1,05 miliar (1,05 miliar dolar AS).  (Antaranews.com) Sehingga wajar saja kakao Indonesia semestinya menjadi target penting peningkatan produksi dan peningkatan nilai eksport kakao. Meskipun faktanya kakao Indonesia belum mencukupi kebutuhan kakao dunia. (tempo.co) Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh penurunan produktifitas kakao.

Sebagaimana diliris oleh Departemen Pertanian, bahwa produksi kakao khususnya di wilayah Propinsi Lampung cukup flutuatif akan tetapi cenderung menurutn yaikni di tahun 2008 produksi kakao sekitar 25.690 ton.  Meskipun di tahun 2009 mengalami kenaikan akan tetapi di tahun 2010 mengalami penurunan kembali  sekitar 20.721 meskipun di tahun 2012 mengalami kenaikan, toh produktifitasnya sangat jauh menurun dibandingkan tahun 2008. Sebuah penurunan produksi yang cukup signifikan. Walaupun secara nasional dari tahun 2011 sd 2012 mengalami kenaikan sekitar 3,97%. (pertanian.go.id)

Keadaan yang membuat tak habis fikir kenapa produk kakao Indonesia semakin hari semakin melorot dan tak dilirik produsen coklat dunia tersebut.  Padahal sebagaimana dijelaskan di atas wilayah perkebunan Indonesia merupakan wilayah yang potensial untuk menciptakan produk pertanian yang bermutu dan berdaya saing tinggi.

Apakah produsen magnum salah karena kakao dari negeri Tanzania? Dan tidak menggunakan produk dalam negeri yang sebenarnya juga tak kalah bersaing dengan produk dari negara tersebut?  Tentu saja tidak bukan? Karena di era pasar bebas saat ini hanya produk yang berkualitas dan bersaing yang akan merajai produk olahan penting ini. Karena bagaimanapun juga makanan ringan ini tetap memegang prinsip keberkualitasan produk yang mereka hasilkan. Dan itu menjadi sebuah harga mati bahwa mereka tak akan menggunakan produk lain termasuk dari Indonesia jika kakaonya kalah berkualitas dari kakao negeri Tanzania.

Jika melihat potensi perkebunan kakao Indonesia, hakekatnya Indonesia tak kalah bersaing dengan negara lain seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan negara lainnya. Karena jika melihat struktur geografis indonesia sangat cocok jika dijadikan lahan pengembangan kakao. Di samping karena kakao hanya dapat hidup didaerah beriklim tropis, juga karena Indonesia memiliki struktur tanah yang baik. Sehingga seharusnya kakao Indonesia  memiliki kesempatan yang sama merajai pangsa pasar kakao dunia.

Kenapa Magnum Tak Menggunakan Kakao Indonesia?

Pertanyaan ini hakekatnya penuh dengan muatan politis dan ekonomis, muatan politisnya kembali kepada kebijakan pemerintah. Apakah pemerintah tidak memiliki cukup bargaining terkait penggunaan produk lokal? Karena jika diruntut tingginya pasar produk makanan tersebut Indonesia merupakan pasar yang cukup potensial.  Bahasa marketingnya, semakin tinggi konsumen di suatu negara, maka akan semakin besar nilai tawar pemerintah dalam kebijakan pasarnya. Tapi lagi-lagi keputusan perdagangan terikat perjanjian perdagangan bebas. Dalam hal ini satu langkah Indonesia sudah kalah dengan negeri Tanzania, di mana mereka memiliki kemampuan dalam mensupport produk makanan dari Belgia ini. Atau produk makan dari coklat lainnya.

Jika melihat pada kebijakan ekonomi, sejatinya rendahnya kualitas kakao Indonesia disebabkan karena memang saat ini mengalami penurunan produksi disebabkan masalah penyakit. Kakao yang busuk tatkala buah masih muda dan terlihat berjamur tatkala belum layak dipetik. Boleh jadi beberapa indikator penyakit ini yang membuat produksi kakao Indonesia menjadi melorot. Wajar saja produk lokal belum dianggap "layak" menjadi bahan baku produk import tersebut.

Apalagi jika melihat produksi kakao Indonesia yang cukup fluktuatif bahkan cenderung menurun tersebut, sedikit banyak memberikan gambaran bahwa Indonesia "dianggap" oleh produsen makanan kurang potensial karena penurunan yang cukup signifikan. (Republika.co.id)

Atau paling tidak pemerintah melalui kebijakannya menjaga kualitas kakao Indonesia. Tentu saja di bawah kewenangan departemen pertanian. Karena kebijakan pertanian mencakup produksi kakao sejatinya di bawah kendali menteri pertanian.

Seperti halnya di wilayah Kota Metro, tanaman kakao cukup banyak saya jumpai di wilayah ini. Jadi dapat diindikasikan bahwa hakekatnya wilayah inipun dahulu pernah menjadi pemasok kakao nasional. Meski tak sebanyak tanaman kakao yang dibudidayak di daerah Lampug Timur dan daerah sekitarnya. Namun demikian, beberapa tanaman tersebut sudah tak terurus dan tampak tak berbuah lagi. Padahal jika melihat struktur pohonnya masih cukup muda. Akan tetapi jika diamati dari buahnya memang dipenuhi oleh jamur.

Inilah sedikit banyak menjadi gambaran kenapa Magnum begitu percayanya menggunakan produksi pertanian asal Tanzania daripada produk Indonesia.

Gagalnya produksi kakao nasional dalam memenuhi perminataan pasar ekspor merupakan tamparan keras bagi kementrian pertanian. Karena saat ini produksi pertanian Indonesia khususnya kakao jauh dari kata memenuhi pangsa pasar ekspor. Sebuah tantangan berat bagi pemerintah apabila ingin bersaing dengan produk luar negeri (kakao) yang dianggap lebih pantas sebagai bahan produk andalan mereka.

Pemerintah sepatutnya  kembali merangkul petani kakao untuk menggiatkan sektor pertanian ini agar ke depannya produksi kakao Indonesia benar-benar bermutu tinggi dan menjadi komoditi eksport yang menguntungkan tidak hanya menjadi penonton tatkala produksi kakao luar negeri telah merajai pasar nasional.  Semoga target 1,1 juta ton produk kakao lokal dapat tercapai dengan optimal sebagaimana progam Kementerian Pertanian di tahun 2014 ini.

Salam

Sumber:

http://www.pertanian.go.id/infoeksekutif/bun/BUN-asem2012/Produksi-Kakao.pdf

http://www.antaranews.com/berita/412735/produksi-kakao-2014-ditargetkan-mencapai-11-juta-ton

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/14/02/11/n0tv2r-produksi-kakao-terus-turun

http://www.tempo.co/read/news/2013/07/23/090499057/Produksi-Kakao-Nasional-Belum-Cukupi-Kebutuhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun