[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi. Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat. / kompas.com"][/caption]
Benarkah ujian nasional awal kehancuran generasi? Dan apakah benar karena ujian nasional generasi muda jadi hancur? Beberapa pertanyaan inilah yang sampai detik ini masih saja terbang di awang-awang. Tidak pernah turun ke bumi dan menemukan jawaban yang pasti. Semua berdasarkan asumsi dan berawal dari beberapa kejadian yang menimpa anak negeri. Generalisasi yang kelewat batas bahwa karena ujian nasional anak Indonesia menjadi gagal dan kehancuran karakter.
Sepatutnya pertanyaan tersebut dicari akar masalahnya, kenapa para penggiat hak asasi dan sebagian anggota dewan ada yang mencibir adanya ujian nasional, karena berdasarkan informasi di beberapa media bahwa karena ujian nasional menjadi stress, putus asa bahkan ada yang harus bunuh diri karena ketakutan yang dialami anak-anak sekolah kita. Meskipun beberapa kejadian tersebut bisa dijadikan alasan ditentangnya ujian nasional, toh faktanya tidak semua anak "menderita" karena ujian nasional. Karena masih banyak anak-anak yang enjoy karena ada ujian. Hal tersebut berlaku pada anak-anak yang benar-benar konsisten belajar dan ingin menggali ilmu dan tidak semata-mata mengejar ijazah.
Bahkan ketika kita mau mengamati sekolah-sekolah pada umumnya yang menggunakan aturan yang ketat namun tidak memaksa, anak-anak ini tetap saja antusias mengikuti ujian nasional. Serasa seperti bernostalgia di masa aliyah dahulu. Meski saya tak cerdas seperti anak sekolah negeri tapi saya mungkin yang terlalu percaya diri kalau pasti lulus.
Tidak hanya karena anak-anak memang konsentrasi belajar sejak sekolah dasar, tapi memang menjadikan sekolah sebagai kebutuhan. Jadi wajar jika mau sekolah tentu saja ya mengharapkan pinter. Bukan hanya DDTL (datang, duduk, tidur dan lulus) namun benar-benar ingin mengenyam pendidikan yang tinggi. Seperti apa yang menjadi kata mutiara Bung Karno kurang lebih "bermimpilan setinggi langit, karena meskipun engkau jatuh kau akan jatuh di antara bintang-bintang". Dan sayapun mengingat Hadits Nabi "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri china" atau Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan dari sejak buaian hingga ke liang lahat". Dan benar, semenjak anak-anak orang tua sudah mengajarkan kita agar mau mengenyam pendidikan. Toh, tujuannya adalah mendapatkan ilmu pengetahuan.
Lalu, apa hubungan menuntut ilmu dengan ujian nasional? Jelas ada hubungan, jika kita sudah belajar mati-matian dan ingin mendapat pengakuan bahwa kita benar-benar berhasil menggali ilmu tersebut, tentu saja kita harus diuji. Tak dipaksa justru kita sendiri yang harus meminta ujian itu. Seperti halnya seorang prajurit atau seorang yang belajar pencak silat, maka dia sendiri akan meminta "dijajal" atau istilah kerennya diuji karena merasa sudah menguasai segala ilmu sang guru. Setelah siswa perguruan tersebut lulus maka dia dipersilahkan turun gunung.
Menuntut ilmu wajib dan kebutuhan begitu juga ujian adalah kewajiban dan kebutuhan yang semestinya kita terima dan semestinya kita butuhkan. Bukan malah menjadikan ujian nasional sebagai momok yang harus ditakuti.
Saya teringat kata-kata Pak JK, tatkala berdiskusi di salah satu TV swasta beberapa waktu lalu, bahwa ujian nasional itu perlu untuk mengetahui sejauh mana negara ini mampu mendidik warganya secara merata dan ingin mengevaluasi sejauh mana mereka menyerap ilmu yang diberikan.
Jadi jangan salahkan ujian nasional karena anak-anak stress atau bunuh diri, tapi kenapa mereka bisa menjadi stress dan bunuh diri itulah faktor yang harus dicari akar permasalahannya.
Jika sekolah dijadikan sebuah bagian kehidupan dan sebagai sarana menimba ilmu sekaligus sarana rekreasi, maka keberadaan ujian nasional tidak akan menjadi beban. Justru selain sebagai kompetisi, ujian nasional juga untuk menaikkan gengsi bahwa mereka telah mendapatkan ilmu yang mereka butuhkan. Tidak sekedar ijazah yang tak berguna.
Ujian Nasional dan Kebutuhan Dasar Masa Depan
Ujian nasional dengan segala pernak-pernik reaksi beragam menunjukkan bahwa sampai saat ini masyarakat Indonesia tidak memahami manfaat ujian nasional. Dengan kata lain selama ini kita tidak sadar bahwa kita bersekolah itu untuk mengenyam pendidikan dan memperoleh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Bahkan masyarakat sendiri seakan-akan tidak menyadari bahwa mereka mereka bisa menjadi orang suksespun karena diuji karena dievaluasi sejauh mana materi sudah terserap.
Para penolak ujian nasional tidak menyadari bahwa mereka sukses menjadi seorang intelek atau pejabat pun berawal dari sekolah dan pernah diuji. Bukannya mendukung ujian nasional tapi justru merendahkan program pemerintah ini dengan teori-teori pembodohan yang menunjukkan dirinya sangat-sangat bodoh. Mereka mengeneralisasi bahwa gara-gara ujian anak-anak jadi stresspadahal faktanya bukan karena ujian anak-anak menjadi stress. Tapi awal stress anak karena tidak siap mengikuti ujian.
Kenapa mereka tidak siap? karena selama mengenyam pendidikan mereka sama sekali tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk ujian nasional. Soal-soal ujian nasional seringkali tidak sesuai dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah. Bahkan adapula mereka tidak siap karena sekolah sama sekali tidak mengikuti aturan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Seakan-akan lembaga pendidikan sebagai ajang menjadi penghasilan dan uang proyek tapi kering dari isi dan prestasi.
Mereka berlomba-lomba membuat lembaga pendidikan, tapi di dalamnya tidak menjadi sarana mendidik sesuai dengan apa yang akan diujikan bagi mereka. Dampaknya mereka belajar pun seringkali malas-malasan ditambah lagi para guru yang tidak kompeten serta sarana dan prasarana belajar yang tidak berstandar. Wajar saja semua itu menjadi awal gagalnya anak menempuh ujian. Padahal sepatutnya soal-soal dalam ujian nasional sudah sesuai dengan kurikulum yang diajarkan di sekolah. Nah, jika ternyata siswa gagap melihat soal ujian nasional berarti ada yang salah dari keduanya. Apakah sekolah tersebut tidak bermutu atau soal ujian nasional yang kelewat susah yang tidak mampu diselesaikan oleh siswa?
Jika benar sekolah tersebut tidak bermutu dengan mengesampingkan proses pendidikannya di sekolah maka sepatutnya sekolahpun dievaluasi bagaimana kinerja personil sekolah apakah sudah sesuai dengan standar nasional atau tidak. Jika persoalannya karena perangkat pendidikan dan sarana prasarana yang tidak bermutu maka tanggung jawab pemerintah untuk mencukupi kebutuhan sekolah, tanpa terkecuali.'
Namun jika persoalannya karena soal ujian yang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan berarti BSNP yang mesti diinvestigasi jangan-jangan mereka hanya mengcopy soal-soal standar negara lain tanpa melihat kondisi faktual pendidikan di Indonesia. Sebuah ironi jika BSNP yang bertanggung jawab menyusun kurikulum dan perangkat ujian nasional mesti salah dalam memberikan soal ujian. Soal-soal dianggap terlalu tinggi dan para siswa sama sekali tidak pernah mengenal format soal. Dampaknya ada seorang yang berprestasi ternyata nilainya malah jeblog. Wajar karena soal-soal yang diujikan tidak sesuai dengan kurikulum.
Kualitas Pendidikan ditunjang Kelengkapan Sarana Prasarana Pendidikan
Jika menelaah betapa saat ini sebuah kejadian dianggap sebagai representasi dari dampak adanya ujian nasional, maka sepatutnya kita melihat kondisi riil bangsa Indonesia. Kita seringkali menyalahkan ujian nasional tapi kita sendiri tidak pernah menilai bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia. Bagaimana sebuah lembaga pendidikan dan kelengkapan sarana dan prasarana di dalamnya. Serta bagaimana peran orang tua dalam mendukung pendidikan anak-anaknya.
Karena bagaimanapun ujian nasional tak perlu menjadi momok apabila para siswa sudah mendapatkan materi sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka merasakan pendidikan sebagai sarana belajar yang tidak menyesakkan, mereka bebas berekspresi ditunjang komunikasi yang baik antara para guru dan siswa-siswanya. Nah, jika ternyata sarana prasarana sudah mencukupi, guru-guru sudah profesional, kurikulum sudah sesuai dengan yang hendak diujikan, serta komunikasi yang baik antara guru, siswa dan orang tua juga sudah baik. Maka tak perlu lagi mempermasalahkan ujian nasional.
Ujian nasional hakekatnya satu dari beberapa komponen keberhasilan sebuah studi, karena dengan ujian nasional semua peserta didik di seluruh penjuru Indonesia mendapatkan pendidikan yang sama tanpa perbedaan. Antara sekolah kota dan di kampung sarana dan prasarannya pun sepatutnya tidak ada perbedaan agar kualitas SDM di Indonesia tidak berbeda antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Dampak positifnya setiap warga negara di manapun mereka berada mereka akan mendapatkan pendidikan yang sama, kurikulum yang sama, kualitas yang sama dan kebijakan pendidikan yang sama pula tanpa membeda-bedakan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Dampak jika Ujian Nasional ditiadakan
Sekali lagi ujian nasional ya untuk menguji, apakah si anak lulus apa belum dan mengetahui sejauh mana materi sudah diserap siswa. Jadi ujian nasional akan benar-benar bermanfaat jika diikuti beberapa komponen yang menyertainya sebagaimana pembahasan di atas.
Terlepas dari pelanggaran hukum karena korupsi proyek ujian nasional, semua sudah menjadi kewenangan KPK untuk mengusut kasus korupsi tinggal dibuat prosedur penyelenggaraannya agar tidak memberikan ruang untuk melakukan korupsi.
Kembali pada persoalan jika Ujian Nasional tidak diadakan, maka dampaknya para siswa semakin merasakan kebebasan yang berlebihan, euphoria karena tidak ada ujian. Dampaknya lagi para siswa ini tidak akan tertuntut untuk belajar lebih giat, karena mereka merasa tak akan diuji dan pasti lulus meski mereka tidak mengerjakan soal ujian dari pemerintah. Mereka akan bersekolah dengan semaunya, dan menjadikan sekolah sebagai tempat kongkow-kongkow yang minim prestasi.
Sulitnya pemerintah menata arah kebijakan terkait pendidikan, karena sekolah sendiri mengelola sistem pendidikan semau-maunya, tanpa ada kontrol pemerintah. Tentu saja bagi sekolah yang sudah kadung disiplin dan berprestasi ada atau tidak adanya ujian nasional tidak akan menjadi persoalan, toh sekolah mereka sudah modern dan berkualitas. Tapi bagaimana dengan sekolah yang tidak disiplin dan guru-gurunya tidak profesional? Justru tidak adanya ujian nasional semakin menjerumuskan siswa-siswa di sekolah model ini ke pada situasi tak tentu arah. Mereka mendidik siswanya semau gue, karena tak tertuntut adanya evaluasi yang disamakan. Padahal status pendidikan hakekatnya sama, baik dari sarana prasaraan, guru, kurikulum pun sepatutnya tidak dibeda-bedakan. Jadi prestasi semua sekolah pun akan merata tidak dibeda-bedakan.
Meskipun terkadang prestasi amat beragam, tapi adanya kurikulum nasional tersebut memberikan kesempatan yang sama di pelosok negeri untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang sama tanpa terkecuali. Jangan karena di kota mendapatkan perlakuan yang istimewa sedangkan di kampung seperti tidak difikirkan. Seperti yang terjadi saat ini.
Akhir kata, Ujian Nasional bukanlah momok yang harus ditakuti jika semua perangkat pendidikan berjalan harmonis dan dinamis. Lulus dan tidak lulus pun sepatutnya bukan untuk menjustifikasi bahwa siswa tersebut tidak layak mendapat pekerjaan. Karena suksesnya bangsa inipun tak terlepas dari perhatian pemerintah terhadap kemampuan mendidik warganya agar mandiri, dan berbudi pekerti yang luhur serta memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat siswa.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H