[caption id="attachment_355845" align="aligncenter" width="521" caption="Gambar: Anak-anak disabilitas tengah membuat kue rumball (SLBNMetro, doc.pribadi)"][/caption]
Hari ini Kamis, 28 Agustus 2014, seperti hari-hari biasa kami melakukan kegiatan proses pembelajaran di sekolah. Dan seperti biasa, kami selalu memberikan pembelajaran yang berfokus pada kemandirian. Pendidikan yang melibatkan semua unsur tidak hanya kognitif, afektif dan psikomotorik saja namun lebih dari itu benar-benar melibatkan unsur pengalaman hidup yang benar-benar dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Tidak hanya di sekolah kami, karena saya yakin di sekolah-sekolah lain yang mendidik anak-anak disabilitas tentu saja memiliki kurikulum yang relatif sama atau seragam. Namun demikian, ada sisi lain yang akan berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Baik penerapan bentuk ketrampilan yang diberikan juga berkaitan dengan program muatan lokal yang biasanya juga disesuaikan dengan kearifan lokal. Semua diserahkan pada sekolah masing-masing bagaimana mereka meramu kurikulum yang sudah ada agar benar-benar applicable, menghitung tingkat efiensi dan efektifitas dalam pelaksanaannya. Selain itu kira-kira amat dibutuhkan atau tidakkah bagi kehidupan masa depan anak-anak didiknya.
Begitu juga melihat muatan kurikulum bagi anak-anak disabilitas di SLBN Metro khususnya tingkat menengah hampir 80% jam belajarnya digunakan pada pengembangan diri atau bina diri, selebihnya pembelajaran pelajaran umum yang berkaitan dengan hal-hal yang paling dibutuhkan yang anak-anak mampu menyerapnya.
Seperti halnya kegiatan pengembangan diri berupa tata boga, setiap pekan kami menyelenggarakan kegiatan tata boga dengan mempelajarai tentang beraneka masakan dan kue-kue yang masih setaraf dengan kemampuan anak didik. Tak membutuhkan biaya mahal, dan tidak terlalu rumit dalam membuatnya.
[caption id="attachment_355850" align="aligncenter" width="437" caption="Guru dan siswa disabilitas berfoto bersama (doc.pribadi)"]
Selain tidak rumit, salah satu program pengembangan diri ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masa depan mereka jika hendak dikembangkan tatkala mereka lulus dari sekolah. Mungkin pembelajaran ini pun sepatutnya diajarkan kepada anak-anak yang tidak membutuhkan pendidikan dan layanan khusus karena saat ini bukan hanya teori saja yang mesti diajarkan, tapi menyentuh persoalan pengalaman hidup yang berguna bagi kehidupan mereka selanjutnya.
[caption id="attachment_355854" align="aligncenter" width="464" caption="Kue Rumball karya anak-anak disabilitas dipasarkan di area sekolah (doc.pribadi)"]
Seperti biasa, dibawah asuhan guru tata boga, Ruby Sastaviona, S.Pd, dan dibantu Riska Widyawati, S.Pd. mereka membimbing anak-anak disabilitas dengan ketrampilan membuat kue. Pada kesempatan ini kue yang dibuat adalah kue Rum Ball, karena berbentu seperti bola dengan beraroma ruum. Kue yang dibuat dari bahan biskut dan dipadukan dengan coklat.
Adapun bahan-bahannya adalah :
- Biskuit
- Susu coklat kental
- Coklat batangan
- Mesis
- Rum (pengharum alami)
Cara membuatnya:
- Cara membuatnya adalah dua bungkus sedang (menyesuaikan) biskuit ditumbuk sampai halus dan dicampur dengan setengah kaleng susu coklat kental hingga benar-benar kalis. Jumlah adonan yang dibuat menyesuaikan kebutuhan. Untuk adonan dua bungkus kue marie biasanya setengah kaleng susu sudah cukup.
- Kemudian adonan yang sudah kalis tersebut dibuat bulatan-bulan seperti bola dan bulatan yang sudah jadi dilumuri dengan meses dengan cara diglindingkan pada permukaan meses dalam sebuah wadah hingga merata.
- Setelah bulatan kue tadi sudah jadi kemudian siapkan loyang untuk meletakkan kue yang siap dihiasi coklat putih sebagai pemanis penampilan. Mulanya letakkan bulatan kue tersebut pada kertas kue (cup), kemudian dilumuri coklat putih yang sudah dicairkan terlebih dahulu dengan motif garis-garis atau bunga tergantung selera. Setelah cukup sesuai keinginan bisa dimasukkan ke dalam kulkas agar adonan kue benar-benar mengeras.
- Adonan bulatan yang sudah siap dimasukkan ke dalam kulkas kira-kira 5 menit hingga adonan mengeras.
Tak seberapa lama, dengan gerakan anak-anak disabilitas, kebetulan anak-anak tuna grahita, kue-kue yang sudah dibuat tadi pun siap dihidangkan. Nah, uniknya hasil karya anak-anak ini selain dikonsumsi sendiri, sebagiannya dijual kepada anak-anak dan guru-guru yang berminat dengan harga perbuahnya Rp 1.000,-.
Tentu saja anak-anak pun senang mendapatkan pengalaman berharga. Tak hanya senang dalam membuat karena mereka mendapatkan ilmu bagi kehidupan mereka, bisa melakukan praktik jual beli antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa lainnya.
Pembelajaran yang sebenarnya sederhana dan mudah karena melibatkan semua unsur dan berkaitan dengan aspek-aspek lain baik pembentukan karakter, ilmu matematika, ilmu ekonomi, kreatifitas dalam seni membuat kue, dan tentu saja yang paling penting adalah pendidikan kemandirian. Harapannya anak-anak disabilitas tatkala lulus sekolah mereka sudah siap menghadapi sulitnya kehidupan dengan ketrampilan yang mereka dapatkan. Selamat mencoba!
Salam Kompasiana
Metro, 28-8-2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI