Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebijakan Guru yang Penuh dengan Dilema

13 September 2014   19:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru, dari dahulu selalu menjadi bagian yang tak bisa melepaskan diri dari kebijakan pemerintah. Baik pemerintah pusat maupun daerah. Karena guru adalah abdi negara dan juga sebagai abdi masyarakat. Karena memang situasi menuntut adanya perombakan sistem yang hampir setiap tahun harus diikuti oleh para guru di Indonesia.

Kebijakan yang seyogyanya semakin memberikan pondasi yang kokoh bagi derajat guru pun seringkali harus berhadapan pada situasi dilema, antara menuntut kesejahteraan dan aturan ketat yang selalu saja harus diikuti mereka. Meskipun situasi tersebut sering bertentangan dengan bidang tugasnya saat itu.

Begitupun bagi kami guru-guru yang saat ini mengabdi, seakan-akan selalu merasakan kebingungan lantaran kebijakan yang selalu saja berubah. Kebijakan yang sebenarnya sangat baik bagi kebutuhan guru sendiri, namun acapkali kebijakan itu sanga merugikan mereka. Jika dilihat dari berapa tahun masa pengabdiannya jika harus bersinggungan dengan aturan yang berlaku secara periodik.

Bila boleh dicontohkan, jika sewaktu pengangkatan pegawai, para guru diharuskan mengikuti keputusan sekolah untuk menjadi guru kelas, padahal waktu itu seharusnya di antara guru-guru tersebut harus menjadi guru agama Islam, sesuai dengan ijazah dan akta IV yang kami miliki. Itupun tidak hanya saya, karena ada beberapa guru yang mengalami nasib yang sama. Di satu sisi harus mengikuti perintah kepala sekolah, selaku pemilik kebijakan di tingkat institusi, berhadapan dengan situasi dia harus bekerja sesuai dengan bidang tugas dan sesuai dengan profesionalisme.

Kamipun tidak bisa menolak, bagaimanapun keputusannya apapun tugas yang diberikan tanpa bisa menolak, dengan alasan apapun tugas harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Selang beberapa tahun kami bisa menjalaninya dengan tanggung jawab penuh, meskipun akhir-akhir ini harus dilibatkan dengan persoalan status pendidikan dan bidang tugas yang diemban. Misalnya lulusan guru agama, ternyata saat ini harus menjadi guru kelas. Dan akhirnya status itupun harus dipertanyakan lantaran dianggap tidak liner.

Meskipun awalnya persoalan ini sempat tak dipersoalkan karena adanya kebijakan pemerintah bahwa guru-guru kelas, khususnya di sekolah khusus, para guru mendapatkan pendidikan dan pelatihan demi memenuhi kebutuhan profesionalisme, maka status mereka adalah SAMA dengan guru-guru lain dengan jurusan yang linier. Mengingat diklat yang diikuti sudah menjawab kebutuhan guru di mana dia harus mengabdikan tugasnya.

Sewaktu mendapatkan tugas disekolah kami tidak pernah menolak untuk ditempatkan dimanapun berada, akan tetapi seiring perjalanan waktu ternyata karena tuntutan aturan terbaru guru-guru yang sudah mengajar harus mengikuti aturan baru dan berpindah tugas sesuai dengan latar belakang pendidikan. Kami yang sewaktu ditempatkan di sekolah tak pernah berpikir akan bernasib "tak jelas" akhirnya hanya bisa memberikan argumen yang masuk akal berdasarkan aturan-aturan yang terdahulu yang pernah kami baca. Meskipun kadangkala arogansi muncul di dalam kebijakan tersebut. Buntutnya meski sekolah kekurangan guru, dengan alasan yang kurang logis sang guru pun harus dimutasi, meskipun tanpa melalui permintaan. Apalagi masa kerjanya belum genap lima tahun sesuai dengan aturan boleh dan tidaknya seorang guru bisa berpindah tugas.

Selau saja ketenangan dalam tugas harus diganggu oleh kebijakan yang selalu berubah-ubah seperti tak tentu arah. Guru yang seharusnya melakukan tugasnya dengan tenang, dan penuh konsentrasi serta orientasi mendidik penuh waktu harus diberikan tugas mengikuti aturan baru yang justru merugikan guru yang bersangkutan.

Bahkan ada sebagian guru yang menganggap, termasuk dalam hal sertifikasi, para pegawai struktural seakan-akan dibuat cemburu dengan kemudahan yang diberikan kepada guru. Jadi seolah-olah mereka ingin menjadikan proyek besar ini sebagai bagian kerja yang justru dibuat semakin rumit. Seperti beberapa waktu lalu, terkait jam belajar yang pada awalnya memang 24 jam, karena hampir semua guru senior sudah mengikuti sertivikasi, maka dampaknya sebagian guru yang lain harus gigit jari karena tak mudah mendapatkan jumlah jam yang diwajibkan. Persoalan ini tidak hanya satu atau dua orang yang mengalaminya, karena ada banyak guru yang harus merelakan tunjangan sertifikasinya kandas di tengah jalan lantaran jam mengajarnya tidak memenuhi syarat.

Meskipun kondisi ini sudah mendapatkan kritikan dan gugatan dari sejumlah guru, tapi kebijakan tetaplah kebijakan. Meskipun mereka mendapatkan sertifikat profesional, mereka harus rela sertifikat tersimpan rapat di dalam laci dokumen tanpa mendapatkan tunjangan "mimpi" yang diharapkan.

Tapi itulah guru, yang selalu harus "manut eng pandum" mengikuti aturan yang kadang tak adil. Di satu sisi seorang abdi negara ini ada yang begitu mudahnya bisa meminta penempatan sesuai kelas khusus, tapi di lain pihak dibuat kerepotan dan seolah-olah ada pengecualian dan perbedaan di antara mereka.

Mudah-mudahan hal ini tidak berlaku bagi keseluruhan sistem penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Entah, jika memang budaya ini masih ada dalam institusi pemerintahan baru, tentunya akan berdampak tidak baik bagi pengembangan karir seorang guru dan tentu saja akan berdampak pada mandegnya proses pendidikan di dalam institusi yang kini menaunginya.

Semoga saja kebijakan sertifikasi lebih adil, bahkan kalau diperlukan semua guru mendapatkan tunjangan ala sertifikasi yang dapat dinikmati sebagai bagian bentuk kewajiban negara dalam menyejahterakan guru-guru di Indonesia. Jika kita bisa melihat senyum guru karena gaji yang layak adalah kebahagiaan tersendiri, kenapa di antara kita ada yang rela mendengar dan melihat betapa menderitanya sebagian abdi negara ini? Entahlah.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun