Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengajarkan Anak Mencintai Buah dan Makanan Tradisional Ala Saya

21 September 2014   16:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:02 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_360552" align="aligncenter" width="490" caption="Pisang sebagai produk unggulan di Lampung cukup menjanjikan untuk dikembangkan. Selain murah tentu nilai gizinya cukup memenuhi kebutuhan makanan sehat bagi anak-anak Indoensia (doc. pribadi)"][/caption]

Minggu ini (21-09-2014), pagi-pagi istri sudah mulai rasan-rasan kepingin ke pasar tempel, ingin membeli ikan untuk dipepes. Tadinya mau berangkat sendiri make sepeda, tapi kog ya nggak tega amat, akhirnya saya menawarkan diri untuk saya antar menggunakan sepeda motor. Biasalah namanya emak-emak, kalau belanja gak cukup seperempat jam, karena biasanya kalau belanja kepinginnnya satu, tau-tahu menambah belanjaan yang lain.

Begitu pula dengan ibunya anak-anak, saya tunggu diparkiran kog lama amat nggak nongol, padahal katanya sebentar. E..e, nggak tahunya ada yang dibeli lagi selain ikan. Pisang satu ikat dengan beberapa sisir dibeli oleh sang istri. Saya sih nggak kaget-kaget amat, karena memang istri memiliki penjual buah yang cukup murah. Jadi kalau sekali saja ketemu di pasar, mau nggak mau ya harus membeli. Apalagi pisang yang sepertinya satu tandan itu hanya dijual 10 ribu rupiah.

Syukurlah, di kampung saya buah-buahan lokal masih tergolong murah. Berbeda dengan buah-buah impor harganya cukup melejit tapi kualitas lokal saya rasakan lebih baik. Baik dari tekstur maupun rasa. Bahkan beberapa waktu lalu pernah saya membeli beberapa buah apel yang berstempel asing ternyata banyak yang sudah membusuk. Entahlah apa karena lama disimpan atau memang tak seberapa laku karena harganya yang cukup mahal.

****

Bagi kami sekeluarga buah-buahan menjadi sebuah kebutuhan. Kalau boleh dibilang wajib. Karena kalau sehari saja tidak ketemu dengan buah rasa-rasanya di lidah ini ada yang kurang. Kebiasaan yang kami ajarkan turun temurun. Tidak hanya keluarga saya karena orang tua dan mertua juga membiasakan anak-anaknya menikmati buah-buahan.

Tentu saja buah-buahan lokal yang biasanya dijajakan di pasar-pasar pagi di pinggir-pinggir kota. Kalau di hipermart atau supermarket tentu buahnya kebanyakan import. Kalau buah model ini kami belum tentu sebulan sekali mau membelinya. Selain karena mahal juga karena kualitas buah lokal lebih baik. Itu menurut saya loh.

Sebagai hasil pertanian yang banyak dibudidayakan petani lokal, pisang sebenarnya cukup memenuhi kebutuhan domestik. Tentu saja karena tanah pekarangan dan lahan pertanian atau perkebunan di Indonesia masih cukup luas. Bahkan kalau dihitung-hitung banyak lahan tidur yang sama sekali tidak dimanfaatkan. Dampaknya kebutuhan akan pangan lokal menjadi sulit dipenuhi. Terutama buah-buahan. Dalam hal ini pisang sebagai makanan kesukaan keluarga kami. Selain murah, meriah dan tentu saja sehat dan bebas dari bahan kimia pengawet.

[caption id="attachment_360554" align="aligncenter" width="490" caption="Ubi talas, menjadi kudapan yang cukup penting bagi keluarga kami, menikmati makanan alami sekaligus melestarikan sumber pangan lokal yang menyehatkan (doc. pribadi)"]

14112672011142729847
14112672011142729847
[/caption]

Menurut beberapa ahli gizi, pisang terbukti buah menyehatkan. Mengandung banyak vitamin, mineral, serat dan tentu kandungan air yang tinggi. Karena tingginya buah pisang ini kalau penikmatnya mau mengkonsumsi setiap hari, mudah-mudahan akan mendapatkan manfaat yang banyak. Misalnya tubuh akan selalu sehat, kulit menjadi bersih dan ketahanan fisik makin terjaga.

Bagi kami, menikmati buah-buahan tak harus yang mahal, apalagi kami memang membiasakan menanam buah-buahan di pekarangan rumah, tidak hanya pisang, karena rambutan, jambu dan mangga adalah hiasan yang khas dimiliki oleh penduduk perdesaan. Begitupula dengan keluarga kami.

Membiasakan membeli buah lokal yang sangat murah, seperti yang baru saja kami beli satu ikat berisi 11 sisir ternyata hanya 10.000 rupiah. Tentu amat murah dan pastinya sangat terjangkau. Kebutuhan gizi dapat dipenuhi tapi tidak juga menguras isi kantong.'

Belajar mencintai buah dan makanan tradisional

Selain karena kami memang hoby makan buah, tentu kami berusaha untuk belajar mencintai buah-buahan lokal agar jangan sampai punah tergerus jaman. Di lahan-lahan yang kosong baik kami sendiri dan para tetangga selalu menyisakan tanaman buah, seperti pisang, rambutan dan lain-lain. Tentu saja supaya warisan leluhur tanah air ini tidak menjadi punah.

Tidak hanya buah-buahan, karena kamipun masih bisa menikmati makanan seperti uwi, ubi talas, mbote, singkong, ubi jalar (mantang), semua ditanam sendiri di pekarangan rumah. Meskipun seperti ubi talas ini sudah jarang kita temui, tapi di perdesaan masih banyak di tanam warga. Bukti bahwa masyarakat masih lekat dengan kudapan tradisional asli nusantara.

Makanan-makanan tradisional yang seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan adalah sebuah kebutuhan. Karena saat ini Indonesia sudah banyak kehilangan tanaman-tanaman tersebut karena ulah yang tidak bertanggung jawab dari bangsa kita sendiri.

Tanaman yang biasanya bisa kita tanam dengan mudah dan bermanfaat hasilnya, saat ini kurang begitu diminati lantaran orang tua kurang mewarisi tradisi leluhur yang baik ini pada anak keturunannya.

Lalu bagaimana kami mengajarkan mencintai makanan tradisional? Tentu saja tidak mudah, lantaran lidah anak-anak sekarang lebih familier dengan makanan modern. Seperti kentucky, fried chicken, pizza, donut, es krim dan makanan lain yang justru modern. Makanan modern yang hakekatnya kurang begitu menyehatkan jika dilihat dari kandungan gizinya. Apalagi menurut penelitian, makanan modern tersebut banyak mengandung gula buatan yang bisa menyebabkan penyakit diabetes melitus, atau minimal caries gigi lantaran kandungan gulanya yang berlebihan.

Kami selalu membiasakan diri menghidangkan makanan tradisional yang kami tanam di tanah sendiri. Seandainya harus membeli tentu yang dibeli adalah buah-buahan yang dihasilkan dari negeri sendiri. Makan bersama anak-anak hidangan yang diperoleh dari kebun yang ditanam sendiri. Tak terlalu terpengaruh dengan makanan dari luar negeri yang kadang kurang baik bagi kesehatan.

Menikmati makanan tradisional berarti menjaga, melestarikan dan mewariskan kecintaan terhadap makanan tradisional kepada anak

Amat mustahil sebuah progam mencintai makanan tradisional dapat tercapai, jika hanya bentuknya bualan-bualan kosong tak berisi. Para penggiat dan LSM cinta lingkunugan misalnya tidak mau menikmati makanan tradisional dan justru berburu makanan cepat saji sebagai hidangan pokok mereka.

[caption id="attachment_360555" align="aligncenter" width="643" caption="Anak-anak menimati sarapan pagi dengan makanan tradisional ala lokal (doc. pribadi)"]

14112673821359761370
14112673821359761370
[/caption]

Karena selama ini memang usaha menjaga warisan leluhur ini hanya sebatas wacana, teori dan hanya bentuk riak-riak proyek yang jarang diaplikasikan. Contoh sederhananya ketika hari ini kita berbicara makanan tradisional, tapi di meja makan kita yang ada adalah makana import, makanan siap saji dan tentu saja bukan dari tanah air sendiri.

Secara tidak langsung, dengan gaya hidup yang berbeda ini tentu akan menunjukkan bahwa kita belum sebenar-benarnya mencintai warisan leluhur kita. Kita hanya berteori tapi miskin aplikasi. Jangankan kita membeli jeruk lokal, di rumah kita justru jeruk-jeruk impor yang dihidangkan. Apakah bukan sesuatu yang ironi?

Bagi kami, dan tentu saja keluarga Indonesia, tak cukuplah hanya berteori dan berbicara tentang makanan tradisional, jika kita tidak benar-benar mengajarkan anak-anak kita untuk mencintai makanan tersebut dan membiasakan diri menikmatinya meskipun ada makanan lain yang lebih mahal.

[caption id="attachment_360557" align="aligncenter" width="490" caption="Ubi talas yang kami tanam di pekarang rumah ( doc. pribadi)"]

1411267529414293408
1411267529414293408
[/caption]

Mudah-mudahan, kecintaan produk lokal benar-benar menjadi tradisi yang tentu saja luhur, kita belajar mencintai apa yang tanah air kita miliki agar ketersediaan makanan tradisional tetap terjaga dan tidak tergerus oleh makanan import.

Salam damai dan selamat berhari libur!

Metro, 21/9/2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun