Karena selama ini memang usaha menjaga warisan leluhur ini hanya sebatas wacana, teori dan hanya bentuk riak-riak proyek yang jarang diaplikasikan. Contoh sederhananya ketika hari ini kita berbicara makanan tradisional, tapi di meja makan kita yang ada adalah makana import, makanan siap saji dan tentu saja bukan dari tanah air sendiri.
Secara tidak langsung, dengan gaya hidup yang berbeda ini tentu akan menunjukkan bahwa kita belum sebenar-benarnya mencintai warisan leluhur kita. Kita hanya berteori tapi miskin aplikasi. Jangankan kita membeli jeruk lokal, di rumah kita justru jeruk-jeruk impor yang dihidangkan. Apakah bukan sesuatu yang ironi?
Bagi kami, dan tentu saja keluarga Indonesia, tak cukuplah hanya berteori dan berbicara tentang makanan tradisional, jika kita tidak benar-benar mengajarkan anak-anak kita untuk mencintai makanan tersebut dan membiasakan diri menikmatinya meskipun ada makanan lain yang lebih mahal.
[caption id="attachment_360557" align="aligncenter" width="490" caption="Ubi talas yang kami tanam di pekarang rumah ( doc. pribadi)"]
![1411267529414293408](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1411267529414293408.jpg?t=o&v=700?t=o&v=555)
Mudah-mudahan, kecintaan produk lokal benar-benar menjadi tradisi yang tentu saja luhur, kita belajar mencintai apa yang tanah air kita miliki agar ketersediaan makanan tradisional tetap terjaga dan tidak tergerus oleh makanan import.
Salam damai dan selamat berhari libur!
Metro, 21/9/2014