Tulisan ini sudah saya sentil sebelumnya di laman facebook saya. Bahwa anak saya yang sulung, yang kebetulan baru kelas tiga barusaja menerima raport, bergembira karena mendapatkan peringkat ke delapan. Rasanya gitu loh, saya selalu ayahnya turut bergembira, karena di kelas sebelumnya nilainya selalu di bawah rata-rata alias jeblog.
Meski saya anggap biasa saja dengan perolehan prestasi tersebut, tapi bagi sang anak sebuah kebanggaan karena bisa menyampaikan berita baik bahwa ia termasuk yang mendapatkan rangking. Apa pasal? Karena rata-rata orang tua menghendaki anaknya mendapatkan tiga besar alias rangking 1 sampai 3. Mereka bersusah payah mengikutkan les dan bimbel hingga jutaan rupiah, demi sebuah rangking kesatu.
Selain kegembiraan anak saya tersebut, begitupula sang ibunya juga turut bangga, seraya mengucapkan alhamdulillah ternyata meskipun nilainya jauh dari anak yang berprestasi lain ternyata ia mampu mengerjakannya tanpa menyontek, tanpa melihat hasil temannya. Atau ia sudah bisa berfikir apa adanya, bahwa nilai ulangan itu murni dari olah pikirnya sendiri, dan bukan dari hasil jiplakan dari temannya.
Sekali lagi, alhamdulillah, saya bersyukur harapan saya agar anak mau bersikap jujur benar-benar dipahami dan diresapi secara mendalam, mulai dari hal kecil terutama tatkala pelaksanaan ujian di sekolah.
Berbeda dari apa yang diceritakan sang anak, ternyata salah satu temannya yang berperingkat ketiga ia selalu ngambek dan memaksa diri agar dirinya mendapatkan rangking. Kalau harapannya tak tercapai maka alamat perabot rumah akan dihancurkannya satu persatu.
Ada pula saya dapati seorang ibu yang naik pitam tatkala sang anak tak mendapatkan rangking. Sang ibu justru membenturkan kepala anaknya lantaran anaknya tak berhasil membuat dirinya bangga. Sang ibu tega menyakiti fisik dan psikis anak demi sebuah prestise, kebanggaan yang biasanya ia dapatkan tatkala bertemu dengan para ibu di kampungnya. Katanya "Jeng, anakmu dapat rangking berapa? Anakku dapat rangking 1 loh!. Meski tak ada yang menanyakan prestasi anaknya, ia memamerkan hasil capaian anaknya di sekolah.Â
Meskipun setelah ia bangga menyampaikan berita gembira atas prestasi anaknya, di lain kesempatan ia menyakiti sang anak lantaran nilainya turun drastis. Yang biasanya dapat rangking ternyata jatuh tak terkendali. Sambil mencela anaknya dengan sebutan "bodoh" lantaran tidak bisa membanggakan sang ibu.
Sang ibu murka, anaklah yang menjadi korban. Meskipun sang anak sudah ketakutan karena dimarahi sang ibu, ternyata si ibu malah membenturkan kepalanya ke tembok lantaran anaknya dianggap bodoh.Â
Masha Allah, kasihan sekali melihat anak itu. Gumamku.
Bersyukur anak kami tak harus dibenturkan kepalanya tatkala ia bangga karena nilainya bisa meningkat dari tahun sebelumnya. Meskipun kami tak memaksanya belajar dengan keras. Bahkan kami memberikan kesempatan sang anak untuk bisa bermain seluas-luasnya agar ia mendapatkan haknya selaku anak-anak.
Benarkah Anak Bersekolah Harus Rangking Pertama?
Pertanyaan inilah yang juga mungkin banyak ditanyakan oleh para pemilik buah hati.Â
Mereka memiliki anak pun hakekatnya bertanya-tanya apakah anak-anak harus mendapatkan rangking? Baik rangking pertama sampai ke tiga. Karena prestasi tersebut akan membuat kehormatan orang tuanya naik tajam.Â
Seorang anak yang berprestasi gemilang akan membawa nama baik bagi keluarganya.Â
Bahkan tak hanya kehormatan, karena sang anak mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan selanjutnya jika nilai-nilainya sangat baik. Minimal ketika mereka menghendaki beasiswa lantaran saat ini pun banyak bertumbuh yayasan beasiswa bagi anak-anak cerdas dan berbakat. Terutama dilihat dari hasil ujiannya.
Seandainya tak menginginkan beasiswa, mereka akan mendapatkan kesempatan lebih untuk bisa masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri ternama. Tentu karena prestasi yang diperoleh selama menempuh pendidikan.
Akan tetapi, jika mengamati betapa orang tua saat ini begitu bersemangat--kalau boleh dibilang ambisius-- menghendaki anak-anaknya mendapatkan rangking di sekolah, meskipun seringkali orang tua tak melihat seberapa besarkah bagian anak terkait hak-haknya dalam bermain. Sehingga seringpula didapati sang anak sebagai objek komoditi bagi orang tuanya demi sebuah target rangking di kelasnya. Atau juara umum di sekolah tersebut.
Namun, yang tak dipikirkan sebelumnya adalah, hakekatnya sang anak pun butuh waktu untuk menikmati dunianya sendiri. Anak butuh bermain bersama teman-temannya, menikmati dunia luar sesuai dengan usia mereka.Â
Mereka pun hakekatnya tak ingin "dipaksa" untuk menguasai segala-galanya, karena di antara anak-anak tersebut ada hak yang juga harus didapatkan sang anak.
Memang tidak salah jika orang tua mengikutkan anak dengan berbagai les dan bimbel demi prestasi anak, tapi apakah mereka belum memahami bahwa anakpun butuh bahagia dalam dunia mereka sendiri?
Dan tak salah pula bahwa anak mendidik keras anaknya untuk masa depannya, tapi apakah hanya nilai-nilai raport atau ijazah saja standar kompetensi sang anak? Meskipun masa depannya tak hanya ditentukan oleh kecerdasan logika.Â
Ketika sang anak senantiasa tertuntut dan tertekan akibat standar nilai dan rangking dari orang tuanya justru membuat sang anak menjadi stress, tertekan, bahkan bisa berdampak pada kondisi kejiwaan yang terguncang.Â
Bahkan lebih dari itu, yang mengkhawatirkan adalah anak-anak yang jiwanya masih labil justru menjadi pribadi-pribadi penakut, rendah diri dan menutup diri lantaran kecewa karena prestasi yang diharapkan orang tuanya tak dapat ia pehuni.Â
Tentu karena tak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Ada beberapa hal yang menonjol, tapi tak sedikit yang tenggelam.
Seandainya sang anak dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran, maka ada beberapa potensi yang justru tenggelam bersama ambisi dan kekerasan psikologis yang dialami sang anak. Seperti pula anak yang mengalami depresi lantaran mengikuti beberapa bimbel yang diwajibkan oleh orang tuanya.
Prestasi Tak Semata-mata Nilai Raport
Ada banyak hal yang terlupakan oleh kita selaku orang tuanya, bahwa kita menganggap prestasi anak semata-mata nilai raport yang harus di atas sembilan. Bahkan kalau perlu sepuluh untuk semua mata pelajaran. Tapi benarkah ini yang dimaksud dengan prestasi? Apakah kita pantas mengesampingkan prestasi lain yang juga menjadi potensi mereka?
Coba saja kita perhatikan, anak-anak kita seringkali memiliki ketrampilan dalam tarik suara, menari, melukis, berbicara, dan lain-lain tapi kita selalu mengabaikan kelebihan mereka ini. Tak hanya orang tua yang gagal paham, karena lembaga pendidikan seringkali abai terhadap prestasi anak didiknya.
Seolah-olah anak-anak yang berprestasi yang mendapatkan nilai 9 atau 10 pada mata pelajaran matematika. Tapi mereka kurang begitu respect ketika anak-anak didiknya memiliki kemampuan seni tari yang mumpuni, tarik suara yang juga tak dapat dianggap sebelah mata.
Semua adalah prestasi, semua adalah potensi. Tinggal orangtuanya dan lembaga pendidikan yang seharusnya memfasilitasi kecerdasan anak dalam bidang seni ini yang semestinya ditingkatkan. Bukan justru diabaikan lantaran dianggap tak berguna.
Inilah gambaran betapa kekeliruan yang seringkali kita lakukan selaku orang tua. Kita selalu menuntut anak memiliki nilai tertinggi di kelas dan mendapatkan rangking pertama, tapi kita lupa, abai bahwa ada potensi lain yang semestinya kita dukung perkembangannya.
Dan lebih dari itu, adalah sebuah kekeliruan, tatkala kita selalu memuja-muja nilai raport, tapi kita merendahkan aspek lain seperti kepercayaan diri. Karena akan terjadi ketimpangan tatkala sang anak cerdas secara logika, tapi mereka memiliki jiwa yang labil dan rendah diri. Mereka memiliki nilai raport yang baik, tapi perkembangan kepribadian mereka menjadi terhambat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H