Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sekolah (Tak) Harus Rangking 1?

22 Desember 2014   01:36 Diperbarui: 19 April 2018   06:21 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bahkan lebih dari itu, yang mengkhawatirkan adalah anak-anak yang jiwanya masih labil justru menjadi pribadi-pribadi penakut, rendah diri dan menutup diri lantaran kecewa karena prestasi yang diharapkan orang tuanya tak dapat ia pehuni. 

Tentu karena tak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Ada beberapa hal yang menonjol, tapi tak sedikit yang tenggelam.

Seandainya sang anak dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran, maka ada beberapa potensi yang justru tenggelam bersama ambisi dan kekerasan psikologis yang dialami sang anak. Seperti pula anak yang mengalami depresi lantaran mengikuti beberapa bimbel yang diwajibkan oleh orang tuanya.

Prestasi Tak Semata-mata Nilai Raport

Ada banyak hal yang terlupakan oleh kita selaku orang tuanya, bahwa kita menganggap prestasi anak semata-mata nilai raport yang harus di atas sembilan. Bahkan kalau perlu sepuluh untuk semua mata pelajaran. Tapi benarkah ini yang dimaksud dengan prestasi? Apakah kita pantas mengesampingkan prestasi lain yang juga menjadi potensi mereka?

Coba saja kita perhatikan, anak-anak kita seringkali memiliki ketrampilan dalam tarik suara, menari, melukis, berbicara, dan lain-lain tapi kita selalu mengabaikan kelebihan mereka ini. Tak hanya orang tua yang gagal paham, karena lembaga pendidikan seringkali abai terhadap prestasi anak didiknya.

Seolah-olah anak-anak yang berprestasi yang mendapatkan nilai 9 atau 10 pada mata pelajaran matematika. Tapi mereka kurang begitu respect ketika anak-anak didiknya memiliki kemampuan seni tari yang mumpuni, tarik suara yang juga tak dapat dianggap sebelah mata.

Semua adalah prestasi, semua adalah potensi. Tinggal orangtuanya dan lembaga pendidikan yang seharusnya memfasilitasi kecerdasan anak dalam bidang seni ini yang semestinya ditingkatkan. Bukan justru diabaikan lantaran dianggap tak berguna.

Inilah gambaran betapa kekeliruan yang seringkali kita lakukan selaku orang tua. Kita selalu menuntut anak memiliki nilai tertinggi di kelas dan mendapatkan rangking pertama, tapi kita lupa, abai bahwa ada potensi lain yang semestinya kita dukung perkembangannya.

Dan lebih dari itu, adalah sebuah kekeliruan, tatkala kita selalu memuja-muja nilai raport, tapi kita merendahkan aspek lain seperti kepercayaan diri. Karena akan terjadi ketimpangan tatkala sang anak cerdas secara logika, tapi mereka memiliki jiwa yang labil dan rendah diri. Mereka memiliki nilai raport yang baik, tapi perkembangan kepribadian mereka menjadi terhambat.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun