Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belajar Mencintai Jamu, Ala Bu Fathonah

30 Desember 2014   05:34 Diperbarui: 22 Oktober 2020   09:14 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14198669821911593837

Gambar : Sosok bu Fathonah yang bersemangat menjual jamu keliling kampung (doc. pribadi)"]

Pagi-pagi buta ba'da shalat subuh, ibu ini sudah mempersiapkan jamu-jamuan yang biasa beliau jual di sekeliling kampung di tempat tinggal saya Kelurahan Sumbersari, Metro Selatan, Kota Metro. 

Kira-kira kurang lebih lima tahun usaha jamunya ini digeluti. Di sore hari sudah mempersiapkan bahan-bahannya untuk kemudian di malam hari produksi jamu dilakukan. Sedangkan di pagi hari jamu sudah bisa dipasarkan.

Dengan sepeda ontel dan obrok khusus meletakkan beberapa botol jamu, beliau pantang putus asa menjajakan jamunya kepada pelanggan yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. 

Dialah bu Fathonah, seorang penjual jamu tradisional istri dari Kyai Sihabuddin. Tokoh kampung ini sekaligus imam masjid yang sudah cukup di kenal dan dihormati oleh masyarakat sekitar.

Dengan bahasa yang ramah beliau memasarkan jamunya, mulai dengan sedikit panggilan "Mbak, Ngresakne jamu mboten? 

Ketika beliau menawarkan jamunya kepada keluarga kami. Dan tak perlu menunggu lama, kami sekeluarga segera menghampiri untuk menikmati pahit dan manisnya jamu. Pahit untuk jamu temu lawak kunir asem, dan manis untuk jamu beras kencur yang biasanya dipakai sebagai penawar rasa pahit. 

Untuk anak-anak saya memilih jamu yang manis beras kencur untuk kesehatan pencernaan dan memudahkan buang angin karena pencegah perut kembung. Alhamdulillah berkat jamu ontel Bu Fathonah, kami merasakan manfaatnya. Apalagi anak-anak jarang sekali terkena penyakit masuk angin dan nafsu makan juga sangat baik.

Ibu Fatimah memang penjual jamu yang cukup telaten. Bahasanya yang digunakan memang halus, memakai bahasa jawa yang cukup sopan dengan dialek kromo inggel. Jadi ketika mendengar panggilan beliau, tak bisa menolak untuk membeli, selain karena sopan, tentu karena manfaat yang diberikan cukup manjur melawan serangan penyakit dan menjaga vitalitas fisik.

Lumayanlah, meski terlihat sederhana, tapi dalam sekali jualan beliau bisa meraup penghasilan lebih kurang 50 ribu rupiah. Sudah lumayan pendapatan segitu, dibandingkan dengan melamun dan tidak melakukan usaha apa-apa di tengah-tengah himpitan ekonomi. Apalagi dengan beraneka biaya yang cenderung meroket kegiatan tersebut dapat membantu kebutuhan harian. Dengan bersepeda ontel, beliau mencari penghasilan semampunya dan sekuatnya asalkan masih diberikan kesehatan.

Penjual jamu, seperti yang dilakukan oleh Ibu Fathonah memang cukup lama dilakukan rakyat Indonesia dari masa ke masa. Tak hanya bersepeda ontel, karena di antara mereka ada pula yang hanya bermodalkan tenggok kemudian digendong. Maka masyarakat menyebutkan penjual ini dengan mbok jamu gendong, lantaran ketika menjual, jamunya digendong. Meski digendong atau diontel memakai sepeda, jamu tetaplah warisan leluhur yang sepertinya tak akan punah, jika generasi penerus bangsa ini mau melestarikannya.

Beratnya usaha jamu di tengah-tengah jamu modern

Seperti apa yang di alami Bu Fathonah dan penjual jamu lainnya, tentu tak terlepas dari para pembeli atau pelanggan yang setia menanti jamunya datang. Meski kadangkala permintaan tak dapat dipenuhi lantaran bahan pembuatan jamu (umbi-umbian dan rempah-rempah) semakin langka juga harganya juga ikut melambung tinggi. 

Jadi para penjual jamu ini berusaha meyakinkan pembeli bahwa kualitas jamu tidak berubah tapi hanya dinaikkan sedikit. Cara ini lebih sportif dibandingkan mengurangi kualitas jamunya. 

Tentu jika kualitas jamu dikurangi atau justru dicampuri dengan bahan yang kurang baik, tentu hasilnya juga mengecewakan. Konsumen yang sudah terbiasa memperoleh manfaat dari jamu, akan merasakan kecewa jika kualitasnya justru menurun.

Kendala penjualan karena bahan yang merangkak naik, dipengaruhi oleh adanya jamu-jamu yang diproduksi secara modern dan harganya juga cenderung murah. Seperti contoh jamu tolak angin, dengan hanya 1.000-1.500 rupiah kita bisa menikmati jamunya. 

Ada pula jamu jenis jamu komplit biasanya di pasaran kisaran 2.000 sd 2.500 rupiah. tentu harganya sangat terjangkau untuk kalangan bawah. Tentu karena harga jamu modern ini murah, dampaknya jamu tradisional menjadi kalah bersaing, baik dari segi ekonomisnya juga terkait efektifitas dan efisiensi dalam penyajian.

Masih bersyukur saat ini-khususnya di kampung-kampung-para petani umbi (rimpang jahe, temulawak dan sejenisnya) masih banyak ditemukan, Jadi kebutuhan akan bahan utama jamu tidak terlalu sulit diperoleh. 

Namun demikian, kendalanya adalah tatkala saat ini semua bahan pangan naik, bahan baku jamu juga naik. Masih beruntung jika masih ada yang menjual. Coba kalau tidak ada, kan repot.

Semestinya dengan rasa cinta akan produk dalam negeri, pemerintah menggiatkan kembali petani yang khusus menanam bahan obat-obatan atau jamu tradisional. 

Selain mengadakan penyuluhan, juga tak kalah pentingnya adalah pemerintah bisa menampung hasil pertanian mereka sehingga harga-harga tersebut cenderung stabil. 

Sangat kontras untuk saat ini, para petani bahan jamu cenderung bersemangat tatkala menanam, seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak dll, tapi tatkala panen harganya justru turun drastis. karena kondisi ini banyak petani yang gulung tikar dan emoh menanam bahan jamu lagi.

Namun solusinya ketika jamu-jamu tradisional tak ingin terkubur oleh jamu modern tentu ada asas manfaat, para penjual jamu tradisional tetap mempertahankan kualitas dan harga dan tidak terpengaruh dengan beberapa oknum yang menjual bahan kimia obat yang sengaja dicampur ke dalam jamu tradisional. Karena kalau ini sampai terjadi, maka alamat jamu tradisional benar-benar terkubur di tanah sendiri. 

Bangsa Indonesia sebagai tuan rumah jamu justru akan menjadi penonton ketika jamu tradisional dipatenkan oleh negara lain. Seperti berita baru-baru ini di berbagai media bahwa Malaysia hendak mematenkan jamu tradisional. Mereka selalu memiliki inisiatif untuk melakukan yang terbaik terhadap hasil karya tradisional. Bagaimana dengan bangsa Indonesia? hehe

Usaha Bu Fathonah adalah sebuah potret perjuang dari desa yang mau mempertahankan tradisi leluhur dengan mau memproduksi dan menjual jamu tradisional. Berkat tangan dingin beliau, hasil karya anak bangsa ini tetap lestari dan tak terkubur oleh produk-produk obat-obatan modern yang lambat laun mengubur produk-produk lokal yang semestinya dijaga kelestariannya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun