Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Guru Bersertifikat Pendidik SLB, Seandainya Sertifikasi Dihapus

24 Januari 2015   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjadi guru profesional menurut saya bukan pekerjaan gampangan dan bukan pula pekerjaan yang rumitan, lantaran keduanya bisa berjalan beriring sejalan jika diniatkan karena beribadah kepada Tuhan. Tak hanya saya, guru-guru lain pun mungkin demikian. Mereka sudah ada yang sudah profesional menjadi guru meskipun statusnya masih honor dengan mengelola kelas hingga 30 siswa.

Dan saya pernah mengalami menjadi guru kelas SD, sedangkan guru yang seharusnya memangku kelas tersebut justru memberikan tugasnya kepada saya dengan honor 150 ribu. Saya mau menerimanya lantaran karena saat itu penghasilan saya memang dari honor di SD. Saat itu dalam hati saya bergumam, "Enak bener ya guru PNS, gajinya utuh pekerjaan diberikan pada guru honorer?.

Ada juga guru yang benar-benar sudah profesional, lantaran status mereka sudah pegawai negeri sipil. Cap profesional "seharusnya" sudah ada dalam diri mereka. Mereka mengajar dan mendidik bukan karena persoalan uang semata. Tapi, mereka mengajar karena merasa sudah pernah diajar oleh guru-guru mereka terdahulu jadi amat wajib menyampaikan kembali ilmu yang telah diterimanya. Dan mereka memang seharusnya turut mendidik, lantaran mendidik adalah tututan yang melekat pada setiap insan, darimanapun mereka berasal.

Baik pria maupun wanita, tua ataupun muda, miskin atau kaya, semuanya menyandang predikat pendidik "guru" secara tidak langsung meski mereka tidak pernah mendapatkan SK PNS dan tidak mendapatkan gaji dari pemerintah sekalipun.

Seperti yang saya niatkan sedari awal saya menjadi guru honorer di MTs, MA, SD maupun SLB. Semua saya jalani dengan ikhlas meski gaji saya waktu itu 50 ribu rupiah. Pada saat itu saya sudah menikah dan istri saya tengah hamil. Saya bekerja menjadi guru honorer lantaran merasa tertuntut untuk mengamalkan ilmu meski hanya secuil. Karena saya selalu ingat pesan Rasulullah "sampaikanlah olehmu  dariku (Nabi) meski hanya satu ayat. Makna satu ayat menurut ahli tafsir bermakna apapun yang diajarkan dalam kitab suci hendaknya disampaikan kepada orang lain. Meskipun bentuknya bukan hanya ilmu agama, ilmu sosial, eksakta maupun ilmu-ilmu lain yang bermanfaat semestinya disampaikan kepada orang lain. Semua ini dihukumi wajib.

Berdasarkan pertimbangan kewajiban orang yang pernah diajar, dididik dan dilatih inilah, saya mulai mengerti betapa mulianya menjadi guru. Meskipun menjadi guru harus profesional, tapi menjadi guru merupakan sebuah pekerjaan yang membuat kebanggan tersendiri. Saya belajar ikhlas meskipun gaji saya pertama kali honorer hanya 50 ribu rupiah. Saya menyukuri segala nikmat ilmu dan rezeki meskipun sedikit. Bagaimana saya harus memenuhi kebutuhan keluarga saya? Tentu saya harus pandai-pandai mencari penghasilan lain yang halal agar panci dan penggorengan tidak terguling.

Sekarang? Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semua berubah, saya sudah diberikan rezeki lebih karena sudah berstatus pegawai negeri. Meskipun sampai saat inipun kehidupan kami masih biasa-biasa saja. Menikmati hidup ala kadarnya. Seberapa gaji yang didapat selalu disyukuri. Jika setiap bulan gaji habis, kami harus berusaha mencari penghasilan lain. Bertani menanam padi adalah pilihan saya waktu itu.

Semua pekerjaan dilakoni dengan rasa syukur. Tidak mengeluh dan merasa bahagia karena jerih payah karena mau mengabdi menjadi honorer berbuah manis. Meskipun ketika saya bekerja, ternyata pekerjaan saya tidak sesuai dengan ijazah yang saya miliki. Awalnya stress, frustasi dan sederet penyesalan kenapa saya mau menjadi guru SLB, padahal kualifikasi saya guru agama Islam. Saya cukup bingung antara meneruskan atau berpindah ke sekolah lain.

Tapi, setelah melalui perenungan yang panjang, saya mantapkan diri untuk tetap menjadi guru SLB, meskipun saya harus belajar lagi dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Alhamdulillah semakin lama saya merasa mampu menjadi guru bagi anak-anak difable. Saya merasa kuat untuk menjalani tugas saya.

Setelah bertahun-tahun saya lakoni menjadi honorer dan diangkat resmi sebagai pelayan masyarakat, ternyata presiden SBY memikirkan gaji para guru ini agar meningkat dengan tunjangan sertifikasi. Dan sekali lagi, alhamdulillah meskipun saya belum lama diangkat menjadi PNS tapi karena masa kerja honorer cukup lama, maka saya bisa dimasukkan menjadi salah satu guru yang berhak mengikuti diklat profesi tersebut. Kebetulan penyelenggaranya adalah Universitas Lampung di bawah pengawasan DitPLB.

Dan alhamdulillah saya bisa lulus dengan nilai terbaik di kelas saya. Dengan demikian, saya sudah merasa saya siap menjadi guru profesional di sekolah yang saat ini saya mengabdi.

Kenikmatan dan kebahagiaan mendapatkan gaji tambahan itu tidak berlangsung lama, karena ijazah saya dipersoalkan dan dianggap tidak linier. Saya berontak, kenapa tidak dari dulu ijazah dipertanyakan, dan kenapa tidak dari awal pengangkatan saya dipindahkan ke tempat yang lebih pantas. Seharusnya pemerintah daerah memindahkan saya ke sekolah umum agar bisa menjadi guru Agama Islam.

Saya tetap kurang begitu menerima kebijakan yang terus berubah ini. Tapi semua hak pemerintah, karena saya bekerja pun yang mengangkat juga pemerintah. Seandainya saya akan dimutasi sesuai ijazah, saya pun harus menerima dengan rasa syukur. Mungkin itulah keputusan terbaik yang mesti saya dapatkan.

Bagaimana dengan tunjangan sertifikasi? Nah, akhir-akhir ini tunjangan sertifikasi inipun menjadi perdebatan yang panjang, karena tidak linier saya harus rela kehilangan tunjangan itu, menurut beberapa artikel dan berita yang beredar. Padahal status saya adalah guru bersertifikat, jadi status saya lebih pantas dari guru PLB yang sejatinya belum diuji secara khusus dalam pelatihan profesi guru. Jadi amat tak patut, sertifikat yang sudah didapatkan justru dipertanyakan setelah dua tahun berjalan. Ada apa ini? Apakah perguruan tinggi dan kementrian pendidikan yang menyelenggarakan juga dianggap tidak layak? Entahlah.

Yang pasti, apapun risikonya, saya dan keluarga, dan mungkin guru-guru lain yang saat ini terancam sertifikasinya dicabut, pun bisa berontak, dan jika tidak mempan maka kami pun hanya bisa pasrah dengan keputusan pemerintah. Kami harus bersiap-siap untuk tidak menerima lagi dana sertifikasi itu.

Bagaimanapun juga Presiden SBY kala itu sudah beri'tikad baik ingin membantu memberikan tambahan penghasilan kepada guru-guru. Nah jika Presiden Jokowi hendak mencabut sertifikasi dengan alasan harus linier dan alasan-alasan lain yang tidak kami pahami, maka saya selaku guru SLB siap untuk mendapatkan konsekuensi tersebut.

Jika sertifikasi dihapus, Pemerintah harus adil

Keputusan pemutusan dan pencabutan tunjangan sertifikasi seyogyanya diperlakukan secara merata. Tidak hanya persoalan tunjangan, tapi berdasarkan linieritas pegawai seharusnya ditegakkan. Karena sejauh ini para pegawai di pemerintahan, baik struktural maupun fungsional seperti terjadi kesenjangan. Tentu berharap keputusan itu ditegakkan secara adil. Jangan terjadi perlakuan kurang adil dengan membedakan status seseorang.

Jika suatu instansi misalnya tidak sesuai bidang pendidikannya, semestinya saat ini pun harus dibenahi. Dampaknya akan ada ribuan pegawai pemerintah yang harus dimutasi karena dianggap kurang layak. Saya sepakat untuk ini. Jadi yang bekerja di instansi manapun sesuai dengan ijazahnya. Dan seandainya sertifikasi dicabut, pun semestinya mempertimbangkan besaran penghasilan para guru pegawai.

Selama ini memang pegawai struktural dianggap lebih menjanjikan karena tunjangan mereka lebih tinggi dari pegawai fungsional. Tapi tatkala guru mendapatkan sertifikasi ternyata para pegawai struktural justru terlihat kurang respek. Kalau boleh dibilang cemburu. Ini berdampak pada pelayanan kepada guru-guru kadang setengah hati. Semoga saja hal ini tidak benar-benar terjadi.

Sebagai pegawai pemerintah, semua berhak mengabdi dengan sepenuh hati, tapi perhatian pemerintah pula yang membuat para pegawai ini bekerja dengan seoptimal mungkin.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun