Mohon tunggu...
Anshar Daud
Anshar Daud Mohon Tunggu... Mahasiswa S3 Manajemen Pemasaran Undip Semarang -

Anshar Daud, CPM(A) adalah praktisi pemasaran dalam industri telekomunikasi. Ia merupakan anggota aktif IMA (Indonesia Marketing Association) dan IMARC (Indonesian Marketing Academy). Saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa S3 Bidang Pemasaran Univ. Diponegoro Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kedikdayaan Konsumen Gratis

13 Januari 2016   06:25 Diperbarui: 13 Januari 2016   07:57 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Siapapun yang pernah belajar pemasaran tentu kenal dengan istilah bauran pemasaran (marketing mix). Sebutan tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Neil Borden pada tahun 1953 ketika Ia menjabat sebagai President of Amerika Marketing Association (AMA). Kemudian pada tahun 1960, Jerome McCharty menawarkan konsep 4P sebagai elemen dari marketing mix, yaitu Product, Price, Promotion dan Place. Kedua nama tersebut tidak begitu familiar dengan kebanyakan praktisi pemasaran, justru nama Philip Kotler jauh lebih akrab dengan mereka dibanding dengan Borden dan McCharty. Fakta itu tidak aneh, karena memang sebagian besar buku-buku teks pemasaran yang digunakan di Indonesia ditulis oleh Philip Kotler, jadi wajar jika Beliau jauh lebih populer.

Selama puluhan tahun, mayoritas pemasar dalam berbagai level (dari Supervisor, Manager, Senior Manager hingga Direksi) menjadikan marketing mix sebagai magic tools dalam mengawal kesuksesan mereknya. Produk dan harga menjadi kombinasi media yang lazim digunakan untuk melakukan penawaran kepada target konsumen. Ibarat kata ada rupa ada harga, jika kualitas barangnya tinggi maka harganya boleh mahal dan sebaliknya bila mutunya rendah tentu saja harganya juga lebih murah. Jadi nominal harga berkorelasi langsung dengan tingkat kualitas produk. Logika ini kemudian seperti sudah menjadi suatu normalitas bagi konsumen dan produsen, sehingga harga menjadi ukuran nilai dan media pertukaran dan transaksi bagi pihak-pihak terkait.

Pandangan bahwa segala sesuatu punya harga pada dasarnya benar dan telah menjadi hukum ekonomi selama ratusan tahun yang lampau hingga saat ini. Meskipun begitu, kenyataan juga membuktikan tidak semua barang dan atau jasa yang dikonsumsi manusia sehari-hari mutlak diganjar bayaran dengan nominal tertentu. Sepanjang hari, puluhan station radio dan televisi menyajikan sejumlah acara mulai dari berita, talkshow, live event, siaran tunda, tayangan film hingga pesta dangdut, seluruhnya dapat dinikmati oleh jutaan orang tanpa dibebani pungutan biaya.

Contoh produk gratis lain yang relatif mudah ditemukan adalah layanan perpustakaan kampus / daerah / nasional, koneksi wifi di area publik, hotel, kafe, restoran dan warkop, penyediaan air kemasan di counter-counter pelayanan, maupun welcome drink dan koran untuk tamu hotel. Semua produk gratis yang telah disebutkan bukan sesuatu yang baru, sudah ada sejak lama dan lazim praktekkan pada perusahaan-perusahaan brick and mortar. Secara ril barang dan jasa yang diterima oleh konsumen tidak berbayar (no charge atau free), karena biayanya ditanggung oleh pihak lain melalui mekanisme subsidi silang langsung (direct cross subsidies, Free #1 dari Chris Anderson). Misalnya pada kasus siaran radio dan TV di atas, biaya operasionalnya disubsidi dari pendapatan iklan yang diterima pengelola.

Kebangkitan industri dotcom paska mengalami guncangan (bubble) tahun 1999-2001 memberi banyak nuansa baru bagi sejumlah digital enterpreneur dan pelaku bisnis start-up. Dengan intuisi dan visi yang lebih tajam, mereka mencoba melepaskan diri dari konsep ekonomi tradisional yang berbasis transaksi menuju ke sistem komunal. Pada ekonomi transaksional, hubungan produsen dan konsumen bersifat vertikal dan asimetris, dimana bergaining power produsen selalu lebih kuat dibanding konsumen. Calon konsumen selalu diiming-imingi beragam program seperti diskon, promo, voucher dan lain-lain agar mau jadi pelanggan. Setelah jadi pelanggan, mereka terus dieksploitasi untuk meningkatkan keuntungan produsen melalui jurus cross selling, up selling, trade-off, bundling dan seterusnya. Sementara dalam sistem komunal, kedudukan produsen dan konsumen adalah sejajar / setara (horisontal) dan simetris. Dengan demikian, maka fondasi relasinya tidak lagi sebatas transaksi, tetapi meningkat menjadi value transfer. Proses transfer tersebut berlangsung dalam wadah komunitas yang mempertemukan dan menyatukan keduanya, sehingga terjalin intimacy dan interaksi bermotif take and give dengan output yang saling menguntungkan (win-win solution).

Komunitisasi dalam media sosial seperti Facebook dan lain-lain pada hakekatnya hanya memigrasikan masyarakat citizen (offline) menjadi warga netizen (online) dengan mengeleminasi kendala waktu, demografi dan geografi. Meleburnya netizen menjadi satu komunitas global tanpa sekat usia, suku/ras, agama, pendidikan, bangsa dan sejenisnya merupakan awal dari demokratisasi dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan HAM (hak asasi manusia). Peningkatan jumlah pengguna jejaring sosial yang tumbuh secara eksponensial dari tahun ke tahun tidak dapat dipisahkan dari model bisnis gratis (really free / no price) yang diterapkan oleh mayoritas pengelolanya. Bila saja mereka memakai pendekatan marketing mix dan menarik pungutan dengan nominal tertentu, maka pertambahan user-nya tentu akan cenderung lamban dan linier.

Eksistensi Facebook, Google dan kawan-kawan merevolusi konsep pricing dari jasa berbayar (paid service) menjadi layanan gratis (unpaid service), sekaligus menciptakan pelanggan kategori baru, yaitu pelanggan tidak berbayar (free customer / users). Dulu free customer hanya ditemukan pada situasi tertentu, misalnya event promo, launching atau free trial / sample product. Namun belakangan ini pada lanskap sosial media, free users merupakan sebuah normalitas baru dan perannya jauh lebih penting daripada paid users.

Dalam konteks sosial media, penyedia platform (Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain) dapat dipandang sebagai produsen yang menyuplai produk berupa aplikasi jejaring sosial. Sedangkan netizen adalah konsumen (users) dari jasa aplikasi dimaksud sekaligus sebagai pihak kedua. Karena benefit yang dipertukarkan oleh kedua belah pihak bukan moneter, melainkan transfer nilai maka untuk membiayai operasional pihak pertama, mereka mengundang pihak ketiga, yaitu perusahaan pemasang iklan (advertisers).

Peran utama yang dijalankan oleh pemilik platform sosial media dalam komunitas netizen adalah sebagai organiser (community organizer) yang mempertemukan users, advertisers dan content developers serta mengelola aktifas para pihak sehingga menguntungkan bagi semuanya. Sebagai Community Organizer (CO), pihak pertama menyediakan ruang (space) dan menu periklanan kepada pihak ketiga untuk menayangkan iklannya kepada pihak kedua. Setiap klik iklan yang dilakukan oleh pihak kedua akan memberikan tambahan pendapatan (cash inflow) bagi pihak pertama, pada saat yang sama pihak ketiga mendapat order penjualan atau minimal peningkatan terhadap brand awareness produknya. Metode penciptaan pendapatan (monetizing) seperti ini disebut sebagai advertising support business atau beyond advertising business model.

Pada model tersebut, komunitas netizen di monetize melalui proses selling users to advertisers. Pengertian selling users bukan pada makna sebenarnya seperti pada kasus jual beli komoditas, tetapi menunjukkan bahwa kerumunan (crowd) netizen dalam jumlah yang sangat besar (ratusan juta hingga miliaran akun) memiliki potensi untuk menghasilkan uang (income generator) dengan nominal yang berlipat ganda dibanding pendekatan pricing tradisional. Sebagai gambaran tentang masifnya cash flow  yang dihasilkan oleh bisnis model ini, Google melaporkan penghasilan iklannya di triwulan II tahun 2015 sebesar Rp 208 Triliun (sumber : detik Finance), sementara Facebook di periode yang sama membukukan pendapatan  sebanyak Rp 54,48 Triliun (Sumber : CNN Indonesia).

Sosial media menikmati pertumbuhan cash flow secara eksponensial berkat terobosan baru yang mereka lakukan dengan mengeleminasi variabel harga (price) dari konsep marketing mix tradisional. Jika perusahaan brick and mortar menganut pendekatan certain price for any product, maka bagi bisnis digital harga adalah more than cheaper : no price / no charge alias gratis (free). Transformasi konsep pricing ini memunculkan kategori pelanggan baru, yakni pelanggan gratis (free customer) dan mereduksi paham pelanggan berbayar (paid customer) yang sudah berjaya selama beberapa dekade. Bisnis model Free hakekatnya bukan hal yang baru, konsepnya sudah disampaikan oleh Chris Anderson tahun 2009.

Pola bisnis yang mengungkit komunitas netizen menjadi income generator disebutnya sebagai pasar pihak ketiga (three party market, Free #2). Pihak pertama memanfaatkan komunitas pihak kedua untuk dijadikan sebagai target iklan oleh pihak ketiga. Meskipun dieksploitasi oleh pihak pertama, pihak kedua sama sekali tidak dirugikan karena mereka menerima kompensasi berupa layanan aplikasi gratis. Begitu pula dengan pihak ketiga, mereka membayar pihak pertama secara proporsional sesuai jumlah klik (view) dari iklan yang ditayangkan. Kalaupun klik (view) tidak membuahkan sales, namun like, sharing atau retwit yang dilakukan oleh pihak kedua meningkatkan efek buzz / viral dan WOM (word of mouth)  dari merek yang bersangkutan.

Bentuk relasi horinsontal yang terjalin dalam platform sosial media membuka ruang dan peluang bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam proses penciptaan nilai. Fasilitas User Generated Content (UGC) yang menjadi karakter utama teknologi Web 2.0 menyebabkan setiap netizen menjadi publisher content bagi dirinya sendiri maupun anggota komunitas lainnya, sehingga jejaring sosial setiap hari dibanjiri beragam konten berupa pesan teks, foto dan video. Seluruh aliran informasi ini kemudian di indeks oleh mesin pencari seperti Google, Yahoo maupun Bing.

Kumpulan milyaran file digital tersebut lalu memunculkan sebuah bisnis baru yang disebut sebagai Big Data dengan nilai finansial ribuan triliun dolar. Kolaborasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam ekosistem jejaring sosial mendorong proses value co-creation yang mendistribusikan mutual benefit bagi semua pihak. Sosial media mampu merealisasikan teori simbiose mutualisme melalui interaksi yang bersifat take and give sehingga setiap anggota komunitas memperoleh nilai yang proporsional. Kondisi ini membuktikan bahwa horisontalisasi dapat meniadakan eksklusivitas dan monopoli serta melahirkan demokratisasi ekonomi yang berujung pada kemenangan kolektif dengan output more than win-win solution : everybody win and happy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun