Oleh: Lalita*
"Lihat. Aku mengutus kamu, seperti domba di tengah-tengah serigala."
-Yesus.
Malangnya nasib Yesus Kristus dalam nasib pengembaraannya. Pada akhir hayat sang nabi, Yesus terpaksa harus melawan penindasan terhadap dirinya seorang diri. Petrus, murid yang paling dipercaya oleh Yesus dan Yohanes sebagai yang dikasihi-Nya menjadi diam ketika Sang Rabi pada akhirnya menjadi sosok yang terbuang, dipukul dan ditendang sampai berakhir di kayu salib.
Sebenarnya, tak perlu jauh-jauh kita berbicara mengenai penindasan atas sesama manusia. Sukarno, bila kita ingat, pada akhir hayatnya, sang proklamator harus berjuang sendirian---sakit-sakitan---sampai mati, ketika kawan-kawannya kabur entah ke mana sembari membawa semboyan 'Persahabatan dan Sesama Kawan Perjuangan' yang semakin meredup, seiring berhembusnya api terakhir Sukarno sebagai Sang Penyambung Lidah Rakyat. Pun kita tak boleh lupa kepada Tan Malaka, yang pada saat ini, suaranya terdengar jauh, jauh dan jauh, namun menorehkan ironi bagi kita yang membaca biografinya, yang penuh dengan lika-liku dengan bagian yang paling menarik: berjuang, terbentur dan terbentuk sendirian.
Bercermin pada apa yang pernah terjadi kepada Yesus, Sukarno dan Tan Malaka, tulisan ini akhirnya dibuat dan diharapkan sampai pada setiap hati pembaca semuanya; bahwa sebenarnya anti-penindasan adalah suatu omong kosong belaka. Opini tersebut bukanlah dibangun tanpa alasan yang jelas, melainkan dibangun oleh karena berbagai pengalaman yang terbentuk dari suatu organisasi yang pernah saya ikuti dan menunjukan kepada saya bahwa opini yang telah saya tulis di atas bukanlah tanpa dasar. Argumentasi ini muncul setelah satu tahun saya menjalani perjalanan sebagai seorang anggota organisasi gerakan yang selama ini mendengung-dengungkan anti penindasan sebagai semboyannya. Tiap-tiap hari bahkan tiap-tiap detik, kami berbicara seputar penindasan dan penghisapan, eksploitasi atas manusia dan kemiskinan. Kami selalu berbicara tentang perlawanan terhadap ketidak-adilan, tentang keangkuhan korporat -korporat terhadap 'mereka yang dianggap tertindas dan ditinggalkan.'
Melalui segala bentuk percakapan dan diskusi yang pernah kami lewati, saya sendiri pun sebenarnya tengah membentuk sebuah kontemplasi; dengan melihat berbagai peristiwa dan fenomena di sekitar saya, di mana penindasan sendiri sebenarnya terjadi di dalam tubuh setiap orang yang duduk bersama-sama dengan saya dan sibuk menuangkan pikiran mereka. Bagaimana demikian? Sebelum dijelaskan, maka perlu diketahui bahwa kursi jabatan merupakan hal yang sangat penting di dalam organisasi saya. Sebenarnya, bukan hanya kursi jabatan saja yang penting di dalam organisasi ini, tetapi juga pengakuan dan kehormatan. Argumentasi tersebut bukanlah semata-mata dibentuk dari alasan subjektif. Saya membangunnya dari berbagai macam fenomena yang terjadi dan selalu saya saksikan sendiri. Saya menyaksikan bagaimana kawan-kawan saya mengkhianati persahabatan demi menduduki singgasana kekuasaan, di mana mereka menjadi buta-mendadak, menyerang siapapun yang tak sepaham dengan mereka dan mendadak menjadi sosok penindas itu sendiri.
Di dalam organisasi ini, saya menyadari bahwa kami sebenarnya tak pernah selesai dengan pembahasan kami mengenai penindasan, karena kami pun sebenarnya bagian dari sang penindas itu sendiri. Secara tak sadar kami telah mengadopsi ilmu yang diwariskan oleh para korporat-korporat yang secara munafik kami tampik adanya dan tak berani untuk mengakuinya. Ketika diskusi anti penindasan selesai, pada akhirnya kami berbicara mengenai basis politik untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Barangsiapa tak memiliki basis di dalam organisasi atau memutuskan untuk tidak berpihak pada basis siapapun, maka ia hanya tampil sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bermanfaat bahkan tiada lebih berharga dari sekedar sampah. Ketika menulis ini, saya tertawa. Ini menjadi sebuah ironi. Di mana kami berbicara anti penindasan, tetapi kami membuang orang-orang yang kami anggap tiada berguna bagi kepentingan kami.
Ketika tulisan ini dimuat dalam kolom wordpress saya, saya meyakini bahwa dari setiap orang yang berseberangan dari saya mengatakan: kami sudah memberi mereka makan waktu lapar, sudah memberi mereka obat waktu sakit dan kami memberi tumpangan pada orang yang mengetuk pintu, lalu apa masalahnya?
Maka pertanyaan itu akan terdengar sangat menggelikan.
Maksudnya, apa beda kita dari kapitalis---yang katanya harus kita hancurkan---ketika kita berseru-seru memberi makan tapi masih berada dalam pusaran kepentingan dengan memanfaatkan kaum-kaum yang mengharapkan makan? Memberi makan di dalam organisasi ini, yang saya ketahui, sama dengan berbicara mengenai untung dan rugi. Apa yang tampak bukanlah suatu benda yang berwujud, melainkan kebaikan yang nilainya ditentukan masing-masing oleh setiap orang yang menerimanya.
Mari kita pikir sejenak sebagai bagian dari organisasi gerakan yang berpihak pada rakyat; ketika berbicara tentang memberi makan, terbersitkah di benak kita bahwa mereka adalah manusia yang pada hakikatnya membutuhkan makan, bukan sebagai suatu komoditas yang barangkali bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai kepentingan? Masih terbersitkah di benak kita bahwa kita memberi mereka tempat tinggal sebagai manusia yang memang membutuhkan perlindungan, bukan sebagai suatu unsur yang mampu menguatkan barisan kita terhadap suatu jabatan organisasi?
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menjawab kedua pertanyaan di atas. Jika kita sanggup menjawabnya dengan seruan, "Ya!" dalam waktu singkat, maka saya yakin kita belum benar-benar menilik isi hati kita yang sedalam-dalamnya. Jika kita diam, maka biarlah ucapan "Saya memberi mereka makan, tanpa iming-iming mereka adalah komoditas," itu merasuk dalam benak kita, menjadi suatu renungan yang barangkali akan menuntun kita kepada organisasi yang berbasis sosialis-sejati; tidak ada kepentingan. Tidak ada saling menjatuhkan. Semua saling memberi; di mana yang berkecukupan memberi yang kekurangan, pun yang kekurangan memberi apa yang si berkecukupan tak punya.
Bila boleh saya menghembuskan nafas panjang, maka saat ini saya sedang menghembuskan nafas panjang, meskipun tak sampai lega. Seingin-inginnya saya ingin terbang sebagai sang elang; sendirian dan bebas-sebebasnya!
25 Agustus 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI