Mentawai. Enam tahun pasca gempa bumi dan tsunami yang melanda Kepulauan Mentawai. Desa Bosua, Desa yang berada di paling ujung pulau Sipora, merupakan salah satu desa yang ikut diterjang oleh gelombang laut tsunami pada malam hari tanggal 26 October tahun 2010 yang lalu. Warga Desa menitikan air mata untuk sanak saudara yang ikut menjadi korban. Belajar dari pengalaman yang diberikan oleh alam, perlahan masyarakat mulai bangkit, dan menata kehidupan yang lebih baik.
Ivent surfing international hampir menjadi ajang tahunan di Desa Bosua. Ombak besar dan pantai pasir putih menjadi magnet utama bagi pecinta pantai untuk datang ke Bosua. Disini, ada beberapa titik ombak untuk berselancar, mulai dari ombak untuk pemula yang ingin belajar, sampai ombak kelas dunia yang hanya bisa di mainkan oleh professional Surfer. Penginapan-penginapan atau Homestay mulai tumbuh bak jamur. Pemburu ombak mana yang tidak akan datang untuk berkunjung, sajian pasir putih terhampar hampir di sepanjang bibir pantai.
Pada roda perekonomian masyarakat, cengkeh, kopra dan lobster, adalah beberapa contoh hasil ladang dan laut yang ada di Desa Bosua. Dengan potensi dan hasil alam yang ada, sepertinya hanya menunggu waktu, Desa ini kelak akan di juluki Desa Wisata Internasional.
Banyak alternative perjalanan untuk menuju Desa Bosua, jika kita berangkat dari pelabuhan muara Padang, perjalan laut lebih kurang 3 jam dengan kapal cepat akan mengantar kita kedermaga Sioban. Di Sioban, boat carter atau motor ojek pengantar banyak tersedia untuk mengantar ke Desa Bosua. Pilihan transportasi bisa disesuaikan dengan budget pengunjung. Alternatife lain, jika berangkat dari Ibukota kabupaten Tuapeijat, kapal antar Pulau yang disediakan oleh pemda Mentawai juga cukup ‘ramah’ dikantong. Tips tambahan, Pastikan anda membawa pakian renang jika berkunjung ke Desa Bosua, rugu tidak menyebur kelaut Bosua.
Peselancar Pilih Mentawai Daripada Bali
Tim beserta rekanya, terlihat begitu santai dan benar-benar menikmati pemandangan laut selama perjalanan Padang ke Mentawai. “Ini adalah perjalan pertama saya ke Indonesia, dan saya lebih memilih Mentawai untuk berlibur ketimbang Bali. Saya akan menghabiskan waktu sampai satu minggu kedepan,” ucapnya pada Senin (13/3).
Meskipun saat ini Pemda Kepulauan Mentawai melakukan penarikan retribusi kepada tamu-tamu selancar, terbukti ini tidak mempengaruhi minat para peselancar untuk berkunjung dan merasakan sensasi ombak Mentawai yang digadang-gadang sebagi nomor dua terbaik setelah ombak Hawaii. Dimintai pendapat mengenai adanya retribusi khusus untuk tamu-tamu selancar/surfing ini, Tim menyatakan Ia secara pribadi sama sekali tidak keberatan dengan adanya retribusi ini. Selama itu bermanfaat dan mendatangkan keuntungan bagi warga lokal dan Mentawai, sepertinya para tamu tidak akan keberatan.
“Retribusi khusus dari peselancar, kedepan akan digunakan untuk pengembangan kepariwisataan di Kepulauan Mentawai. Salah satu contohnya, pengembangan desa wisata di Desa Mapadegat, Sipora, yang dilakukan tahun ini. Salah satu sumber pendanaanya berasal dari retribusi tersebut. Penarikan retribusi juga digunakan untuk sosialisasi dan pemberdayaan kelompok-kelompok sadar wisata kepada masyarakat yang berada di titik-titik selancar. Sadar wisata memang menjadi agenda utama,” ucap Desti Seminora selaku Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Mentawai.
Kabupaten Kepulauan Mentawai memang sangat familiar di dunia internasional, khusunya bagi para peselancar. Ratusan spot untuk berselancar, menjadi magnet tersendiri. Selain itu, kekayaan bawah laut, pesisir pantainya nan putih, ditambah tradisi masyarakat yang masih bertahan hingga saat ini, memang menjadi perpaduan sempurna untuk didatangi. Bagi traveler yang penasaran, silahkan ataur jadwal untuk berkunjung ke Mentawai. Malainge Mentawai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H