Malam sebelum ke Riangpuho, kami sudah sepakat untuk berangkat pagi-pagi buta dari Kota Larantuka. Selain jaraknya yang jauh atau kurang lebih 54,8Km, kondisi jalan yang rusak menjadi catatan khusus sahabat saya Amber Kabelen untuk harus konsisten dengan waktu. "Kalau kita lari cepat, bisa 3 jam, tetapi jika pelan, waktu tempuh kita bisa 4 jam", kata Amber kala itu.
Hari pertama di Riangpuho, bertemu dengan teman-teman guru di Riangpuho, juga warga di Riangpuho, saya langsung "mengeluh". Mengeluh soal jalan yang rusak yang kami lewati pagi tadi. Bagaimana tidak, kondisi jalan mulai dari Waimana 1 Desa Watotutu, Waimana II Halakodanuan (Kecamatan Ile Mandiri), Dusun Welo, Desa Painapang hingga sampai ke Cabang menuju ke Balukherin (Kecamatan Lewolema) kondisinya rusak berat.
Lubang menganga di sepanjang jalan.Pecahan aspal, tumpukan batu dan kerikil bertebaran disisi kiri dan kanan jalan. Genangan air bak kolam tidak dapat dihindari.
Parahnya lagi, setelah melewati Ebak Desa Bandona, satu titik aspalpun tidak ditemukan. Hanya ada tanah dan batu. Kondisi jalan ini bertahan sampai ke Riangpuho.
Tidak hanya itu, Perusahan Listrik Negara (PLN), yang mesti dicicipi oleh seluruh rakyat Indonesia,, sepertinya ada pengecualian untuk warga Tanjung Bunga. Mulai dari Ebak Desa Bandona seterusnya, ke Tanjung Bunga Barat, dan Utara, PLN tidak dikenal.
Air....? Kami termasuk mengalami kondisi sulit di mana sebelum ke sekolah, harus mandi dulu di kali.Untuk minum, harus ambil di kali.Â
Sumber air yang kami manfaatkan saat itu adalah di Kali Hera, Desa Bahinga. Kurang lebih 3km dari Desa Waibao. Gambaran kondisi inilah, Â Tanjung bunga pada ditahun itu, disebut sebagai wilayah yang terlupakan.Â
Kami tidak kalah dengan kondisi ini. Bermodalkan handphone, Â kami memotret dan memosting di Facebook, kondisi keterbatasan yang kami alami di Kecamatan Tanjung Bunga. Tentang jalan, listrik dan air. Ini kami lakukan disetiap akhir pekan saat berkunjung ke Kota Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur.