Suku Lamaholot, adalah salah satu komunitas masyarakat yang terdapat di Flores Timur Daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor (masuk dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Lembata Lembata (Kabupaten Lembata). Semuanya berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lamaholot berasal dari dua (2) kata yakni Lama: kampung, Holot: bersambung. Sehingga Lamaholot diartikan sebagai kampung yang bersambung-sambung.
Hakikat ini, mempertegas bahwa Orang Lamaholot adalah Kakan Arin (Kakak beradik/bersaudara). Hayu Baya (Tidak ada batasan tanah antara satu kampung dengan kampung lainnya). Semua tanah, adalah milik bersama. Tanah Lamaholot. Ini merupakan rajutan kebersamaan yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan persaudaraan.
Baca juga : Toleransi sebagai Kunci Perdamaian
Atadiken (Manusia) yang lahir dari Rahim Lamaholot sungguh meyakini, setiap rejeki dan kemudahan dalam pekerjaan di mana saja, adalah berkat Lewotana (kampung halaman) dan peran leluhur nenek moyang.
Lewo tanah molo nage kame dore, ti pana akene todok, gawe akene walet (Kampung halaman jalan lebih dulu, baru kami ikut, supaya perjalanan kami tidak ada hambatan dan rintangan) Kame pana mai, seba wata piri tou, buku biliki teratu, balik maan gelekat lewo, gewayan tanah (Kami pergi mencari sesuap nasi, mencari ilmu pengetahuan, pulang kembali untuk mengaharumkan nama kampung halaman).Â
Ini menjadi doa setiap Orang Lamaholot saat berpergian. Doa yang menyelamatkan sekaligus memberi rejeki saat berada di tanah orang, atau di perantauan.
Baca juga : Pengembangan Sikap Toleransi pada AUD
Orang Lamaholot tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, hingga ke luar negeri. Mereka hadir dan ada dengan beragam profesi. Guru, dosen, PNS, polisi, tentara, dokter, perawat, bidan, pilot, nahkoda kapal, Doktor, Profesor, Iman, Haji, pejabat, politisi, buruh bangunan dan lain- lain. Pekerjaan dan pelayanan yang mereka emban menjadi bagian dari gelekat lewotana (mengarumkan kampung halaman).
Bentuk rasa syukur dan terima kasih Orang Lamaholot terhadap kampung halaman adalah dengan cara pulang kampung diakhir tahun. Hal ini sepertinya sudah menjadi tradisi. Bukan saja mereka yang ada di Indonesia.
Orang Lamaholot yang bekerja di Malaysia, Singapura, Filipina, Australia juga memilih pulang berlibur di kampung halaman. Hadir menyongsong tahun baru di tanah kelahirannya. Tanah tumpah darah!
Menginjakan kaki di Lewotana, menghirup bau tanah, makan makanan kampung, bertemu dengan orang-orang kampung, menjadi kerinduan setiap Anak Lewotana. Anak Lamaholot.
Duka lara, kesenjangan, ketidakadilan, intoleransi, yang dialami tanah di tanah perantauan, hilang seketika dan melebur dalam suka cita di kampung halaman.
Baca juga : Toleransi dalam pandangan Al-Qur'an
Senyum sumringah terpancar dari wajah anak-anak kampung yang lama di tanah rantau, melihat senyum polos anak-anak kampung, menikmati tegur sapa yang ikhlas, saling berbagi tanpa kalkulasi untung rugi, dan tali persatuan yang mengikat erat sesama anak kampung.
Terasa semuanya adalah bersaudara. Tidak ada pembeda yang miskin dan kaya, semua bahagia. Makan minum seadanya. Kaya akan persaudaraan, kekeluargaan dan persatuan.
Tidak ada yang saling mencurigai. Beda Agama? Leluhur telah mewariskan bagaimana hidup berdampingan tanpa permusuhan. Agama datang kemudian. Jauh sebelumnya adalah, keyakinan "taan kakan noo arin. Ake pewone geni" (Hidup berdampingan sebagai sesama saudara. Jangan saling membenci antara satu dengan yang lain).
Wujud kebersamaan Anak Lewotana baik yang ada di kampung halaman, maupun yang ada di perantauan adalah dengan makan bersama. Momentum ini yang ditunggu. Kesempatan ini yang dinanti.
Anak kecil, orang dewasa, tua muda, laki-laki atau perempuan dari semua agama tanpa kecuali, hadir dan melebur bersama dalam hajatan makan bersama. Menyukuri nikmat sepanjang tahun yang dilewati, dan mempersiapkan diri menyongsong tahun yang baru.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tidak pernah lewatkan dan tak akan pernah selamanya dilewatkan, liburan akhir tahun di kampung halaman. Karena berlibur sama artinya dengan menimba kekuatan baru.
Honihama, Desa Tuwagoetobi, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara. Itu kampung halaman saya. Tanah kelahiran. Saya mengakhiri dengan penuh syukur, Tahun 2018 dan menyambut dengan suka cita penuh harap tahun 2019 di kampung ini.
Pada momentum kebersamaan, berkumpulnya seluruh Anak Lewotana ini, kami mendapatkan petuah dari Tetua Adat, dan Orang Tua Lewotana. Tobo teit taan waha -waha. Kame si lewo tanah lodo, mio lau sina jawa, ekana. Peten ake glupa moo Lewotana (Tempat tinggal kita saat ini berbeda.
Kami di kampung halaman, dan kamu di tanah orang. Ingat, jangan lupa dengan kampung halaman). Kata-kata ini menjadi petuah, untuk setiap Anak Lamaholot, ingat akan kampung halaman, dan motivasi untuk menjadi pelayan yang baik saat berada dan bekerja di tanah orang.
Semua Anak Lewotana, mendapat pesan untuk membawa misi perdamaian, persatuan dan tolerasi kepada sesama saudara lain di mana saja ia berada. Melalui hewan yang dikurbankan, makan bersama, memberi kekuatan dan berkat kepada semua anak lewotana dalam melanjutkan pekerjaan dan karya di tanah perantauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H