Mohon tunggu...
Maksimus Abi
Maksimus Abi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Widya Sasana, Malang

Pernahkah kita melupakan kenanagan? Tetapi kita telah melupakan Tuhan!

Selanjutnya

Tutup

Book

Keutamaan-keutamaan Hidup Manusia

10 Oktober 2022   21:26 Diperbarui: 10 Oktober 2022   21:34 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerendahan Hati yang Palsu (A31-B6)

Orang yang hidup dalam kepalsuan akan mudah terbaca. Kepalsuan itu terletak pada rasa nikmat ketika mendengar pujian dari orang lain. Atau dapat dikatakan bahwa ada intensi untuk mencari perhatian orang lain. Orang akan selalu memandang dirinya lebih dari yang lain. Selalu merasa bangga dengan diri sendiri, dan merasa puas dengan pencapaian-pencapaian kecil. Orang yang menghidupi semnagat ini akan menutup diri dari kebaikan sesamanya. Kepalsuannya ialah selalu merasa diri paling hebat dan tidak mendengarkan intepretasi keliru dari orang lain mengenai tindakannya. Ia selalu memberi kesan pada orang bahwa dirinya jauh lebih unggul. Rendah hati palsu dapat menghinggapi setiap individu tanpa mengenal waktu dan alasan. Sebab, ketika seseorang mulai melepaskan diri dari kehendak Allah dengan segera tergelincir dalam kubangan kepalsuan. Orang demikian akan terlihat "suam-suam kuku" dengan maksud agar tidak terkesan buruk di mata orang lain. Ia tidak mau mengambil risiko dalam membela kebenaran. Hidupnya selalu dibayangi rasa takut untuk gagal. Dengan demikian, hidupnya  hanya mau mencari aman, atau istilahnya main aman saja.

Komentar

Dewasa ini, manusia hidup dalam bayang-bayang perubahan dunia yang tidak menentu. Situasi ini tentu tidak dapat disangkal bahwa akan membawa orang pada kepalsuan. Apabila orang hanya mau ikut arus, mudah saja untuk digiring kepada kepalsuan itu. Untuk itu, Paulus- Sang Rasul Para Bangsa-menunjukkan sikap kerendahan hati yang utuh dalam pelayanannya. Hal ini dikisahkan dalam Kisah Para Rasul. Terutama dalam pidato perpisahannya, ia merangkum segalanya dalam satu frase "rendah hati". Dikatakan, "Dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan" (Kis. 20:19). Itulah sikap dasar pelayanan Paulus. Semua yang lain mengalir dari sana. Memang benar demikian karena kerendahan hati adalah subur. Dalam bahasa Latin, rendah hati adalah humilis. Kata itu berhubungan dengan kata "humus", lapisan tanah yang paling subur.

Sebagai seorang rasul yang rendah hati, Paulus mempunyai penilaian benar terhadap diri sendiri. Ia menilai dirinya bahkan melalui kelemahan-kelemahan dan kegagalan. Hal ini tentu ingin membongkar mental "kepalsuan" yang kian merogoti hati manusia. Kepada orang Korintus, ia menulis, "... dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah" (1Kor. 15:8-9). Kelemahan dan kegagalan tidak membuat Paulus kecil hati atau menyalahkan dirinya sendiri. Sesudah mendapat banyak penderitaan, ia dapat berkata, "Hal itu terjadi supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri sendiri tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati" (2Kor. 1:8-9).

Kematangan Hidup Rohani (hlm. 55-82)

Spiritulitas daun kering menjadi sebuah permenungan hidup rohani. Kematangan hidup rohani bak daun kering yang jatuh ke tanah. Inilah tahap baru memulai peziarahan (menjadi-mencintai) yang merupakan anugerah berharga dari Allah. Spiritualitas merupakan sebuah peziarahan, perjalanan, dan peralihan menjadi-mencintai. Hidup rohani adalah relasiku dengan Tuhan dan sesamaku, yang keduanya mengandaikan aku berdamai dengan diri sendiri. Hidup rohani--dalam metafora daun kering---merupakan perkara "melepaskan". Gambaran ini mau menunjukkan bahwa manusia tidak berkuasa atas apa pun. Cahaya matahari yang "mematangkan" daun tersebut tiada lain adalah kuasa Tuhan yang mematangkan hidup manusia melalui berbagai liku kehidupan. Perjalanan "daun kering" adalah perjalanan iman atau perjalanan doa, membiarkan diri, berpasrah diri kepada "angin" yang diperintahkan Tuhan untuk menerbangkan dan menjatuhkannya ke tempat di mana Tuhan kehendaki. Saat daun mengering sesungguhnya identik dengan saat hidup manusia menyilahkan yang lain untuk masuk, memenuhi, dan menyempurnakannya. Betapa sering spiritualitas dimaknai selfish (untuk diri sendiri), yaitu dikelola sejauh untuk kenyamanan diri sendiri. Padahalnya ketika dimaknai lebih jauh, dalam maksud dirinya memasuki sebuah ketulusan untuk menumbuhkan sesamanya. Momen hidup rohani, daun kering terbang diterpa angin bukan momen menjelang ajal tetapi saatnya berserah diri pada penyelenggaraan Ilahi.

Komentar

     Kematangan hidup rohani tercapai hanya melalui suatu relasional antara aku dan Liyan, dalam peziarahan menuju Sang Cinta sendiri. Cinta adalah "itu" yang yang memampukan manusia untuk membangun hidup rohaninya. Pembangunan hidup rohani tidak terlepas dari relasi manusia (aku) dan liyan  (aku yang lain). Relasi ini menghantar aku dan liyan masuk dalam perjumpaan yang saling memberi diri, menyokong, dan membagi cinta.  Dalam cinta, aku dan Liyan  tidak tinggal diam tetapi menjadi manusia baru. Aku keluar dari zona nyaman diri sendiri dan melampaui kemampuanku. Di dalam cinta  aku melebur bagaikan dedaunan kering yang menghancurkan diri dan melebur menjadi tanah, tidak lenyap, tetapi memiliki kehadiran ntaya yang menyuburkan dan menumbuhkan. 

Kematangan rohani diandaikan aku sadar bahwa hidup yang dilakoni sekrang adalah kehidupan baru, menjadi manusia baru. Manusia baru antara aku dan liyan melebur dalam cinta yang menghidupkan. Liyan bukan sebagai eksistensi lain yang kehadirannya mengganggu. Justru ia hadir menjadi aku, bersama melangkah melampaui cinta akan diri sendiri. Cinta mengenal prinsip keselarasan. Artinya, "cinta kepada Tuhan" harus selaras dengan "cinta kepada sesama". Dalam frase harus selaras menjadi titik tekannya, sebab relasi antara aku dan Engkau (Tuhan) tidak bisa menganggap Liyan di luar jalur peziarahan. Cinta semacam ini memungkinkan relasi Aku dan Liyan memesona secara luar biasa. Relasi cinta ini mengungkapkan "cinta platonis", sebab cinta menjadi milik subjek-subjek yang berelasi. Dengan demikian , relasi ini membawa orang pada kematangan hidup rohani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun