Mohon tunggu...
Mochamad Makruf
Mochamad Makruf Mohon Tunggu... Editor - Freelance writer. Writing is my life since 1997 and published 5 books. One of them, Ekspedisi Buku Barisan 2011 cooperation with Komando Pasukan Khusus (Indonesia Special Forces of ARMY). Contact me: makrufmochamad2@gmail.com. Online news www.penaprestasi.com.

Freelance writer. Writing is my life since 1997 and published 5 books. One of them, Ekspedisi Buku Barisan 2011 cooperation with Komando Pasukan Khusus (Indonesia Special Forces of ARMY). Contact me: makrufmochamad2@gmail.com. Online news www.penaprestasi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tahun Ajaran Baru 2017-2018, Apakah Buku K13 Terlambat Lagi?

14 Maret 2017   07:21 Diperbarui: 4 April 2017   18:11 10345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Juli 2017, sudah memasuki tahun ajaran baru 2017-2018.  Bagaimana proses persiapan naskah dan distribusi buku K 13 oleh Kemendikbud? Apakah tetap ada keterlambatan seperti biasanya. Siswa pun harus menerima buku baru setelah sebulan atau dua bulan pelaksanaan pelajaran.

Kini pemerintah melalui Kemendikbud tengah proses menuntaskan proses pencapaian implementasi Kurikulum 2013, 100%. Targernya 100% sekolah K 13  pada 2019. Capaian target ini sendiri molor empat tahun. Itu karena seharusnya implementasi K13 saat era Mendiknas M Nuh harus tuntas pada 2015.

Ganti Menteri di Era Anies Baswedan, capaian target molor jadi  2019. Saat itu, Anies yang sebenarnya masuk tim perumus K 13 bisa dikatakan bimbang antara mempertahankan KTSP atau melanjutkan program K 13. Toh pada akhirnya K 13 dilanjutkan.

Pada implementasi K 13 yang menjadi kendala menurut penulis adalah persiapan naskah dan distribusi K 13 ke sekolah. Setiap tahun ajaran baru selama era K 13, buku selalu tiba terlambat di sekolah. Para siswa baru menikmati buku secara penuh setelah sebulan atau bahkan dua bulan setelah pelajaran berlangsung.

Dua masalah pokok ini harus diperbaiki. Percepatan pembuatan naskah dan distribusi tidak hanya melalui online seharusnya offline juga digencarkan.

Pada saat mulai semester II tahun ajaran 2016-17 barusan, kendala keterlambatan buku parah. Sampai minggu ketiga Januari 2017, Kemendikbud melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sendiri belum menyerahkan naskah atau materi buku K 13 kepada lima pemenang tender penggandaan buku tersebut. 

Lima pemenang itu PT. Intan Pariwara, Masmedia, Buana Pustaka, Pesona Edukasi, Jepe Press Media Utama dan  Temprina.  Dan, tanda tangan kontrak pada lima penerbit itu sendiri baru ditandatangani pada 30 Januari 2017. Tender buku molor karena ada sanggahan. Demikian seperti  penyataan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina.

Kemudian muncul buku K 13 ilegal dan masyarakat membelinya. Menurut Ida, sapaan Rosidayati Rozalina,  masyarakat tidak bisa disalahkan sampai membeli buku tersebut.  Karena mereka memikirkan nasib anak-anaknya yang sudah mulai proses belajar mengajar semester genap. “Masak belajar tanpa bukunya’’cetusnya.(Jawa Pos, 22 Januari 2017).

Ida meminta Kemendikbud mengubah sistem distribusi buku teks K13. Karena kejadian tahun ini lebih parah dari tahun sebelumnya.

Penulis mendukung pernyataannya.  Karena dalam kasus keterlambatan ini siapa yang bertanggung jawab, tidak ada.  Buktinya semua terlihat seperti tidak ada masalah. Mana suara kritis anggota Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan dan  Ombudsman Republik Indonesia mempertanyakan soal keterlambatan buku teks? Tidak ada.

Muncul buku ilegal, dibeli masyarakat baru ribut.  Padahal semester dua tahun ajaran 2016-17 ini berlangsung efektif sekitar lima bulan. Proses belajar-mengajar mulai awal Januari dan berakhir  memasuki bulan puasa pada Mei.  Bila sampai akhir Januari, para siswa belum memperoleh buku, tentu akan berimbas pada penurunan kualitas pendidikan.

Uniknya, kejadian seperti ini hanya ada di Indonesia. Keberadaan buku teks pelajaran sangat sulit diperoleh di pasaran.  Itu karena penjualnya pun dibatasi; hanya pemenang tender. Untuk membelinya pun harus melalui daring atau onlinealih alih untuk reduksi pungli.

Bila ada pedagang buku (tentu bukan pemenang tender) yang menjual buku teks di pasaran dipastikan dirazia polisi. Padahal yang dijual mereka buku teks pelajaran yang bertujuan  mencerdaskan anak bangsa bukan  buku Jokowi Undercover.  Ini semua fakta dan sudah terjadi di lapangan.

Para pedagang dianggap menjual buku teks tanpa hak karena melanggar UU Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Di cover belakang buku tertulis “Barang Milik Negara, Tidak Diperdagangkan Bebas.” 

 Padahal uang untuk membeli HAKI buku  teks tersebut oleh Puskurbuk dari para penulis buku  berasal dari uang pajak. Uang pajak tentunya uang dari masyarakat termasuk dari pedagang kecil buku.  Sekilas sepertinya sungguh sulit dan kejam memperoleh pelayanan pendidikan di negeri ini.

Apakah ini semua sesuai konstitusi UUD 1945; negara menjamin kebebasan penduduknya memperoleh pendidikan layak? Memperoleh buku teks saja sulit karena penjualnya dirazia polisi. Apakah ada kebebasan dan kelayakan? Silakan ditelaah sendiri. 

Kemendikbud melalui Puskurbuk, Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP),  dan LKPP (para stake holder ketersediaan buku teks)  harus mengakhiri drama menggelikan penyediaan dan distribusi buku teks di Indonesia ini. Kembalikan sistem atau mekanisme distribusi buku teks pelajaran ke pasar bebas seperti distribusi  BSE (Buku Sekolah Elektronik)  KTSP era Mendiknas Bambang Sudibyo. Tidak ada pembatasan bagi penjual buku teks. Karena kata pembatasan  hanya berlaku di era Orde Baru.

Tidak ada pedagang buku teks dirazia polisi karena naskah buku BSE KTSP  bebas di-download di website Kemendiknas dan dijual.  Harga buku juga murah karena sesuai harga eceran tertinggi (HET) sesuai SK Mendiknas. Masyarakat pun bisa memperoleh buku teks di toko buku baik besar maupun kecil dengan mudah.

Bagaimana alur kemunculan  buku teks BSE  KTSP saat itu? Puskurbuk membeli naskah buku dari pemenang lomba penulisan buku teks. Lomba ini sendiri biasanya digelar setahun sekali. Naskah buku teks  yang menang sebelumnya sudah diteliti standarisasinya oleh  BSNP.

Satu naskah  BSE  KTSP saat itu dibeli hak ciptanya nilainya sekitar Rp. 100 juta oleh Puskurbuk. Selanjutnya buku diedit dan di-lay out. Soft file buku dalam bentuk pdf selanjutnya di-upload di website Kemendiknas. Buku bisa dijual sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) ditentukan melalui SK Mendiknas.

Maka buku teks tersebut bisa di-download masyarakat termasuk guru, wali murid, para penerbit besar maupun kecil,  dan pedagang lapak buku  untuk digandakan. Penerbit bisa menjual buku tersebut  sesuai HET Kemendiknas tanpa lelang dan tender. Pembelanjaan buku oleh sekolah  juga dengan dana BOS. Saat itu dominasi buku teks sekolah mahal tumbang.

DULU BEBAS, KINI TERBATAS

Implementasi K 13 dimulai sejak tahun ajaran 2014-15. Entah kenapa kebijakan penjual buku teks yang semula bebas diubah menjadi terbatas di awal tahun ajaran 2015-16.

Bila buku teks K13 disebut  ilegal karena dijual pedagang buku lapak bukan penerbit pemenang tender. Padahal  buku K 13 termasuk BSE dan naskahnya bisa di-download bebas di website Kemendikbud.

Buku teks K 13 legal, bila penjual buku itu penerbit pemenang tender. Pembeliannya harus via online karena dianggap semua masyarakat sudah melek internet dan jaringannya di seluruh Indonesia  lancar. Dan, pembayaran buku pun via transfer bank.  Harga buku ditetapkan ada dua;  harga online dan HET dengan lima zona wilayah. Sampai saat ini belum ada penjelasan dari Kemendikbud implementasi harga online dan HET. Dengan HET apakah buku bisa dijual bebas seperti BSE KTSP?

Apakah  implementasi penjual buku teks terbatas dan online itu terealisasi baik? Tidak. Faktanya, buku sering terlambat tiba di sekolah. Itu  karena editing naskah terlambat belum lagi tender lelang juga molor seperti saat ini.  Belum lagi proses pembelian online sampai buku tiba di sekolah menimbulkan masalah tersendiri.

Pada  era BSE KTSP tidak ada lelang dan tidak ada pembelian online. Harga pun sudah dikontrol dengan HET.  Buku pun mudah didapatkan  masyarakat di pasaran. Dan, tidak ada kriminalisasi.

Bila pembelian buku teks pelajaran dihambat dengan birokrasi; harus tender, penjual terbatas, dan online, ini semua harus diubah.  Karena keinginan masyarakat hanya satu bebas membeli buku teks pelajaran tanpa ada kriminalisasi di dalamnya. Indonesia Wake Up!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun