Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan Di Indonesia
Oleh: Achmad Maki Muzaki
Pendidikan pada dasarnya iyalah proses memerdekakan serta mengembangkan potensi individudalam kehidupan. Memerdekakan yang dimaksut bukan berarti semata-mata bebas tanpa adanya ikatan dan aturan, akan tetapi juga memahami serta sadar atas batas-batas yang ada dalam hidup. Kemudian berhubungan dengan pengembangan potensi, bagaimana Pendidikan itu mengupayakan sedemikian  rupa sehingga potensi bawaan individu bisa diasah dan biberkembangkan.
Sementara itu kurikulum iyalah satu instumen, pedoman pelaksanaan Pendidikan guna mencapai tujuan pendidikian tersebut. Dengan kurikulum satu tujuan dan capaian sebuah bangsa dan negara dapat tercerminkan. Akn tetapi sutu masa atau zama pasti akan berubah, sehingga dibutuhkan pembahruan terhadap apa yang telah tidak relevan, termasuk kurikulum. Maka kurikulum haruslah dapat menyesuaikan diri dengan mmasanya.
Perubahan kurikulum dapat  bersifat sebagaian ataupun keseluruhan.Seperti halnya di Indonesia ini telah mengalam begitu banyaknya perubahan kurikulum. Yang pada dasarnya perubahan itu ditujukan untuk tujuan Pendidikan itu. Tetapi karna saking kerapnya kurikulum Di Indonesia mengalam perubahan yang terus menerus, sehingga mucul narasi-narasi yanga mengatakan "setiap kali berganti Mentri pendidikan maka akan berganti pulalah kurikulum pendidikanya".  Dengan demikian di Indonesia ini perubahan kurikulum hanya bernuansa politis dan keluar daaripada hakikatnya.
KURIKULUM DI INDONESIA
- Â Kurikulum 1948 (Rentjana Pelajaran 1947)
- Kurikulum ini adalah kurikulum yang pertama, Â Dimana Indonesia sendiri baru lahir dan masih gagap. Hal ini adalah teransformasi kurikulum dari kurikulum sebelumnya, yakni Pendidikan yang diberikan oleh Belanda pada masa penjajahan. Setelah Indonesia merdeka pemerintah mulai mengarap dan mengonsepsikan kurikulum 1947 dengan disesuaikan kondisi dan situasi masa itu.
- Karna pada saat itu kandisi masih bernuansa perjuanggan, kurikulum ini lebih memfokuskan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, bermartabat, dan statusnya sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. Kemudi juga lebih memfokuskan dengan karakter, watak, kesadaran berbangsa dan bernegara.
- Kurikulum 1952 (Rentjana Pembelajaran 1952)
- Kurikulum ini  pada dasrnya merupakan penyempurnaan daripada yang sebelumnya.Dengan merinci-rincikan mata Pelajaran,sehingga sering disebut rentjana pembelajaranTerurai. Kurikulum ini sudah lebih mengarah pada system Pendidikan nasional. Salah satu ciri dalam krikulum ini iyalah silabusnya yang menunjukan secara jelas, bahwa setiap guru hanya menggisi satu mata pelajaran, dan setiap dari pembelajaran dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
- Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964
- Pada masa ujung kepemimpina Soekanro, beliau merombak Kembali kebijakan kurikulum pendidikanya. Kurikulum ini mengkonsepsikan pembelajaran yang lebih aktik, kreatif dan produktif. Sehingga dalam kurikulum ini sekolah diwajibkan membimbing anak agar mampu memecahkan sendiri terhadap suatu kasus (Problem Solving)
- Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964 ini terkenal dengan pengembangan daya cipta,rasa, karya, dan moral yang juga disebut dengan Pancawardhana. Disebut Pancawardana dikarnakan ada lima pengembangan, yaitu: pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistic, ketrampilan, Â dan jasmani.
Kelahiran Kurikulum 1968 terjadi dalam konteks politis yang berusaha menggantikan Rencana Pendidikan 1964 yang dianggap sebagai produk dari rezim Orde Lama. Kurikulum ini memiliki tujuan yang kuat untuk membentuk individu yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, kuat secara fisik dan moral, serta memiliki kecerdasan dan keterampilan yang tinggi, juga berbudi pekerti dan keyakinan beragama.
- Secara struktural, Kurikulum 1968 mengalami perubahan dari pendekatan Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Ini mencerminkan perubahan orientasi menuju penerapan UUD 1945 secara tulus dan konsisten.
- Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran yang terbagi menjadi tiga kelompok: pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Ada sembilan mata pelajaran pokok yang diakui dalam kurikulum ini. Para ahli, seperti Djauzak, menyebutnya sebagai "kurikulum bulat" karena hanya memuat mata pelajaran pokok tanpa banyak penambahan. Muatan materi pelajaran cenderung bersifat teoritis dan kurang mengaitkan dengan konteks lapangan atau permasalahan aktual. Fokus utamanya adalah pada pemilihan materi yang tepat untuk disampaikan kepada siswa di setiap tingkat pendidikan.
- Kurikulum ini juga menekankan pada pengembangan kecerdasan, keterampilan, dan fisik yang sehat dan kuat pada siswa. Namun, pendekatan yang digunakan lebih bersifat tradisional, dengan penekanan pada pengetahuan dan pemahaman konsep secara langsung oleh guru.
Kurikulum 1975
Kurikulum ini lahir dengan fokus pada efektivitas dan efisiensi pendidikan. Latar belakangnya terinspirasi dari konsep manajemen, khususnya Management by Objectives (MBO) yang populer pada masa itu. Pendekatan ini memperkenalkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang kemudian dikenal sebagai "satuan pelajaran". Dalam sistem ini, metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci secara lebih terperinci.
Satuan pelajaran memecah setiap topik pembelajaran menjadi komponen-komponen seperti tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan panduan yang jelas bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran.
Namun, Kurikulum 1975 mendapat banyak kritik, terutama terkait dengan tingkat detail yang tinggi dalam merencanakan pembelajaran. Guru-guru menjadi sibuk dengan tugas menulis rincian yang sangat terperinci tentang apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa fokus pada administrasi dan detail dapat mengurangi kreativitas dan fleksibilitas guru dalam proses pembelajaran.
Meskipun demikian, Kurikulum 1975 membawa perubahan signifikan dalam pendidikan Indonesia dengan memperkenalkan pendekatan yang lebih terstruktur dan terinci dalam proses pembelajaran. Ini merupakan salah satu langkah menuju peningkatan kualitas dan akuntabilitas dalam sistem pendidikan.
- Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 dikenal dengan pendekatan Process Skill Approach. Meskipun menekankan pada proses pembelajaran, tujuan tetap menjadi faktor penting. Kurikulum ini sering dianggap sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975. Di dalamnya, siswa ditempatkan sebagai subjek belajar yang aktif.
Kurikulum 1984 memperkenalkan konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL), yang menekankan peran siswa dalam proses pembelajaran. Siswa diajak untuk melakukan berbagai aktivitas mulai dari mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan hasil pembelajaran. Pendekatan ini bertujuan untuk memberi siswa pengalaman langsung dalam belajar, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan proses yang penting.
Meskipun konsep CBSA ini secara teoritis sangat bagus dan memberikan hasil positif di sekolah-sekolah yang menerapkannya, namun ketika diterapkan secara nasional, banyak deviasi dan pengurangan terjadi. Banyak sekolah yang mengalami kesulitan dalam menafsirkan dan mengimplementasikan CBSA dengan baik. Akibatnya, suasana kelas menjadi gaduh karena siswa berdiskusi, dinding-dinding dipenuhi dengan tempelan gambar, dan pendekatan tradisional guru yang memberikan ceramah mulai tergeser.
Akhirnya, penolakan terhadap CBSA mulai muncul karena ketidakmampuan banyak sekolah dalam menerapkan dengan baik, sehingga banyak yang kembali pada metode pengajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsep CBSA memiliki potensi besar, implementasinya membutuhkan dukungan dan pemahaman yang kuat dari semua pihak terkait.
Kurikulum 1994 dan suplemen 1999
Kurikulum 1994 merupakan upaya untuk mengintegrasikan pendekatan dari kurikulum sebelumnya, terutama Kurikulum 1975 dan 1984. Namun, penggabungan antara aspek tujuan dan proses masih belum berhasil sepenuhnya. Kritik banyak bermunculan karena beban belajar siswa dinilai terlalu berat, mencakup muatan nasional dan lokal.
Muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan setiap daerah, seperti bahasa daerah, kesenian, keterampilan lokal, dan lain-lain. Berbagai kelompok masyarakat juga menekan agar isu-isu tertentu dimasukkan ke dalam kurikulum. Akibatnya, Kurikulum 1994 menjadi sangat padat. Kehancuran rezim Soeharto pada tahun 1998 membawa perubahan, dengan diperkenalkannya Suplemen Kurikulum 1999.
Namun, perubahan yang terjadi lebih pada penambalan sejumlah materi pelajaran saja, tanpa perubahan mendasar dalam struktur atau pendekatan kurikulum. Meskipun ada upaya untuk memperbaiki beberapa kelemahan, namun esensinya kurikulum ini masih mengalami kendala yang serupa dengan pendekatan sebelumnya, yakni kurangnya keseimbangan antara tujuan dan proses pembelajaran.
Kurikulum berbasis Kopetensi 2004
Kurikulum 2004 dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), menggantikan Kurikulum 1994. KBK merupakan program pendidikan yang berfokus pada pengembangan kompetensi siswa. Program pendidikan berbasis kompetensi harus memuat tiga unsur utama: pemilihan kompetensi yang tepat, spesifikasi indikator evaluasi untuk menilai pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran yang sesuai. KBK memiliki beberapa ciri khas, di antaranya:
Menekankan pada pencapaian kompetensi siswa, baik secara individu maupun dalam konteks kelas.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan memperhatikan keberagaman siswa.
Kegiatan pembelajaran menggunakan beragam pendekatan dan metode, dengan sumber belajar tidak hanya berasal dari guru, tetapi juga dari sumber belajar lain yang memiliki nilai edukatif.
Penilaian lebih menekankan pada proses dan hasil belajar, dalam rangka memastikan penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi oleh siswa
Menekankan pada pencapaian kompetensi siswa, baik secara individu maupun dalam Dengan demikian, KBK bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan lebih menitikberatkan pada pengembangan kompetensi siswa secara holistik dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan (KTSP) 2006
Pada awal tahun 2006, uji terbatas pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dihentikan. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang standar kelulusan, muncul Kurikulum 2006 yang pada dasarnya serupa dengan KBK. Perbedaan utamanya terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yang mengacu pada semangat desentralisasi sistem pendidikan.
Dalam Kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Namun, tanggung jawab pengembangan kurikulum lebih ditujukan kepada sekolah, dengan guru diharapkan mampu mengembangkan silabus dan penilaian sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah serta daerahnya. Pengembangan dari semua mata pelajaran kemudian dihimpun menjadi sebuah perangkat yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah, dengan bimbingan dan pemantauan dari dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat. Ini mencerminkan semangat desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan, di mana sekolah diberi otonomi yang lebih besar dalam menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan dan karakteristik lokal mereka.
Kurikulum 2013
Pemerintah melakukan pemetaan kurikulum berbasis kompetensi yang sebelumnya diujicobakan pada tahun 2004. Kompetensi menjadi acuan utama bagi pelaksanaan pendidikan, mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada semua jenjang dan jalur pendidikan, terutama di jalur pendidikan sekolah.
Kurikulum 2013 berbasis kompetensi menitikberatkan pada pemerolehan kompetensi oleh peserta didik. Ini mencakup berbagai kompetensi dan tujuan pembelajaran yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga pencapaian mereka dapat diamati melalui perilaku atau keterampilan yang mereka tunjukkan. Kegiatan pembelajaran harus mengarah pada bantuan peserta didik untuk menguasai setidaknya tingkat kompetensi minimal, dengan setiap peserta didik diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar mereka masing-masing. Tema utama Kurikulum 2013 adalah menciptakan individu Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif, melalui pengintegrasian sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Dalam implementasinya, guru dituntut untuk merancang pembelajaran secara efektif, mengorganisir pembelajaran, memilih pendekatan yang tepat, menetapkan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi dengan baik, serta menetapkan kriteria keberhasilan.
Kurikulum Merdeka
Salah satu yang melatar belakangangi terciptanyya kurikulum ini melangsir dari wibsete kemendikbut.ko.id  iyalah merujuk kepada  data dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa 70% siswa usia 15 tahun di Indonesia masih berada di bawah tingkat kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Skor PISA ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Studi tersebut juga menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara wilayah dan kelompok sosial-ekonomi dalam kualitas pembelajaran, yang semakin diperparah oleh pandemi COVID-19.
Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah melakukan penyederhanaan kurikulum dalam situasi darurat, sebagai upaya untuk mengurangi kerugian pembelajaran selama pandemi. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan kurikulum darurat oleh 31,5% sekolah berhasil mengurangi dampak pandemi pada tingkat literasi sebesar 73% dan pada tingkat numerasi sebesar 86%.
Karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka antara lain:
Pengembangan Soft Skills dan Karakter: Fokus pada pengembangan keterampilan "soft skills" dan karakter positif pada peserta didik.
Fokus pada Materi Esensial: Menitikberatkan pada materi yang esensial dan penting untuk memastikan pemahaman yang mendalam.
Pembelajaran yang fleksibel: Menawarkan pembelajaran yang fleksibel, memungkinkan adaptasi terhadap berbagai kebutuhan dan kondisi belajar.
Kurikulum Merdeka juga menawarkan tiga pilihan implementasi secara mandiri, yaitu:
Mandiri Belajar: Peserta didik diberi kebebasan untuk mengatur dan mengelola pembelajarannya sendiri.
Mandiri Berubah: Fokus pada pengembangan diri dan perubahan positif pada peserta didik.
Mandiri Berbagi: Mendorong kolaborasi dan berbagi pengetahuan antara peserta didik.
Projek-projek untuk memperkuat pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak memiliki target capaian pembelajaran tertentu, sehingga memberikan fleksibilitas lebih kepada guru dalam pengembangan kurikulum.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H