“nilai-nilai demokrasi merupakan bagian dari fitrah kemanusiaan sejak dahulu kala sampai masa selanjutnya”
Prof. HM. Qasim Mathar
Semacam Pengantar
Demokrasi menjadi perbincangan menarik. Menarik untuk didukung dan ditolak. Begitulah keragaman pemahaman tentang demokrasi. Terlebih lagi, kita terlena dengan pemaknaan keberagaman tanpa ada nilai saling memahami. Dengan begitu, dibutuhkan pemahaman yang lebih universal terkait demokrasi tersebut. Sebut saja, demokrasi sebagai sebuah pandangan hidup.
Besar dampak positifnya apabila demokrasi menjadi sebuah pandangan hidup. Ketika demokrasi sudah menjadi pandangan hidup, apapun yang akan dilakukan, meliputi metode/cara dan media yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan menjadi lebih baik. Misalnya dalam PEMILU. Pemilu bertujuan memilih pemimpin secara Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil). Bagaimana realitanya? Jauh dari harapan. Besar kemungkinan, kita (masyarakat) Indonesia berdemokrasi secara sistemik/prosedural saja tetapi tidak/belum mempunyai pandangan hidup berdemokrasi. Harusnya pemilih bebas memilih wakilnya menjadi tersandera oleh uang atau janji-janji (money politics), pemalsuan data, dan lain sebagainya.
Misal yang lain, sekelas pendaftaran siswa maupun mahasiswa masih dapat terkena yang namanya suap, soal pembuatan e-KTP dikorupsi, dan pupuk pun jadi lahan korup, bahkan dana haji pun di gasak juga. Indonesia sudah mempunyai tujuan yang luhur dalam butir-butir pancasila yang sangat demokratis, tetapi masyarakatnya (termasuk kita sendiri) masih belum berpandangan hidup demokratis dan masih menganggap demokrasi hanya sebagai sebuah alat. Apakah butir-butir pancasila kita salah? Dan apakah UUD kita salah? Lebih tepatnya, pandangan hidup kitalah yang masih jadul. Dengan begitu, menjadi penting memahami demokrasi secara kontekstual dan komprehensif.
Sekilas Perkembangan Definisi Demokrasi
Demokrasi sering kita dengar dengan kebebasan berpendapat, persamaan derajat dan persamaan hak. Memang ada benarnya demokrasi diartikan seperti diatas namun perlu kita ketahui asal kata dan pendapat para ahli terkait demokrasi. Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, dari kata “demos” dan “cratos”, demos berarti rakyat dan cratos berarti pemerintah. Maka demokrasi adalah pemerintahan yang berada di tangan rakyat.
Sedangkan secara terminologi menurut para ahli sebagaimana dikutip oleh Ubaedillah dkk, antara lain:
(a). Joseph A. Schmeter mengatakan demokrasi merupakan perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; (b). Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsungdidasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa; (c). Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.[1]
Pengertian demokrasi terus berkembang, tidak hanya didefinisikan dalam pemerintahan/metode politik, melainkan juga sebagai suatu tujuan etis.[2] Sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, demokrasi menurut Peter Salim, “Demokrasi adalah suatu pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua negara”. Sedangkan menurut Zaki Badawi “Demokrasi adalah menetapkan dasar-dasar kebebasan dan persamaan terhadap individu-individu yang tidak membedakan asal, jenis, agama dan bahasa”.[3]
Dalam kenyataanya demokrasi hanya difahami secara parsial sehingga banyak yang merusak, menganggu dan bertindak anarkis dengan alasan demokrasi, serta meraup keuntungan pribadi/kelompok dalam demokrasi, tepatnya demokrasi terhadap dirinya sendiri. Perlu kita ketahui banwa demokrasi itu mempunyai prinsip kebebasan, prinsip perhormatan terhadap martabat orang lain, prinsip persamaan dan prinsip pembagian kekuasaan.
Demokrasi dalam Islam
Terdapat beberapa karakteristik konsep demokrasi yang sejalan dengan agama Islam, antara lain:
1.Demokrasi tersebut berada di bawah payung agama (tidak bertentangan dengan al-Quran dan al-Hadis).
2.Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah. Mekanisme ini hanya berlaku pada persoalan ijtihadi, bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh al-Quran maupun Sunnah.
3.Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama dan harus dipatuhi oleh semua warga dengan kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab yang tinggi.
4.Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya selama pendapat tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariat.
5.Kemaslahatan umat haruslah menjadi prioritas utama.[4]
Sumber hukum Islam yang berupa al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai prinsip dasar demokrasi ada pada surat Asy Syuura ayat 38 yaitu:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (asy Syuura Ayat 38).[5]
Dan dalam hadits Rasulullah SAW dalam Ramayulisartinya:
1)Tidak akan gagal orang yang mengerjakan shalat istiharah, dan tidak pula menyesal orang yang melakukan musyawarah.
2)Tidaklah suatu kaum (masyarakat) melaksanakan musyawarah kecuali pasti mendapat petunjuk dan urusannya pasti lancar.
3)Orang yang bermusyawarah (meminta petunjuk) akan merumuskan ketentraman.[6]
Musyawarah[7] adalah implementasi Rasulullah dalam berdemokrasi. Kita tentu mengetahui dalam bermusyawarah (urusan dunia) selalu mengedepankan kebenaran tanpa membedakan apakah yang orang mengatakan itu berbeda suku, budaya bahkan agama. Nilai-nilai dasar demokrasi dalam bermusyawarah mengandung prinsip kebebasan, prinsip persamaan, dan prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Berikut penjelasannya:[8]
Prinsip kebebasan ini dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 256, yaitu:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut(162) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah ayat 256).
(162). Thagut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah oleh selain Allah SWT.[9]
Dalam Islam, prinsip kebebasan (hurriya) adalah ayat perjanjian, ketika manusia secara serempak membenarkan ke-rububiyah-an Tuhan.[10] Kebebasan manusia juga tergambar jelas dalam peristiwa penawaran amanah kepada manusia pada zaman azali.[11] Dan prinsip kebebasan dalam Islam dibingkai dalam hukum syara’.[12]
Terdapat perbedaan antara kebebasan yang diakui oleh demokrasi liberal dan Islam. Dalam demokrasi liberal, kebebasan menekankan kemampuan berbuat tanpa batas. Sedangkan dalam Islam, kebebasan menekankan kemampuan untuk bereksis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan konsep tentang hukum yang diakui sebagai satu-satunya pembatasan kebebasan. Hukum Islam meliputi kehidupan personal dan inter-personal, sementara sistem liberal hanya meliputi kehidupan inter-personal. Selain itu, hukum dalam demokrasi liberal dengan mudah dapat diubah dengan hukum baru yang lebih akomodatif terhadap kehendak rakyat untuk mendapatkan kebebasan yang lebih besar. Sedangkan dalam hukum Islam, tidak bisa diubah begitu saja. Hanya hukum yang dihasilkan dari ijtihad dapat diubah dan bukan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara qath’i.[13]
Prinsip Persamaan ini diterangkan dalam surat al-Hujuraat ayat 13, yaitu:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujuraat ayat 13).[14]
Dalam prinsip persamaan, bukan multlak semuanya sama. Melainkan persamaan di muka hukum.Menurut para teoretikus politik dan sosial kemasyarakatan, terdapat ketidaksamaan pada manusia secara alamiah dan secara konvensional. Ketidaksamaan alamiah adalah sesuatu yang berbeda dalam hal seks, umur, kekuatan, dan sebagainya. Sedangkan ketidaksamaan konvensional mengacu pada perbedaan dalam hal pendapatan, status, kekuasaan, dan seterusnya.[15]
Dan Prinsip Penghormatan Terhadap Martabat Manusia, dalam prinsip ini berhubungan dengan keadilan, adapun keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat serta berbangsa dan bernegara. Di dalam al-Qur’an Allah memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan, seperti firman Allah dalam surat al-Maa’idah ayat 8, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maa’idah ayat 8).[16]
Lebih dari itu, begitu pentingnya sikap keadilan sehingga penegakan keadilan dan menghapuskan segala bentuk ketidakadilan adalah misi utama para Nabi (al-Hadid: 25), dan dengan keadilan akan menjaga keseimbangan keberagaman agama dan budaya. Dan sikap keadilan lebih disukai oleh Allah meskipun yang berkelakuan adil tersebut adalah orang kafir. Dan dikatakan Islam berarti harus adil karena ketidakdilan sangat dibenci oleh Allah serta bukan ajaran-Nya. Seperti yang dikatakan oleh KH. Said Aqil Siradj dalam Jawa Pos:
Untuk menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (Al-Hadid:25). Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan ‘adl, qisth, mizin, atau dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Terdapat pula lebih dari dua ratus peringatan dalam Alquran yang menentang ketidakadilan, seperti dzulm, itsm, dan dhaal.
Tak heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) berani mengatakan bahwa negara yang adil –meskipun kafir- lebih disukai Allah daripada negara yang tidak adil –meskipun beriman. Dunia akan bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak bisa bersenyawa, tanpa salah satu dihapuskan atau dilemahkan.[17]
Menurut Aristoteles dalam M. Habib Mustopo, “keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia (Faierner in human action)”, kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrim yang terlalu sedikit, kedua ujung ekstrim tersebut menyangkut 2 orang maupun 2 benda. Dua orang tersebut mempunyai persamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama.[18] Melalui sikap adil terhadap sesama manusia akan mewujudkan ketentraman dan kebersamaan dalam perbedaan agama, budaya, suku, dan latar belakang lainnya.
Selain itu, prinsip ini berusaha menegaskan pentingnya menjaga kehormatan dirinya dan sesamanya tanpa membeda-bedakan agama, etnis, ras, kelompok, atau latar belakang lainnya. Kehormatan pada diri manusia adalah amanat dari Allah SWT yang harus dijaga agar tidak terjerembab dalam kenistaan dan jatuh dalam martabat binatang. Manusia mendapatkan kehormatannya bukan karena kedududkannya, melainkan karena kemuliaan akhlaknya.
Dengan menjaga, membela, dan memelihara kehormatan manusia akan mendatangkan kebahagiaan dan kemaslahatan di muka bumi. Sebaliknya, jika tidak dapat memelihara kehormatan manusia akan tampak kerusakan dan kehancuran di muka bumi. Oleh karena itu, sikap menjaga kehormatan sesama manusia adalah tonggak yang akan mengkokohkan sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada.[19]
Nilai-nilai demokrasi dapat kita ambil dalam karakteristik pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan. Dalam perspektif Islam dikenal dengan al-Musyawarah, al-Musawah, dan al-‘Adl (lihat Tabel 2.1. Karakteristik Pendidikan Multikultural).[20]Doktrin Islam terkait prinsip-prinsip tersebut telah dipraktikkan oleh Rasulullah di Madinah, dengan membuat perjanjian tertulis yang populer dengan Piagam Madinah.[21] Selain itu, nilai-nilai demokrasi meliputi kebebasan, persamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Serta Ajaran kemaslahatan (mashalih ammah), (kemerdekaan berpikir), ash-shidqu wal amanah (kejujuran dan tanggung jawab), dan sebagainya.[22]
[1]A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2006), 131.
[2]Demokrasi tidak semata-mata dipersepsikan atau dikontektualisasikan sebagai sebuah “metode politik” (political method), tetapi juga sebagai suatu “tujuan etis” (ethical end). Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam (Yogyakarta: Galang Press, 2011), 106.
[3]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 324.
[4]Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 68.
[5]Dept. Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1980), 789.
[6]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 328.
[7]Musyawarah atau permusyawaratan termasuk salah satu Nilai pokok demokrasi menurut Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (akrab dipanggil Gus Dur dan mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Pluralisme) dalam Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, dan salah satu yang lainnya adalah kebebasan dan persamaan. Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma Pendidikan Berbasis Pluralisme Dan Demokrasi Rekonstruksi Dan Aktualisasi Tradisi Ikhtilaf Dalam Islam, (Malang: UMM Press, 2011), 87.