Pada masa Perang Candu Kedua, keluarga Qiu Zhiqin pergi mengungsi ke Asia Tenggara untuk mencari kehidupan di Thailand. Namun, setelah tiba di Thailand, mereka sekluarga tidak dapat beradaptasi dengan iklim dan kehidupan di Thailand, sehingga mereka kembali ke Guangdong, Â Tapi hanya putra bungsunya Qiu Shunsheng yang tetap tinggal di Thailand.
Qiu Shunsheng bertekad untuk bekerja keras dan mulai berbisnis sendiri, mulai dengan menjual sutra di Chiang Mai, kemudian menikahi seorang wanita lokal di Chiang Mai dan memiliki 10 anak.
Namun mendengar cerita ini, kita janganlah hanya membayangkan suatu kegembiraan saja, tapi baiknya terinspirasi oleh cerita-cerita tersebut.
Dikemudian hari, selain berbisnis, keluarga Qiu terutama menggunakan pernikahan dan persalinan, dan secara bertahap bergerak menuju kejayaan. Di antara 10 anak Qiu Shunsheng, yang tertua bernama Qiu Achang. Pada tahun 1938, untuk menghindari penindasan oleh kekuatan xenofobia di Thailand pada saat itu, Qiu Achang mengubah nama keluarganya menjadi nama keluarga Thailand: Shinawatra.
Bisnis sutra Qiu Achang semakin hari semakin maju dan besar. Pada saat yang sama, ia menggunakan statusnya sebagai pengusaha kaya untuk terus mempertemukan anak-anak keluarganya untuk menikah dengan keluarga kaya setempat, seperti bangsawan lokal di Chiang Mai, pejabat senior di Chiang Mai. pemerintah daerah, dll.
Dengan cara ini, Qiu Achang menjadikan bisnis keluarganya berkembang dan merambah kebidang bisnis: industri, rempah-rempah, industri penerbangan dan perdagangan ritel dan lain-lain.
Saat ini, Qiu Achang memiliki seorang cucu bernama Thaksin. Ayah Thaksin memanfaatkan pernikahan untuk mengembangkan kekuatan keluarga Shinawatra ke dalam industri seperti teater besar, penjualan mobil, dan jaringan pompa bensin.
Dimulai dari generasi Thaksin, keluarga Shinawatra memasuki arena politik Thailand. Pada tahun 1976, Thaksin menikahi putri seorang Letnan Jenderal polisi Thailand.
Pada tahun 1986, Thaksin memperoleh izin telekomunikasi Thailand karena koneksinya yang kuat dengan pemerintah dan perusahaan, dan memonopoli industri telekomunikasi Thailand.
Setelah perusahaan tersebut go public, harga saham melonjak, dan Thaksin menjadi orang terkaya di Thailand. Pada tahun 1994, Thaksin Shinawatra mencapai tingkat elit tertinggi di Thailand dan menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Thailand dan Wakil Perdana Menteri  Kabinet.